-->

PANDUAN LENGKAP SEMBAHYAN Berwudhu







PANDUAN LENGKAP SEMBAHYAN

Berwudhu

Berwudhu

• Yang praktis dan mencukupi

• Yang sebaik-baiknya

• Hikmah-hikmahnya

Cara atau jalan untuk membina mental dan rohani sungguh banyak sekali. Jalan yang pasti ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengekalkannya yang disebut sebagai ibadah. Salah satu mata rantai ibadah itu adalah Wudhu'.

Kegunaan Air Wudhu

• Untuk segala macam solat hukumnya wajib.

• Untuk Thawaf di Ka'bah, thawaf apa saja, hukumnya wajib.

• Sewaktu hendak membaca Al-Qur'an hukumnya sunnat

• Sewaktu hendak tidur atau lain-lain perbuatan yang baik, hukumnya sunnat

Alat Yang Dipakai

Alat yang dipakai ialah air. Meskipun demikian, air yang digunakan untuk berwudhu' adalah air yang suci lagi menyucikan (pengertiannya?), iaitu: Air hujan, Air Sumur, Air Sungai, Air Laut, Air dari mata Air, Air Telaga, Air Danau, Air Ais, Air Ledeng.

Cara-caranya

Berniat dalam hati bahawa berwudhu' untuk..., lalu:

• Membasuh muka dengan air (cukup sekali asalkan merata ke seluruh muka)

• Basuhlan tangan hingga sampai dengan kedua siku (cukup sekali asal merata).

• Sapulah sebahagian kepala, cukup sekali saja

• Basuhlan kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (cukup sekali asal merata).

Bila dikerjakan seperti di atas, maka wudhu' sudah sah.

Berwudhu' yang lebih sempurna

Bila ingin berwudhu' lebih sempurna, yakni sempurna lahiriah dan sempurna pula dalam ganjaran, maka kerjakanlah tabahan-tambahannya dengan cara sebagai berikut:

1. Mulailah dengan mengucapkan Bismillaahir rahmaanir rahiim...

2. Menghadaplah kearah kiblat

3. Usahakanlah berwudhu' dengan tidak meminta bantuan orang lain, seperti menimba, dan sebagainya.

4. Basuhlah jari-jari tangan dengan menyelat-nyelatinya. Dan bagi jari yang bercincin, jam atau perhiasan yang dipakai di jari-jari lainnya, bukalah perhiasan tersebut agar air dapat merata membasahi seluruh jari-jari.

5. Berkumur-kumur.

6. Masukkanlah air ke dalam hidung, lalu keluarkanlah kembali (istinsyaq).

7. Gosoklah gigi untuk menghilangkan sisa makanan dan bau mulut yang kurang sedap.

8. Mulailah dengan anggota wudhu'yang sebelah kanan.

9. Ulangilah masing-masing sampai tiga kali (3X).

10. Ratakanlah air hingga membasahi seluruh anggota wudhu'

11. Ketika menyapu kepala, ratakan seluruhnya (letakkan ibu jari samping kiri dan kanan kepala, lalu putarlah telapak tangan dari depan ke belakang, kemudian kembali ke depan (cukup sekali).

12. Basuhlah telinga dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ibu jari dibelakang telinga.

13. Bila selesai berwudhu', hadapkan muka ke arah kiblat dan berdoalah dengan membaca:

Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.

Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah , masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku masuk ke dalam golongan orang-orang yang suci.

14. Lakukanlah solat sunnat wudhu' dua raka'at.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu'

1. Keluar sesuatu dari "dua pintu" belakang seperti buang angin (kentut), buang air besar atau kecil, haid atau nifas, dan sebaganya.

2. Hilang akal (kerana sakit, mabuk, gila dan sebagainya) .

3. Bersetubuh.



Tayammum

"Manakala seorang muslim atau mukmin itu berwudhu, lalu ia membasuh mukanya, maka keluarlah dari mukanya itu semua dosa yang dilihat oleh matanya bersama air atau bersama titisan yang terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah (terusir) semua dosa yang tersentuh oleh kedua tangannya bersama air atau bersama-sama dengan titisan terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua kakinya, maka sirnalah semua dosa yang pernah dijalani oleh kakinya bersama air atau bersama titisan air yang terakhir, sehingga keluar (selesailah) dalam keadaan bersih dari dosa-dosa." (Hr Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Air Wudhu

Wudhu merupakan salah satu ibadah yang khas yang dapat dipakai untuk solat, thawaf, hendak tidur, jalan keluar rumah, serta memelihara jiwa dan raga dari berbagai cacat.

Wudhu dengan air bersih dan murni bererti meniti kosmetik tradisional dan anti biotik alamiah, kerana itu, Islam tidak membenarkan berwudhu dengan air musta'mal (air bekas dipakai), air buah-buahan, akar-akaran atau air yang sudah berubah sifat-sifatnya (warna, rasa dan baunya). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahawa wudhu ialah membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga dua siku, menyapu kepala, dan membasuh kaki hingga dua mata kaki yang diawali dengan niat dalam hati.

Almarhum Buya Hamka, melalui bukunya "Lembaga Hidup" menulis tentang wudhu sbb:

"Lima kali sekurang-kurangnya sehari semalam disuruh berwudhu dan solat. Dan meskipun wudhu belum lepas, sunnat pula memperbaharuinya. Oleh ahli tasawuf diterangkan pula hikmah wudhu itu. Mencuci muka, ertinya mencuci mata, hidung, mulut dan lidah, kalau-kalau tadinya berbuat dosa ketika melihat, berkata dan makan. Mencuci tangan dengan air, dalam hati dirasa seakan-akan membasuh tangan yang terlanjur berbuat salah. Membasuh kaki, dan lain-lain demikian pula. Mereka perbuat hikmat-hikmat itu, meskipun di dalam hadis dan dalil tidak bertemu, adalah supaya manusia jangan membersihkan lahirnya saja, padahal bathinnya masih tetap kotor. Hatinya masih khizit, loba, tamak, rakus, sehingga wudhunya lima kali sehari itu tidak berbekas diterima Allah, dan sembahyangnya tidak menjauhkan dari pada fahsya (keji) dan mungkar (dibenci)".

Penulis "Lembaga Hidup" sengaja merangkaikan keutamaan wudhu dengan masalah kesehatan badan dan kebersihannya, lalu dihubungkan dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w Tulisnya:

"Bukan kita hidup mencari puji, bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala hal. Meskipun itu tidak kita cari, kalau kita menjaga kebersihan, kita akan dihormati orang juga". Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w: "Perbaguslah pakaianmu, perbaiki tunggangan (kenderaan) mu, sehingga kamu laksana sebutir tahi lalat di tengah-tengah pipi, di dalam pergaulan dengan orang banyak".

Allah s.w.t. menurunkan wahyu, memberi hidayah penuntun rohani dan jasmani agar keduanya tetap berfungsi dan terpelihara.

Rasulullah s.a.w bersabda:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah pergi ke kuburan, lalu memberi salam : "Assalamu'alaikum Dara Qaumin (perkampungan orang mukmin) dan Insya Allah kami akan menyusul kemudian, saya ingin benar melihat-lihat saudaraku." Berkata sahabat: "Bukankah kami ini adalah saudaramu ya Rasulullah? "Ya, kamu adalah sahabatku, dan saudara-saudaraku yang belum datang kini." Sahabat kembali bertanya: "Bagaimanakah engkau dapat mengenal mereka yang belum datang kini dari ummatmu ya Rasulullah?" Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bagaimana pendapatmu jika seorang mempunyai kuda belang putih muka dan kakinya, ditengah-tengah kuda yang semuanya hitam, tidakkah mudah mengenal kudanya?" Para sahabat menjawab : "Benar Ya Rasulullah." "Maka itu ummatku nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya sebagai bekas wudhu, dan saya akan membimbing mereka itu ke Haudh (Telaga Syafa'at)"

Cahaya, Kebersihan dan Kehidupan

Dalam air wudhu yang sakral terdapat cahaya, kebersihan dan kehidupan. Air bekas (mus'tamal) atau tersadur najis, akan menjadi sumber penyakit, buruk bagi fisik, kimia, maupun biologis. Islam pun melarang berwudhu dengan air yang demikian. Air sebagai keperluan vital kehidupan. Al-Qur'an memberi penjelasan bahawa kehidupan dimulai dari air, seperti disebutkan dalam firmannya:

"Dan kami telah menciptakan segala sesuatu yang hidup itu dari air, apakah mereka belum mau juga beriman?" (Al-Anbiya:30).

Hal-hal Yang Tidak Membatalkan Wudhu

Banyak sekali perbuatan yang dikira orang membatalkan wudhu, padahal tidak. Misalnya, seorang pekerja yang berpalitan dengan oli dan minyak, mengira air wudhunya sudah rosak dan wudhunya batal, padahal tidak; sementara yang dianggap remeh ternyata justru membatalkan wudhunya. Beberapa hal yang tidak membatalkan wudhu antara lain:

1. Bersentuhan antara pria dan wanita, sudah dewasa, tanpa lapis, selama tidak mengandung niat yang nafsu dan tak senonoh. Dalam suatu hadis disebutkan:

"Aisyah r.a. berkata: Suatu malam aku kehilangan Rasulullah s.a.w. dari tempat tidurku, maka terabalah oleh telapak tanganku pada kedua telapak kakinya yang keduanya dalam keadaan berdiri; dan Rasulullah s.a.w. sedang sujud sambil membaca: Allaahumma innii a'udzu biridhaaka, min sakhatika, wa a'uudzu bimu' aafaatika min uquubatika, wa a'uudzu bika minka laa uhshiitsanaa'an 'alaika anta kamaa atsnayta 'alaa nafsika." (HR Muslim dan At Turmuzy).

Yang erti doanya: "Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu, berlindung dibawah naunganMu; ringkasnya aku berlindung kepadaMu daripadaMu. Tiada terhitung puja-pujiku untukMu. Engkau sebagaimana pujianMu atas diriMu sendiri."

"Aku tidur dihadapan Rasulullah s.a.w., sedang kakiku berada di arah kiblat. Maka apabila Ia sujud, dirabanya aku dan dipegangnya kakiku". Sementara dalam lafazh yang lain disebutkan :"Maka jika ia akan sujud, kakiku, dirabanya". (HR Bukhary dan Muslim, sumber Aisyah)

2. Keluar darah dari tempat yang lazim, seperti luka, bukan dari qubul atau dubur.

3. Kerana muntah

4. Kerana makan minum. Seperti disebutkan dalam hadits nabi:

"Manimunah r.a. berkata: "Rasulullah s.a.w. telah makan di rumahnya dengan panggangan kambing, kemudian Rasulullah s.a.w. langsung solat tanpa memperbaharui wudhu." (HR Bukhary dan Muslim).

5. Terkena segala jenis najis atau kotoran lainnya. Najis tidak menghilangkan wudhu', hanya dia cukup dibersihkan saja.

6. Tersentuh kemaluan tanpa maksud yang lain. Seperti disebutkan dalam hadis:

"Bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang orang yang menyentuh kemaluannya, apakah ia wajib berwudhu? Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak, dia adalah sebagian dari tubuhmu sendiri". (HR Lima Ahli Hadits)

Perosak Tayammum

Tayammum merupakan pengganti wudhu atau mandi. Kerana itu, ia boleh rosak atau batal apabila :

1. Langsung melihat air dan dapat menggunakannya (khusus bagi mereka yang bertayammum kerana tidak ada air).

2. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu'.

Hal-hal lain yang perlu diketahui ialah:

1. Satu kali tayammum dapat digunakan untuk beberapa solat atau thawaf, baik yang wajib maupun yang sunat.

2. Apabila mendapatkan air, padahal solat sudah dikerjakan dengan tayammum, maka solatnya tidak perlu diulangi lagi.

Tatacara Shalat

Solat Wajib dan Praktiknya

• Syarat-syarat Sah Solat

• Praktik Solat

o Berdiri Tegak Lurus

o Takbiratul Ihram

o Do'a Iftitah

o Ta'awwudz

o Al Fatihah

o Ruku

o I'tidal

o Sujud Pertama

o Duduk di Antara dua sujud

o Sujud Kedua

o Berdiri Pada Rakaat Kedua

o Ruku di Rakaat Kedua

o Bangun dari Ruku

o Sujud Petama pada rakaat kedua

o Duduk diantara dua sujud di rakaat kedua

o Sujud Kedua pada rakaat kedua

o Duduk tahiyyat

o Memberi Salam



Syarat-syarat Sah Solat

Apabila kita sudah mempunyai air wudhu bererti kita sudah siap untuk mengerjakan solat. Kita boleh solat dimana saja asalkan di tempat suci. Suci disini maksudnya adalah tidak bernajis. Boleh menggunakan alas seperti sajadah atau apa saja yang bersih, sekalipun tidak memakai alas sama sekali, seperti di atas bumi. Meskipun demikian, yang penting dipersiapkan sebagai persyaratan shalat ialah:

1. Menutup aurat bagi lelaki iaitu antara pusat dengan lutut. Aurat wanita, seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan. Menutup aurat boleh dengan apa saja asal suci, tidak tembus pandang seperti plastik bening atau benda semacam lainnya.

2. Menghadap ke arah kiblat, yaitu Ka'bah di Makkah. Bila tidak memungkinkan, misalnya di atas kereta api, kapalterbang atau tak diketahui sama sekali, maka hadapkanlah wajah kita ke mana saja yang kita merasa condong bahawa itu adalah kiblat.

3. Harus mengetahui dengan yakin sudah berada dalam waktu solat yang hendak dikerjakan.

4. Yakin bahawa badan, pakaian, dan tempat solat suci dari najis.

5. Suci dari hadas besar dan hadas kecil.

________________________________________

Praktik Solat

Sesudah mempunyai air wudhu' dan siap untuk solat, maka kita segera dapat memulainya dengan urutan sebagai berikut.

Berdiri Tegak Lurus

Berdiri tegak lurus dengan menghadap ke arah kiblat, disertai dengan niat: "Aku solat...(zuhur, misalnya), wajib kerana Allah". "Usalli fardhu...(Zhuhrii), lillahii ta'ala"

________________________________________

Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sampai menyentuh telinga diiringi dengan membaca:

Allahhu Akbar (Allah Maha Besar) (1x)

Ucapan "Allahhu Akbar" disebut Takbiratul Ihram (hukumnya wajib) kemudian pada saat peralihan gerak atau sikap, sangat dianjurkan mengucapkan takbir "Allahhu Akbar". Yang perlu diperhatikan, apabila takbir dilakukan dalam keadaan berdiri, maka sebaiknya pengucapan takbir ini disertai dengan mengangkat kedua tangan seperti pada sikap takbiratul ihram. Dan apabila perpindahan gerak atau sikap terjadi dalam keadaan duduk, maka ucapan takbir tidak perlu disertai dengan mengangkat kedua tangan. Semua ucapan takbir dalam shalat hukumnya sunnat, kecuali takbir yang pertama yaitu takbiratul ihram.

________________________________________

Doa Iftitah

Selesai membaca takbiratul ihram, tangan langsung disedekapkan ke dada. Yang kanan menghimpit tangan kiri, pergelangan sejajar dengan pergelangan. Kemudian membaca doa iftitah (doa permulaan dan atau doa pembuka) yaitu:

Innii wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wamaa ana minal musyrikiin. Inna salaati wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi rabbil 'aalamiin. Laa syariikalahu wa bizdaalika umirtu wa ana minal muslimin.

Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi, dengan keadaan suci lagi berserah diri; dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya semata-mata bagi Allah, Tuhan Semesta alam. Tidak ada sekutu baginya, demikian akau diperintahkan, dan aku adalah termasuk kedalam golongan orang-orang yang berserah diri.

Membaca do'a iftitah hukumnya sunnat. (Selain doa tersebut di atas, masih ada doa'a-do'a iftitah yang lain yang biasa juga dibaca oleh Rasulullah s.a.w.).

________________________________________

Ta'awwudz

Selesai membaca do'a iftitah, lalu membaca "ta'awwudz". Bacaan t'awwudz hukumnya sunnat. Lafazhnya yaitu:

A'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim

Aku berlinding kepada Allah dari kejahatan setan yang terkutuk.

________________________________________

Al Fatihah

Seudah ta'awwudz, lalu membaca surah Al Fatihah. membaca surah Al Fatihah pada setiap rakaat solat (wajib/sunnah) hukumnya wajib.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi rabbil'aalamin Arahmaanirrahiim Maaliki yawmiddiin Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin Ihdinash shiraathal mustaqiim Shirathal ladziina an'amta alaihim gahiril maghdhuubi'alaihin waladh dhaalliin Aaamiin



Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah yang memelihara sekalian Alam Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Yang merajai hari pembalasan Hanya kepada-Mu kami meyembah dan hanya kepada-Mu saja kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan mereka yang Engkau beri ni'mat, bukan jalan mereka yang engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Kabulkanlah permohonan kami,ya Allah!

Sesudah membaca Al Fatihah pada rakaat pertama dan kedua pada solat wajib, kita disunnatkan membaca surah-surah atau ayat yang lain. Pada rakaat selanjutnya yaitu ketiga dan/atau keempat, kita hanya diwajibkan membaca Al Fatihah saja, sedangkan pembacaan surah atau ayat lainnya tidak diwajibkan. Surah-surah atau ayat-ayat Al Quran yang diinginkan dapat saja kita pilih diantara sekian banyak surah dari Al Quran. Sebaiknya usahakanlah tetap membaca surah atau beberapa ayat Al Quran sesudah al Fatihah pada rakaat pertama dan kedua (pada solat wajib) misalnya:

Wal ashri innal insaana lafii khusrin illaladziina 'aamanu wa'amilus shaalihaati watawaashaw bil haqqi watawaashaw bis shabri (QS)

"Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh serta mereka yang berwasiat pada jalan kebenaran dan mereka yang berwasiat pada ketabahan."

________________________________________

Ruku

Di dalam ruku membaca :

1. Subhaana rabbiyal azhim (3x) ("Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung")

atau

2. Subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika allaahummaghfirlii ("Maha suci Engkau ya Allah, ya Tuhan Kami, dengan memuji Engkau ya Allah, ampunilah aku")

*Boleh dipilih salah satu di antara kedua do'a tersebut.

________________________________________

I'tidal

I'tidal atau bangun dari ruku seraya mengangkat kedua tangan membaca:

Sami'allaahu liman hamidah. Rabaanaa walakal hamdu. (Maha mendengar Allah akan pujian orang yang memuji-Nya. Ya Tuhan kami, untuk-Mu lah segala puji.")

Bagi orang yang telah lancar bacaannya, maka pujian bangun dari ruku dapat diperpanjang dengan:

"Mil-ussamaawaati wa mil ul ardhi wa mil-umaa syi'ta min sya-in ba'du" (Untuk-Mu lah segala puji sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki.)

________________________________________

Sujud Pertama

Bacaan dalam sujud:

Subhaana rabbiyal a'la (3x) (Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi_

Atau boleh juga membaca pujian seperti pujian No. 2 dalam ruku yaitu:

Subhaanakallaahumma rabbanaa wa bihamdika Allaahummaghfirlii (Mahasuci Engkau ya Allah, ya Tuhan kami, dengan memuji Engkau ya Allah, ampunilah aku)

________________________________________

Duduk Diantara Dua Sujud

Ketika duduk diantara dua sujud membaca:

Allaahummaghfirlii, warhamnii, wajburnii, wahdinii, warzuqnii (Ya Allah, ampunilah hamba, kasihanilah hamba, cukupilah hamba, tunjukilah hamba, dan berilah hamba rizki.)

Atau boleh juga membaca:

Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, warzuqnii, wahdinii, wa'afinii, wa'fu'annii. (Wahai Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupilah aku, angkatlah derajatku, ber rizqilah aku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku, dan maafkanlah segala kesalahanku.)

[ kembali ke atas ]

________________________________________

Sujud Kedua

Bacaan dalam sujud kedua, sama dengan bacaan dalam sujud pertama yaitu:

Subhaana rabbiyal a'la (3x)(Mahasuci Tuhanku yang Maha Tinggi)

Bacaan-bacaan dalam ruku, i'tidal, sujud, dan ketika duduk diantara dua sujud dalam solat, semuanya sunat (tidak wajib) yang amat dianjurkan.

________________________________________

Berdiri Pada Rakaat Kedua

Sikap berdiri pada rakaat kedua sama dengan sikap berdiri pada rakaat pertama, yaitu dengan bersedekap tangan ke dada, yang kanan di atas yang kiri.

Mulai dengan membaca ta'awwudz:

A'uudzu billaahi minasy syaithaanirrajiim (Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan syaithan yang terkutuk.)

Kemudian diteruskan dengan membaca surah Al-Fatihah.

Sesudah membaca Al-Fatihah, kembali pada rakaat kedua ini dianjurkan untuk membaca pula satu surah atau beberapa surah atau ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian kembali melakukan ruku.

________________________________________

Ruku di Rakaat Kedua

Sikap dan bacaan ruku di rakaat kedua ini sama dengan sikap dan bacaan pada ruku di rakaat pertama.

________________________________________

Bangun dari Ruku

Sama dengan I'tidal pada rakaat pertama, bangkit serta mengangkat kedua tangan seraya membaca do'a i'tidal.

________________________________________

Sujud Pertama pada Rakaat Kedua

Bacaan di dalam sujud ini sama dengan bacaan pada sujud di rakaat pertama.

________________________________________

Duduk Diantara Dua Sujud

Bacaan doa ketika duduk diantara dua sujud pada rakaat kedua sama dengan bacaan pada rakaat pertama.

________________________________________

Sujud Kedua Pada Rakaat Kedua

Sikap dan bacaan pada sujud kedua pada rakaat kedua sama juga dengan sikap dan bacaan pada sujud-sujud sebelumnya.

________________________________________

Duduk Tahiyyat

Sikap duduk pada tahiyyat pertama (Tawarruk, keadaannya sama ketika duduk antara dua sujud menduduki kaki kiri, sedang kaki kanan tegak dengan jarijari kaki menghadap kiblat). Lain dengan sikap duduk pada tahiyyat kedua atau tahiyyat akhir (ifti-rasy, kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari kaki menghadap ke arah kiblat).

Bacaan ketika tahiyyat ialah:

At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu waththayibaatu

Semoga kehormatan untuk Allah, begitu pula segala do'a dan semua yang baik-baik.

Assalaamu'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh

Salam sejahtera untukmu wahai para Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya.

Assalaamu'alainaa wa'ala ibaadillahis shaalihiin

Salam sejahtera untuk kami dan untuk para hamba Allah yang saleh

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya

Contoh di atas adalah praktek solat subuh 2 rakaat. Bila Anda solat Maghrib 3 rakaat, maka bacaan tahiyyat pertama rakaat kedua cukup samapai pada "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad" dan akhir rakaat ketiga bacaan tahiyyat dibaca dengan sempurna samapi "hamiidun majiid". Setelah itu memberi salam.

Bila anda solat 4 rakaat, yaitu Zohur, Ashar, atau Isya, maka akhir rakaat kedua persis sama dengan akhir rakaat kedua solat Maghrib. Pada akhir rakaat ketiga, tak ada tahiyyat, dan pada akhir rakaat keempat barulah anda sempurnakan bacaan tahiyyat hingga "hamiidun majiid", lalu memberi salam sebagai akhir dari shalat.

Allaahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'alaa aali Muhammadin, kamaa shallaita 'alaa Ibraahim wa'alaa aali Ibrahim, wa baarik 'alaa Muhammadin, kama baarakta 'alaa Ibrahiima wa'alaa aali Ibraahima, fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid.

Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berilah berkat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia.

________________________________________

Memberi Salam

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah selesai tahiyyat, anda memberi salam dengan membaca:

Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh (Salam sejahtera untukmu, rahmat Allah dan berkat-Nya.)

Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Perhatian:

Ketika membaca tasyahhud (asyhadu..) dalam tahiyyat, telunjuk kanan digerakkan ke atas bagai meyakinkan bahawa Allah itu hanya Esa.

Solat Jama & Qasar

Solat Jama



Yang dimaksud dengan solat Jama adalah penggabungan dua waktu solat dan dikerjakan dalam satu waktu, misalnya solat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.



Bila solat Zuhur dikerjakan bersama-sama dengan Ashar di waktu Ashar, maka dinamakan Jama Ta'khir. Sebaliknya bila solat Ashar dikerjakan bersama-sama dengan Zuhur di waktu Zuhur disebut Jama Taqdin. Demikian juga bila solat Maghrib dan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Maghrib, ia disebut Jama Taqdim, sebaliknya solat Maghrib dengan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Isya, ia dinamakan Jama Ta'khir.



Zuhur, Ashar, Isya dan Maghrib, rakaatnya tetap, 4,4,4, dan 3. Dalam solat Jama' baik yang taqdim maupun takhir, maka solat yang didahulukan mengerjakannya adalah solat yang lebih dulu waktunya. Jadi, bila selesai dengan shalat Zuhur, harus dilanjutkan dengan solat Ashar; begitu pula dengan solat Maghrib dan Isya.



Solat Jama boleh dikerjakan oleh orang-orang yang:

• Kerana dalam perjalanan atau musafir, iaitu sejak ia berangkat hingga kembali ke kampung

• Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.

• Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.

Harus ada niat dalam hati bahawa ia mengerjakan solat Jama'.



Shalat Qasar



Yang dimaksud dengan solat Qashar ialah mengerjakan solat yang empat rakaat menjadi 2 rakaat sahaja, yakni solat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Dalam Al Quran disebutkan:

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu". (An Nisa 101).

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Yahya bin Mazid r.a. katanya:

"Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya: Rasulullah s.a.w. "Apabila ia berjalan jauh 3 mil atau 33 farskah (25,92 km), maka beliau solat dua rakaat"





Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. :"Apakah halnya kita, sedangkan kita telah aman".



Rasulullah s.a.w. menjawab: "Itu adalah sadakah yang diberikan Allah s.w.t. kepada kamu, maka terimalah sedekahnya itu" (HR Ja'la bin Umayyah)



Solat Qashar boleh dikerjakan oleh seseorang yang tengah berpergian (musafir) baik dalam keadaan aman, maupun dalam keadaan ketakutan; baik perjalanan wajib atau biasa, asalkan perjalanan yang bukan maksiat. Dalam perjalanan Haji, menuntut ilmu, berdagang, mengunjungi sahabat dan lain-lain, halal untuk

mengqasharkan solat.



Adapun solat qashar saja, maupun qasahar dan jama' yang dilakukan seseorang selama masa perjalanan, maka setelah ia tiba dirumah kembali, solatnya tidak perlu diulangi.



Seorang musafir, boleh mengerjakan jama' dan qashar sekaligus. Bila ingin mengerjakan jama, dan qashar, jika ingin azan, maka azannya cukup satu kali saja dan iqamahnya dua kali. Caranya, mula-mula azan, lalu iqamah dan solat. Bila telah selesai ia iqamah sekali lagi untuk solat berikutnya. Solat qashar adalah

bagian dari ketetapan agama Islam.



Boleh jama' di dalam negeri



"Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah s.a.w. pernah sembahyang jama' antara Zuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, bukan diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang bertanya kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Rasulullah s.a.w. berbuat begitu? Ia menjawab: "Rasulullah s.a.w. berbuat begitu kerana tidak mahu memberatkan seorangpun daripada umatnya". (HR Imam Muslim)



Boleh Seketika, Tetapi Bukan Leluasa



Bila anda berpergian sebelum tergelincir matahari (yaitu sebelum Zuhur dan ternyata Zuhur tidak dapat dikerjakan pada waktunya kerana ada kerumitan atau halangan yang susah dielakkan), maka Zuhur dapat dikerjakan pada waktu Ashar, bersama-sama dengan solat Ashar. Bila anda keluar sesudah tergelincir matahari, yakni sudah dalam Zuhur, sedangkan anda sendiri memperkirakan tidak mungkin ada kesempatan untuk mengerjakan solat Ashar tepat pada waktunya, maka Ashar dapat anda kerjakan bersama-sama solat Zuhur di waktu Zuhur itu juga, demikian halnya dengan solat Maghrib dan Isya.



Yang Penting Niat



Bagi seorang yang betul-betul sibuk dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkan (atau bila ditinggalkan dapat merosak), maka baginya ada keizinan/keringanan untuk mengerjakan solat jama' (Zuhur dengan Ashar di waktu Zuhur atau Zuhur dengan Ashar di waktu Ashar. Begitu juga Maghrib dengan Isya, sekali pun ia berada di dalam kota atau negeri. Tetapi, cara yang demikian bukanlah untuk dijadikan kebiasaan, namun dibenarkan bagi yang memang memerlukan, baik dalam solat atau diluar solat.

Pada waktu sujud dianjurkan membaca:



Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam'ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi. (Aku bersujud kepada Allah yang menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya)



Catatan:



Bila diluar solat, pembacaan ayat yang ditentukan melakukan sujud tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa.



Bila dalam solat jamaah, Imam bersujud tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukannya sebagai anggota solat berjamaah.

Solat Berjamaah

Solat berjamaah adalah solat yang dilakukan secara bersama, dipimpin oleh yang ditunjuk sebagai imamnya. Solat-solat yang bisa dikerjakan berjamaah adalah:

1. Solat Lima Waktu: Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya

2. Solat Jum'at

3. Solat Tarawih

4. Solat Ied Fitri dan 'Idul Adha

5. Solat Jenazah

6. Solat Istisqa (Minta Hujan)

7. Solat Gerhana Bulan dan Matahari

8. Solat Witir

Cara Melakukan

Berniat dalam hati bahawa ia menjadi makmum atau iman. Adapun seseorang yang pada mulanya solat sendirian, kemudian ada orang lain yang mengikuti di belakangnya, baginya tidak dituntut sebagai imam.

Makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya maupun gerakannya selama solat berjama'ah berlangsung. Makmum diharuskan mengikuti sikap/gerak imam, tidak boleh terlambat apa lagi sampai tertinggal hingga dua rukun solat.

Apabila makmum menyalahi gerakan imam (sengaja tidak mengikutinya) maka putuslah arti jama'ah baginya; dan ia disebut mufarriq.

Antara imam dan makmum harus berada dalam satu tempat yang tidak terputus oleh sungai atau tembok mati kerana itu berjamaah melalui radio atau seumpamanya dalam jarak jauh, tidak memenuhi syarat berjamaah.

Imam hendaklah orang yang berdiri sendiri, bukan orang yang sedang makmum kepada orang lain. Selain itu, imam hendaklah seorang laki-laki. Perempuan hanya dibenarkan menjadi imam sesama perempuan dan anak-anak.

Solat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada solat sendirian (munfarid). Solat berjamaah paling sedikit adalah adanya seorang imam dan seorang makmum.

Bila seseorang terlambat mengikuti solat berjamaah, hendaklah ia segera melakukan takbiratul ihram, lalu berbuat mengikuti imam sebagaimana adanya. Bila imam sedang duduk, hendaklah ia duduk, bila iamam sedang sujud iapun harus sujud; demikian seterusnya. Apabila imam sudah memberi salam, hendaklah ia bangun kembali untuk menambah kekurangan raka'at yang tertinggal dan kerjakanlah hingga raka'atnya memenuhi.

Ukuran satu rakaat solat ialah ruku'. Bila seseorang mendapatkan imam ruku dan dapat mengikutinya dengan baik, maka ia mendapatkan satu rakaat bersama imam.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi shalat, padahal imam sedang berada daam suatu sikap tertentu, maka hendaklah ia berbuat seperti apa yang sedang dilakukan oleh imam". (HR Turmudzi dan Ali r.a. )

Hikmah Berjamaah

Solat berjamah mengandung faedah dan manfaat yang bervariasi sesuai dengan kepentingan umat dan zaman. Melalui jamaah, silaturahmi antar umat, disiplin, dan berita-berita kebajikan dapan dikembangkan dan disebarkan luaskan.

Rasulullah s a.w. bersabda: Solat berjamaah itu lebih utama nilainya dari solat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat" (HR Bukhari dan Muslim).

Imam (Ikutan)

Imam adalah ikutan, demikian pengertiannya. Untuk menjadi seorang imam diperlukan beberapa persyaratan yang mengikat. Misalnya memiliki usia yang lebih tua atau dituakan, memiliki pengetahuan tentang Al Quran dan hadits Rasulullah s a.w., memiliki keindahan bacaan dengan ucapan yang fasih (kalau di zaman Rasulullah s a.w., peribadi-peribadi yang lebih dahulu hijrah diperhatikan untuk menjadi imam.

Kerana imam adalah ikutan, maka pemilihan pribadi amat diperhatikan. Pro dan kontra yang berlebihan atas seseorang imam kerana dosa besarnya yang menonjol, pasti akan membubarkan jamaah. Adapun dalam kesalahan umum, maka semua manusia tidak suci dari dosa. Seorang yang biasa menjadi imam, maka tidak ada salahnya untuk sewaktu-waktu ia berada di belakang imam yang lain. Walau dia sendiri mungkin lebih baik dari imam yang bersangkutan.

"Dari Abdullah bin Masud, dia berkata: Rasulullah s a.w. bersabda: "Menjadi Imam dari suatu kaum ialah mana yang lebih baik bacaan Al Qur'annya. Bila semuanya sama bagusnya, hendaklah imamkan mana yang paling alim (banyak tahu) akan sunnah Rasul. Kalau semuanya sama alim tentang sunnah Rasul, maka dahulukan mereka yang lebih dulu hijrah. Kalau mereka sama dahulu hijrah, maka iammkanlah mereka yang lebih tua usianya" (HR Imam Ahmad dan Muslim, dari Abdullah bin Mas'ud).

"Kalau mereka ada bertiga, hendaklah diimamkan seorang. Yang lebih berhak menjadi imam ialah yang lebih banyak bacan (tahu tentang bacaan Al Qur'annya)". (HR Imam Muslim, Ahmad dan Nasa'i dengan sumber Abi Said Al-Khudry).

"Tidaklah halal bagi seorang mukmin yang imam kepada Allah s.w.t. dan hari akhir yang mengimami sesuatu kaum kecuali atas izin kaum itu. Dan janganlah ia mengkhususkan satu do'a untuk dirinya sendiri dengan meninggalkan mereka. Kalau ia berbuat demikian, berkhianatlah ia kepada mereka". (HR Abu Daud dari Abu Hurairah)

Keadaan Shaf

Solat salah satu ibadah yang menghubungkan peribadi kepada Allah s.w.t., dan juga mengatur hubungan sesama manusia. Solat yang baik mendatangkan tamsil yang indah dan berguna.

Shaf yang baik akan menghemat tempat, merapikan barisan dan kesatuan jamaah serta mendatangkan nilai tambah bagi ibadah itu sendiri, bahkan menjadi cermin disiplin kehidupan dan pergaulan.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Aturlah shaf-shaf kamu dan dapatkanlah jarak antaranya, ratakanlah dengan tengkuk-tengkuk". (HR Imam Abu Dawud dan An Nasa'i disahihkan Ibnu Hibban dari Anan).

Sering orang mengira bahawa shaf yang baik adalah shaf yang dilakukan secara santai-lapang. Tidaklah demikian sebenarnya.

Untuk Shaf yang Baru

Bila shaf terisi penuh, maka mulailah dengan shaf yang baru dari arah sebelah kanan. Bila yang terbelakang hanya seorang diri, maka usahakanlah ia dapat masuk shaf yang sudah ada; atau tariklah seorang anggota shaf yang ada untuk menemaninya (yang ditarik pasti mahu, andaikan ia mengerti tata tertibnya).

Shaf Kaum Wanita

Shaf kaum wanita sebaiknya terletak di belakang shaf kaum lelaki, sementara shaf anak-anak berada di tengah; demikian bila dimungkinkan. Bila tidak, shaf makmum lelaki dan wanita bisa diatur secara sejajar; atau mungkin tercampur sama sekali, bagaikan jamaah musim haji di masjidil Haram, Makkah. Shaf yang bercampur baur sebenarnya kurang baik, bahkan mudah mengandung fitnah; sementara solat itu sendiri mencegah kekejian dan kemungkaran, yang akan mendatangkan fitnah, apalagi jika melakukan solat.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Sebaik-bauknya shaf kaum lelaki itu di depan, dan seburuk-buruknya ialah di bagian belakangnya, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita itu ialah pada bagian akhirnya dan sejelek-jeleknya ialah di bagian depannya". (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Pengganti Imam

Bila solat berjamaah, sebaiknya orang yang di belakang imam adalah mereka yang merasa dirinya siap sebagai pengganti, bila tiba-tiba imam mendapat halangan, umpamanya batal, jatuh sakit, lupa ingatan, terlupa rukun dan sebagainya. Apabila seseorang solat di sebuah masjid di luar asuhan atau daerahnya sendiri, maka dia tidak boleh langsung bertindak menjadi imam, kecuali bila diminta. Mungkin saja disana sudah ada jadwal imam tetap. Begitu pula bila ia bertamu, kerana yang paling hak menjadi imam adalah tuan rumah sendiri, kecuali bila ia diminta.

Imam Yang Arif

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s a.w. bersabda: "Manakala seseorang di antara kamu solat bersama-sama orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (memendekkan) bacaan surat atau ayat-ayatnya. Mungkin ada diantara jamaah yang tidak tahan lama berdiri, ada yang sakit, atau ada yang sudah tua. Dan manakala seseorang dari kamu itu solat sendirian, maka silakan ia memanjangkan bacaan sekehendaknya". (HR Bukhari dan Muslim).

Khutbah dipendekkan dan solat diperpanjang, demikian petunjuk Rasulullah s a.w. Di pejabat, pekerja dibatasi oleh waktu, maka khutbah yang pendek sangat tepat dan bermanfaat. Khutbah yang seakan-akan cerita bersambung, membosankan, akhirnya jama'ah berbual dan mengantuk.

Ringkasan

• Kalau solat di rumah, maka tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali tuan rumah mempersilakannya.

• Orang yang bagus bacaan Al-Qurannya lebih diutamakan untuk menjadi imam.

• Bila solat telah berlangsung, mereka yang datang belakangan terus saja mengikuti imam yang sudah ada.

• Imam sedapatnya orang yang lebih disukai makmum, kerana iman itu dipilih untuk diikuti.

• Imam sahabat rawatib, sebaiknya oleh imam yang biasa ditetapkan, kecuali ada kesepakatan menunjuk orang lain sebagai imam.

• Imam yang fasih lebih utama, sebagai halnya seorang yang dituakan, baginya amat layak menjadi imam dalam solat.

• Imam itu bertanggung jawab atas makmumnya, kerana itu seorang imam harus tahu benar dengan kedudukannya.

• Orang makmum yang tepat berada di belakang imam, hendaklah seorang yang amat tahu dalam masalah ibadah yang sedang dilakukan. Mereka harus bertindak tepat pada saat imam batal, salah, lupa dan sebagainya. Bila perlu ia berhak menggatikan imam, sekalipun imam berkebaratan atau tidak tahu tentang kesalahannya.

• Seorang di belakang imam berlaku sebagai barometer, berhak meluruskan baris atau shaf di kanan dan kirinya.

• Apabila selesai solat, imam segera duduk mengarah ke jamaah. Sebaiknya imam berdzikir secara pelan dan kusyu, dan jamaahpun berdzikir atau berdoa sesuai kata hatinya; demikian yang terbaik.

• Bila imam berdoa, diaminkan atau tidak diaminkan, doa imam sudah membawa kepentingan jamaahnya.

Solat Sunnat Istikharah

Solat ini dilakukan untuk mendapatkan petunjuk, terutama bila seseorang dalam keraguan memutuskan mana yang terbaik diantara dua perkara yang diragukan.



Sebelum seseorang mengambil keputusan ia dianjurkan solat istikharah dua rakaat. Setelah selesai shalat, berdoa seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW:

Allaahumma inni astakhiiruka bi'ilmika , wa astaqdiruka biqudratika wa as aluka min fadhlikal azhiim. Fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wata'lamu wa laa a'lamu, wa anta allaamul ghuyuub.



Allaahumma inkunta ta'lamu anna haadzal amra khairun lii fii diinii wama'aasyii wa 'aaqibati amrii, 'aajili amrii wa aajilihi faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baarikliifiihi. Wa inkunta ta'lamu anna haadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma'aasyii wa 'aaqibatu amrii 'aajili amrii wa aajilihi fashrif annii washrifni 'anhu waqdur liyal khairahaytsu kaana tsumma ardhinii bihi, innaka 'alaa kulli syai-in qadiir



"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon pilihan-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku mohon kepastian kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, Engakau Maha Tahu dan Maha Mengetahui segala yang gaib.

Ya Allah, jika Engkau mengetahui urusan ini baik bagiku, untuk agamaku, untuk penghidupanku dan akhir kesudahannya kelak, maka takdirkanlah dia bagiku dan mudahkanlah dia bagiku, kemudian berilah dia berkah bagiku.

Dan apabila Engkau mengetahui pekerjaan itu buruk bagiku, untuk agamaku, untuk penghidupanku dan akhir kesudahannya kelak, maka singkirkanlah dia daripadaku dan hindarkanlah aku daripadanya. Takdirkanlah hal-hal yang baik bagiku dimana kebajikan itu berada, kemudian berilah aku menyenanginya"

Tata Cara Shalat Istikharah



Tata cara solat istikharah sama dengan solat subuh, Hanya niatnya saja yang berlainan, yaitu berniat solat istikharah. Bila mungkin laksanakan sesudah lewat tengah malam, setelah bangun tidur. Solat ini sangat peribadi sifatnya. Sebab itu harus dikerjakan sendirian. Solat ini tidak memakai azan atau iqamah.



Dalam berdoa sebaiknya menyebutkan permintaan yang ingin diberikan petunjuk oleh Allah s.w.t. misalnya: "Ya Allah, jika Engkau mengetahui urusan ini....(sebutkan namanya)"

Solat-solat Sunnat Lainnya

Solat Safar



Apabila seseorang hendak berpergian, sebelum meninggalkan rumah, ia dianjurkan mengerjakan solat safar dua rakaat; demikian pula sesudah tiba di rumah kembali.



Caranya sama dengan mengerjakan solat subuh, hanya niatnya berlainan, yaitu berniat solat safar sunnat kerana Allah s.w.t.. Selesai solat berdoalah agar perjalanan diridhai, dimudahkan dan diselamatkan Allah s.w.t. dalam perjalanan, baik pribadi, tugas maupun keluarga yang ditinggalkan.



Solat Tahiyatul Masjid



Bila seseorang masuk ke masjid, maka sebelum ia duduk atau melakukan sesuatu yang lain, lebih dulu dianjurkan mendirikan solat tahiyatul masjid (menghormati masjid) sebanyak dua rakaat. Caranya sama dengan solat sunnat yang lain, hanya niatnya saja yang berbeda.



Solat Dhuha



Solat Dhuha dilakukan pagi hari antara jam 6.30 hingga jam 11.00 . Bilangan rakaatnya sekurang-kurangnya dua rakaat dan sebanyak-banyaknya 8 rakaat. Caranya setiap dua rakaat, satu salam.



Solat Thuhur



Solat ini dikerjakan sesudah mengambil air wudhu. Kalau di masjid, sebaiknya dilakukan sesudah solat tahiyatul masjid. Caranya seperti mengerjakan solat sunnat yang lainnya.



Solat Intizhar



Solat Intizhar (solat menunggu atau sunat Mutlaq) dapat dikerjakan pada setiap saat; terlepas dari keterikatan seperti solat sunnat yang lain. Pada hari Jum'at menjelang khatib naik mimbar, atau pada kesempatan yang hampir serupa. Solat Intizhar tidak boleh dikerjakan lagi bila khatib sudah naik mimbar. Caranya seperti mengerjakan solat subuh juga, setiap dua rakaat satu kali salam. Boleh dikerjakan satu kali atau lebih.



Solat Syukur



Solat ini biasanya dikerjakan apabila setelah berhasil menaklukkan musuh, mengerjakan pekerjaan besar, memperoleh keuntungan besar, seperti lulus ujian dan sebagainya. Bilangan rakatnya boleh 2, 4, 6 atau 8 dan dikerjakan terus menerus dengan hanya satu kali salam pada rakaat terakhir.



Solat Sunnat Jum'at



Selesai solat Jum'at, kita dianjurkan melakukan solat empat rakaat atau dua rakaat, dengan niat solat sunat Jum'at.



Rasulullah s a.w. bersabda: "Apabila anda sudah selesai solat Jum'at maka hendaklah kamu solat sesudahnya empat rakaat" (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah)



Dalam hadits lain juga disabdakan:



"Bahwa Rasulullah s a.w. tidak mengerjakan solat sunnat sesudah Jum'at sehingga ia pulang ke rumahnya, maka beliau solat dua rakaat dirumahnya". (Hr Imam Muslim dan Ibnu Umar r.a.)

Solat Sunnat Istisqa (Minta Hujan)

Pada musim kemarau panjang, kita dianjurkan melakukan solat Istisqa (solat minta hujan). Seluruh anggota masyarakat, lelaki dan wanita, tua muda, anak-anak, dan orang tua lemah pun kalau perlu didukung dan diikutsertakan; berkumpul di satu kawasan lapang, semua berpakaian yang biasa dipakai kerja. Jama'ah dengan rendah hati, khusyu, dan bersungguh-sungguh mengharap ridha Allah s.w.t.



Khatib naik mimbar atau berdiri di tempat ketinggian, lalu memulai berkhutbah dengan puji-pujian kepada Allah s.w.t., dua kalimah syahadah dan shalawat kepada Rasulullah s a.w.. Kandungan khutbah mengajak umat bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t, lalu mengajukan permohonan kepada-Nya, semoga Dia menurunkan hujan. Sebaiknya beberapa hari menjelang solat istisqa dilakukan, pemuka umat sudah berbuat menasihati, menginsyafkan umat serta berpuasa bersama-sama selama empat hari berturut-turut dan mengajak berlumba-lumba membuat kebajikan.



Doa meminta hujan:

Alhamdulillahi rabbil aalamiim. Arrahmaanirrahiim.

Maalikiyaumiddiin. Laailaaha illallaahu ya'alu maa yuriid. Allaahumma antallaahu laa ilaahaa illallaahu antal ghaniiyyu wa nahnul fuqaraa-u anzil alainal ghaytsa waj al maa anzalta lanaa quwwatan wa balaaghan ilaahiin.



"Segala puji bagi Alah, pemelihara alam semesta. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan yang memiliki hari pembalasan. Tidak ada Tuhan selain Allah. Allah berwenang berbuat sekehendak-Nya.



Ya Allah, Engkaulah Tuhan, Tiada Tuhan selain Engkau yang Maha Kaya, dan kami berhajat kepada Engkau. Curahkanlah hujan kepada kami, dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu menjadi kekuatan bagi kami hingga masa-masa selanjutnya".

Lalu khatib menadahkan kedua tangannya ke langit seraya membalikkan diri, membelakangi jama'ah dan menghadap kearah kiblat, dengan segala kerendahan hati ia memohon kepada Allah s.w.t., sementara jamaah mengaminkannya. Kemudian khatib menghadap kembali kepada orang banyak, lalu turun dari mimbar untuk melakukan solat dua rakaat dengan para jamaah. Solat ini tidak memerlukan azan dan iqamah. Sebaiknya sesudah membaca Al Fatihah pada rakaat pertama, imam membaca surat Al A'la dan sesudah Al Fatihah pada rakaat kedua, imam membaca surah Al Ghasyiyah.

Shalat Sunnat Rawatib

Solat sunnat rawatib biasa juga disebut sunnat Qabliyah dan sunnat Ba'diyah. Dinamakan demikian kerana solat sunnat ini dilaksanakan sebelum dan sesudah solat wajib yang lima waktu, ia merupakan pendamping atau pelengkap bagi solat yang bersangkutan.



Sebelum Zuhur kita dianjurkan (disunnatkan) mengerjakan solat Qabliyah dua rakaat. Bila mungkin dan cukup waktu kerjakan dua rakaat lagi. Setelah selesai solat Zuhur, dianjurkan pula mengerjakan solat Ba'diyahnya dua rakaat, bila mungkin, kerjakan dua rakaat lagi. Jadi sunat rawatib bagi solat Zuhur; Qabliyah 2+2 dan Ba'diyah 2+2 rakaat.



Adapun solat sunnat rawatib bagi shalat Ashar, Qabliyah (sebelum Ashar) empat rakaat, sekurang-kurangnya dua rakaat (untuk Ashar tidak ada rawatib Ba'diyahnya). Untuk solat Maghrib kita boleh melakukan solat sunnat Rawatib Ba'diyah sebanyak dua rakaat (Maghrib tidak ada Rawatib Qabliyahnya).



Untuk Isya, dua rakaat Qabliyah dan dua rakaat Ba'diyah. Adapun untuk solat Shubuh, hanya ada dua rakaat sebelumnya (Qabliyah).

Cara mengerjakan solat sunnat rawatib ini sama halnya dengan cara mengerjakan solat Subuh, hanya niatnya yang berbeda. Untuk solat rawatib Zuhur, berniat mengerjakan solat sunnat rawatib Qabliyah atau Ba'diyah dan dikerjakan dengan cara sendiri-sendiri (Munfarid, tidak berjamaah).

Solat Sunnat Tahajjud dan Witir

Solat Tahajjud ialah solat malam, atau biasa disebut Shalatul Lail. Waktunya lewat tengah malam, dan sebaiknya dikerjakan setelah tidur terlebih dahulu. Bilangan rakaatnya sebelas rakaat; yakni 8 rakaat + 3 rakaat sunnat witir.

• Tahajjud dapat dikerjakan 2x4 rakaat, yaitu setiap 4 rakaat 1 salam, lalu ditambah dengan witir 3 rakaat 1 salam.

• Atau dengan cara 4x2 rakaat, yaitu setiap 2 rakaat 1 salam, lalu ditambah dengan 3 rakaat witir 1 kali salam.

Ayat-ayat yang dibaca sesudah Al Fatihah boleh dipilih sendiri. Biasanya ayat-ayat yang dipahami maknanya akan lebih berkesan dan mudah dihafal. Bagi yang belum hafal, dapat membaca pada rakaat pertama surat Al Ashar serta Al Kautsar; atau ayat-ayat pendek lainnya.



Melalui solat malam, seseorang dapat meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah s.w.t..



Firman Allah s.w.t.:



"Dan pada sebagian malam tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji". (Al Isra : 79).



Solat Witir



Witir artinya ganjil. Dinamakan Solat Witir, kerana bilangan rakaatnya yang selalu ganjil; yaitu boleh 1 rakaat, 3, 5, 7, 9 atau 11 rakaat. Boleh dikerjakan dua-dua, terakhir 3 rakaat 1 tahiyyat 1 salam.



Solat witir dilakukan setelah solat Isya hingga menjelang fajar (shubuh). Ia dapat dikerjakan sebagai pelengkap solat Tahajjud atau solat Tarawih; ia layaknya sebagai penutup segala solat yang dilakukan hingga menjelang Subuh. Misalnya seseorang yang memperkirakan peribadinya tak akan terbangun mengerjakan solat Tahajjud lagi, maka ia dapat mengerjakan solat witir langsung sesudah mengerjakan solat Isya. Pada setiap rakaat solat witir, selain membaca Al Fatihah kita dapat pula memilih beberapa ayat atau salah satu dari Al Quran.

Solat Tarawih

Solat Tarawih dalam bulan Ramadhan ialah solat Tahajjud atau shalatul lail yang dilakukan pada malam-malam bulan lainnya. Sesudah membaca Al Fatihah pada setiap rakaat, lalu membaca ayat-ayat atau surah dari Al Quran . Bilangan rakaat shalat Tarawih sesuai sunnah Rasulullah s a.w. ialah 11 rakaat; terdiri dari 8 rakaat solat Tarawih dan 3 rakaat solat Witir. Sementara Umar bin Khatab r.a. mengerjakannya 20 rakaat dengan ditambah witir 3 rakaat. Solat tarawih termasuk sunnah muakkad, boleh dikerjakan dengan berjamaah boleh juga sendiri.



Menurut pendapat Al Ghazali, dalam bukunya "Rahasia-rahasia Shalat", walaupun dapat dikerjalan sendiri tanpa berjamaah, solat Tarawih yang dilakukan secara berjama'ah lebih afdhal, sama seperti pendapat Umar r.a., mengingat bahawa sebagian solat nawafil telah disyariatkan dalam jama'ah, maka yang ini pun pantas dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Sedangkan alasan kekhawatiran timbulnya riya bila berjamaah, atau pun kemalasan bila sendirian, sudah jelas menyimpnag dari tujuan keutamaan berkumpul dalam suatu jama'ah. Barangkali, orang yang berpegang pada alasan tersebut ingin berkata bahawa melakukan solat lebih baik daripada meninggalkannya kerana malas, dan bahawa kemalasan (bila sendirian) lebih baik daripada riya (jika solat jamaah). Demikian menurut Al Gazhali.



Cara Mengerjakan



2x4 rakaat + Witir, yaitu setiap 4 rakaat 1 kali salam, ditambah dengan witir 3 rakaat 1 kali salam.



4x2 rakaat + 3 rakaat witir, yaitu setiap 2 rakaat 1 kali salam, ditambah dengan witir 3 rakaat 1 kali salam.



Waktu solat Tarawih ialah sejak selesai solat Isya hingga terbit fajar

Solat Ied (Idul Fitri)

Islam memiliki dua hari raya iaitu Hari raya Fitri 1 Syawal dan Ied Adha 10 Dzulhijjah (Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji).



Cara mengerjakannya hampir sama dengan solat Jum'at yaitu dua rakaat. Bedanya, pada solat Ied, takbir awal pada rakaat pertama sebanyak 7 kali, dan takbir pada rakaat kedua sebanyak 5 kali, dan khutbah Ied dilakukan sesudah shalat.



Solat Ied & Idul Adha :



• Sebaiknya dilakukan di lapangan terbuka

• Disunatkan makan/minum sekedarnya menjelang pergi ke tempat solat. (Kebalikan dari Ied Adha: menahan makan sampai turun khatib dari khutbah)

• Disunatkan pergi dan pulang dari solat Ied menempuh jalan yang berbeda

• Tak ada solat sunnat yang mendahului atau yang mengiringi solat Ied.

• Bagi mereka yang mengerjakan solat Ied di lapangan baginya tidak ada solat sunnat Tahiyatul Masjid.

Bacaan setiap sesudah takbir



Subhaanallaah wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar. ("Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah itu Maha Besar")



Sunnat memperbanyak lafaz takbir pada malam dan sepanjang Hari Raya Fitri. Pada Ied Adha, lafaz takbir hanya dikumandangkan pada malam dan paginya menjelang usai khutbah. Waktu-waktu berikutnya

dilakukan pada kesempatan solat fardhu termasuk pada hari-hari Tasyriq. Lafazh berbunyi:



Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar allaahu akbar walillaahil hamd. Allahu akbar kabiira walhamdulillahi katsiira wa subhaanallaahi bukratan wa ashiila. Laa ilaaha illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, wa hazamal ahzaaba wahdah. Laa ilaaha illallaahu walaa na'budu illa iyyaahu mukhlishiina lahuddiina walau karihal kaafiruun.



"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan bagi Allah segala puji, Allah Maha Besar, Maha Agung, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah pagi dan petang, tidak ada Tuhan selain Allah sendiri saja, Maha Benar Janji-Nya, Maha Penolong akan hamba-Nya, dan menghalau pasukan-pasukan musuh sendiri-Nya saja. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya saja, mengikhlaskan agama bagi-Nya sekalipun tidak disukai orang-orang

kafir ".



Bagi mereka yang terlambat tiba di tempat solat dan mendapati imam sedang solat, ia jangan berbalik pulang, tetapi bergabunglah dan ikutilah, kemudian tambahilah sebanyak rakaat yang tertinggal.

Apabila mereka mendapati jamaah telah selesai solat, maka kerjakanlah solat Ied sebanyak dua rakaat; jangan ragu, jangan malu dan kerjakanlah hingga selesai. Bila selesai solat Ied duduklah dan dengarlah khutbah dengan khidmat.



Disunnatkan mendengar khutbah dengan khidmat dan jangan meninggalkan lapangan sebelum khatib turun dari mimbar, kecuali kerana hal-hal yang sangat memaksa. Bagi kaum wanita yang dalam keadaan haid, mereka dianjurkan ikut ke lapangan, ambil tempat di bagian pinggir, lalu mendengar khutbah, demi syiarnya Islam.



Bacaan setiap sesudah takbir berbunyi:



"Subhaanallaah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar" ("Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar.")

Solat Sunnat Hajat

Solat hajat dilakukan untuk memperkuat cita-cita seseorang atau sekelompok orang. Solat hajat boleh dikerjakan siang maupun malam hari. Malam hari, waktu tengah malam, suasana lebih berkesan, lebih khusyu, sunyi dari segala hingar bingar kehidupan. Ia boleh juga dikerjakan siang hari, istimewa bagi seseorang yang memang sedang memerlukan bantuan .



Solat hajat boleh dikerjakan dua rakaat dan boleh pula lebih. Pada halaman ini akan ditampilkan solat hajat yang berjumlah 12 rakaat.



Tersebut dalam buku Tuhfatudz Dzaakirin karangan Imam Al Ghazali, bahwa Rasulullah s.a.w. menerangkan :

"Engkau solatlah dua belas rakaat siang atau malam, dan setiap dua rakaat bacalah Tasyahud (Tahiyat dengan dua kalimah syahadat). Ketika engkau duduk yang terakhir dalam solat itu panjatkanlah puja puji kepada Allah Ta'ala, lalau salawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan kemudian bacalah takbir lalu sujud. Di dalam sujud itu bacalah olehmu: Surah Al Fatihah 7 kali, Ayat Al Kursi 7 kali, Surah Al Ikhlas 7 kali, dan lanjutkanlah dengan tahlil 10 kali.



Lafazh tahlil tersebut ialah:



Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa alaa kulli syai-in qadiir



"Tidak ada Tuhan selain Allah sendiri-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya lah kekuasaan dan miliknya segala puji. Dia yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya"



Setelah itu lanjutkan dengan membaca doa berikut ini:



Allaahumma innii as aluka bima aaqidil azzi min arsyika wa muntahar rahmati min kitaabika, wasmikal a'zhami, wajaddikal a'laa, wa kalimaatikat tammah.



"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kedudukan yang amat tinggi, rahmat serta anugerah yang tiada henti-hentinya dari ketentuan-Mu, dan dengan nama-Mu yang Maha Agung, dan kebesaran-Mu yang amat tinggi, serta firman-Mu yang Maha Sempurna.



Setelah selesai membaca doa, bermohonlah kehadirat-Nya segala sesuatu yang engkau kehendaki; baik kebajikan dunia maupun kebajikan akhirat.



Kemudian duduk kembali dan mengucapkan salam.

Solat Sunnat Gerhana

Kita mengenal gerhana matahari dan gerhana bulan. Zaman Rasulullah s.a.w., pernah terjadi gerhana matahari dan bertepatan dengan kematian putera beliau, Ibrahim. Masyarakat berkomentar dan menghubungkan gerhana tersebut dengan kematian putera tercinta Rasulullah s.a.w. Kerana pendapat yang keliru itu akan membawa kesyirikan, maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Sesungguhnya matahari dan bulan itu kedua-duanya adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Tidaklah terjadi gerhana karena matinya seseorang dan tidak pula kerana lahirnya. Apabila kamu telah menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah dan solatlah kamu hingga cuaca telah terang kembali."

Cara Solat Gerhana



Ada beberapa cara mengerjakan solat gerhana pengamalan zaman Nabi Muhammad s.a.w.:



1. Dikerjakan dengan 2 rakaat sebagaimana solat sunnat biasa



2. Dikerjakan 2 rakaat, yang pada setiap rakaat ruku'nya dilakukan dua kali, yaitu sesudah membaca Al Fatihah dan surah, lalu ruku. Bangun i'tidal, lalu membaca Al Fatihah dan surah lalu ruku yang kedua. Kemudian i'tidal lagi dengan tu'maninah barulah melakukan sujud yang pertama, duduk antara dua sujud, lalu sujud yang kedua, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kedua. Pada rakaat yang kedua ini, ruku dilakukan dua kali seperti pada rakaat yang pertama. Kemudian diakhiri dengan tahiyat.



Solat gerhana dapat dikerjakan secara berjamaah. Sebaiknya setelah solat dilakukan khutbah seperti pada solat hari raya. Isinya diarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti anjuran taubat, sedekah, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar; dan jangan lupakan keterangan tentang gerhana itu sendiri.



"Abdullah bin Amr bin Ash r.a. berkata; "Ketika terjadi gerhana di masa Nabi Muhammad s.a.w maka diserukan: "Ash-shalaatu jaami'ah (tegakkanlah solat berjamaah)". Kemudian (di dalam solat) Nabi Muhammad s.a.w. ruku dua kali dalam satu rakaat. Pada rakaat kedua Nabi Muhammad s.a.w ruku dua kali pula. Kemudian duduk dan selesai. Matahari sudah terang kembali. Siti Aisyah berkata: "Belum pernah saya sujud lama, seperti lamanya sujud solat gerhana itu". (Hr Bukhari dan Muslim).



3. Dikerjakan dengan dua rakaat, tetapi pada tipa-tiap rakaat dilakukan 3 kali ruku dan 2 kali sujud.



4. Dikerjakan 2 rakaat, tetapi tiap-tiap rakaatnya dilakukan 4 kali ruku dan 2 kali sujud.



Gerhana Penuh



Gerhana itu ada yang penuh , ada yang separuh, dan ada yang hanya sedikit saja. Untuk orang yang mengerti tentang susunan bintang atau ilmu falak, kejadian gerhana sangat mudah dipahami secara ilmiah dan iman.

Bacaan-bacaan Sesudah Solat

Perlu diketahui bahawa semua bacaan (dzikir dan do'a) sesudah solat, hukumnya adalah sunat yang dianjurkan (sunnat muakkad), bukan wajib.

Bacaan dzikir dan doa tersebut antara lain:

1. Astaghfirullaahal 'azhiim (3x)

Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung

2. Allaahumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam

Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera, dan dari-Mu lah kesejahteraan, Maha Berkat Engkau ya Allah, yang memiliki kemegahan dan kemuliaan

3. Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu, wahuwa 'alaa kulli syain qadiir

Tidak ada Tuhan selain Allah saja, Dia Sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya lah kerajaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala-Nya.

4. Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita walaa mu'thiya limaa mana 'ta walaa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu

Ya Allah, tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi pemberian-Mu, dan tak ada pula sesuatu yang dapat memberi apa-apa yang Engkau larang, dan tak ada manfaat kekayaan bagi yang mempunyai, kebesaran bagi yang dimilikinya, kecuali kekayaan dan kebesaran yang datang bersama ridha-Mu

5. Membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil, yaitu:

Subhaanalaah (33x) "Maha Suci Allah"

Alhamdulillaah (33x) "Maha terpuji Allah"

Allaahu Akbar (33x) "Allah Maha Besar"

La ilaaha illallaahu wahdaahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syain qadiir (1x)

Tidak ada Tuhan selain Allah, sendiri-Nya; tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan pujian. Dia Maha Kuasa atas segala-galanya.

6. Surah Al Ikhlas dan surah Al Mu'awwidzatain (yaitu surah Al Falaq dan An-Nas)

a. Surah Al Ikhlash:

Qul huwallaahu ahad ("Katakanlah : Allah itu Esa!")

Allaahush shamad ("Allah tempat meminta")

Lam yalid walam yualad ("Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan")

Wa lam yakun lahu kufuwan ahad ("Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya")

b. Surat Al Falaq

c. Surah An Nas

7. Ayatul Kursiy (Surah Al Baqarah 255)

Allaahu la ilaaha illa huwal hayyul Qayyum, la ta 'khudzuhu sinatun walaa naumun lahu maa fissamaawaati wama fil ardhi, man dzal ladziiyasy fa 'u 'indahu illaa biidznih, ya 'lamu maa baina aydiihim wa maa khalfahum, walaayuhiithuuna bisyai-in min'ilhimi illaa bimaa syaa-a, wasi'a kursiyuhus samaawaati wal ardhi, walaa yauuduhu hifzuhumaa wa huwal'aliyuul 'azhiim.

Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tertidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kerajaan Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dzikir-dzikir tersebut di atas boleh biasa digunakan setelah melakukan sOlat fardhu, atau dipilih beberapa diantaranya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Atau, boleh juga dzikir-dzikir yang lain, asalkan sesuai dengan malan Rasulullah SAW.

8. Do'a-do'a Sesudah SOlat

a. Allaahumma innii as-alukal jannah, Allahumma ajirnii minannaar (7x)

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon surga kepada-Mu, ya Allah, bebaskan aku dari siksa neraka.)

b. Allaahumma ashlih lii diiniyallati huwa 'ishamatu amrii, wa ashlih lii dunyayallatii ja'alta fiihaa ma'assyii

(Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang menjadi pegangan urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang padanya Engkau jadikan penghidupanku.)

c. Allaahumma 'aafinii fii badanii, Allaahumma 'aafinii fii sam'ii, Allaahumma 'aafinii fii basharii, Allaahumma innii a'uudzu bika minal kufri wal faqri, Allaahumma innii a'uudzu bika min 'adzaabil qabri, laa ilaaha illaa anta.

(Ya Allah, afiatkanlah badanku. Ya Allah, 'afiatkanlah pendengaranku. Ya Allah, 'afiatkanlah penglihatanku. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari siksa kubur, tidak ada Tuhan selain Engkau.)

d. Allaahumma inni a'uudzu bika minal bukhli, wa a'uudzu bika minal jubni, wa a'uudzu bika min an uradda ilaa ardzalil 'umur, wa a'uudzu bika min fitnatid dunya, wa a'uudzu bika min 'adzaa bil qabri.

(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan. Aku berlindung kepada-Mu dari seburuk-buruk usia. Aku berlindung kepada-Mu dari bencana dunia. Dan aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur.)

e. Allaahummaghfirli dzunuubii wa khathaayaayaa kullaahaa. Allaahumma 'isynii, wajburnii, wahdinii liahsanil a'maali wal akhlaaqi, innahu laa yahdi li ahsanihaa illa anta, washrif 'annii sayyi-ahaa innahu laa yashrifu sayyiahaa illa anta.

(Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahanku. Ya Allah, segarkanlah badanku, cukupilah aku, dan tuntunlah aku sebaik-baik amal dan akhlak, sesungguhnya tidak ada yang dapat menuntun kepada yang terbaik melainkan hanya Engkau, dan hindarkanlah aku dari seburuk-buruk amal, kerana sesungguhnya tidak ada yang dapat menghindarkanku dari seburuk-buruknya melainkan hanya Engkau.)

f. Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinika

(Ya Allah yang membolak-balikkan hati, mantapkanlah hatiku dalam memeluk agama-Mu.)

Doa-doa di atas boleh dibaca semuanya sesudah solat, atau dipilih di antara doa yang disukai dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Boleh juga membaca doa-doa yang lain, tentunya doa yang terbaik ialah yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. atau dari para Nabi Allah yang lain.

Bila ada keperluan dengan suatu hajat kepada Allah s.w.t. dan anda tidak mengerti doa aslinya, maka tidak ada salahnya berdoa dengan bahasa yang difahami sendiri.

Sebaiknya setiap berdoa jangan meninggalkan kesempatan buat mendoakan ibu dan bapa kita sebagai orang tua yang patut dihormati:

Rabbighfirlii wa liwaalidayyaa warhamnii warhamhumaakamaa rabbayaanii shaghiira.

(Oh Tuhan, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, kasihanilah aku dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku diwaktu kecil.)

Dianjurkan pula memintakan ampun bagi para sahabat, kaum keluarga serta kaum muslimin dan muslimat, khususnya orang-orang yang pernah berbuat baik kepada kita.

Lebih lanjut, Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan supaya kita membaca doa sesudah tahiyyat, sebelum salam, yang berbunyi:

Allaahummaghfirlii maa qaddamtu wama akhkharartu wa anta'alamu bihi minnii, antal muqaadimu wa antal muakhkhiru, laa ilaaha illaa anta.

(Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, dan apa-apa yang aku rahsiakan dan yang aku nyatakan. Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terakhir, tiada Tuhan selain Engkau.)

Dianjurkan sebagaimana diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Abdullah bin Mas'ud, supaya sesudah tahiyyat dan sebelum salam meminta kebajikan dunia dan akhirat.







Fardhu dan Sunnah Solat

Membedakan antara Perbuatan Fardhu dan Sunnah Shalat

Semua hal yang telah disebutkan senelum ini mencakup hal-hal yang fardhu (diwajibkan), sunnah (yang dianjurkan), adab dan hai-at (kesempurnaan bentuk). Orang yang ingin melintasi jalan akhirat (dengan aman dan benar) selayaknya memperhatikan itu semua.

Rukun-rukun shalat (Fardhu Solat)

1. Niat

2. Takbir

3. Berdiri

4. Membaca Al Fatihah

5. Menunduk dalam ruku', sehingga kedua telapak tangan mengentuh dua lutut.

6. Bertuma'ninah pada waktu ruku' dan sujud.Tumakninah ialah berhenti sejenak sehingga seluruh anggota tubuh menjadi tenang dan mantap sebelum melakukan gerakan berikutnya.

7. I'tidal (tegak kembali setelah ruku')

8. Sujud (dengan tuma'ninah)

9. Duduk kembali setelah sujud

10. Duduk untuk tasyahud akhir.

11. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w.

12. Salam yang pertama.

Adapun niat keluar dari solat (pada waktu telah selesai), tidaklah wajib. Demikian pula segala sesuatu, selain yang tersebut di atas, tidak wajib dikerjakan, tetapi hanya berupa sunnah serta hai-at.

Hal-hal yang Disunnahkan

Dikatakan sunnat atau sunnah, kerana ia baik untuk dikerjakan seperti teladan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. Bila hal tersebut tidak dikerjakan (ada halangan atau sengaja ditinggalkan), maka tidak akan berdosa atau membatalkan solatnya.

a. Sunnah-sunnah yang berupa perbuatan atau gerakan

1. Mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram

2. Melipat kedua belah tangan ke dada dengan meletakkan tangan kanan di atas yang kiri ketika berdiri membaca Al Fatihah.

3. Ketika bergerak untuk ruku, dan

4 Ketika berdiri kembali setelah ruku.

5. Meletakkan kedua telapak tangan pada kedua lutut ketika ruku.

6. Duduk untuk tasyahud pertama.

Adapun perincian cara membuka jari tangan dan batas mengangkatnya, semuanya itu termasuk hai-at (kesempurnaan bentu) yang bertalian dengan sunnah tersebut, yakni pada saat takbiratul ihram, ruku dan i'tidal. Demikian pula, cara duduk dalam tasyahud pertama dan terakhir (seperti telah diterangkan sebelum ini) adalah hai-at, bertalian dengan duduk dalam solat. Menundukkan kepala dan tidak mendongak ke kanan ke kiri termasuk hai-at, bertalian dengan fardhu berdiri dalam salat. Akan tetapi duduk istirahat (antara dua sujud), menurut Al Gazhali dalam buku "Rahsia-rahsia Solat" yang menjadi rujukan tulisan ini, tidak termasuk ke dalam pokok-pokok sunnah dan perbuatan-perbuatan solat. Sebab, duduk istirahat tersebut hanya merupakan semacam pelengkap dalam berpindah dari sujud ke berdiri. Kerana itu, tidak disebutkan secara khusus dalam pokok-pokok sunnah.

b. Sunnah-sunnah yang berupa bacaan dan doa

1. Membaca Doa iftitah (Yaitu do'a sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca Al Fatihah).

2. Membaca Ta'awwudz (a'uudu billaahi minasy syaithaanir rajiim, sebelum membaca Al Fatihah).

3.Mengucapkan amiin selesai membaca Al Fatihah.

4. Membaca surah-surah atau ayat-ayat dari Al Quran sesudah Al Fatihah. Selain itu, mengeraskan bacaan Al Fatihah dan ayat-ayat atau surah-surah pada rakaat pertama dan kedua pada shalat Maghrib, Isya, Subuh dan Solat Jum'at (termasuk sunat muakkad) juga merupakan sunnah.

5. Mengucapkan takbir-takbir perpindahan (dari satu rukun shalat ke rukun shalat lainnya). Yaitu "Allahu Akbar" ketika akan berpindah gerakan atau sikap dalam shalat, kecuali ketika bangun dari ruku,.

6. Membaca tasbih dalam ruku' dan sujud, serta doa i'tidal dari ruku dan sujud.

7. Membaca tasyahud pertama.

8. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w. pada tasyahud pertama.

9. Membaca doa setelah tasyahud akhir

10. Membaca salawat Ibrahimiyah pada tahiyyat akhir. Yaitu

11. Salam yang kedua.

Sujud Sahwi

Semua yang tersebut di atas, kendati dihimpun ke dalam istilah "sunnah", namun, masing-masing memiliki tingkatan yang berbeza, mengingat empat diantaranya, bila tidak dikerjakan kerana lupa, boleh diganti dengan sujud sahwi. Sujud sahwi artinya sujud kerana terlupa mengerjakan sesuatu yang sunnah atau hal yang salah lainnya tanpa sengaja. Umpamanya lupa mengerjakan tahiyyat awal, lupa membaca ayat atau surat pada rakaat pertama atau kedua, lupa tentang bilangan solat dan sebagainya. Menurut Al Gazhali, empat hal yang dapat digantikan dengan melakukan sujud sahwi tersebut yaitu satu di antaranya termasuk perbuatan dan tiga lainnya termasuk bacaan.

Yang termasuk perbuatan ialah duduk (setelah dua kali sujud pada rakaat kedua solat Zhuhur, Asar, Maghrib dan Isya') untuk membaca tasyahud. Duduk seperti ini berpengaruh pada susunan bentuk solat bagi siapa yang menyaksikannya. Sebab, dengan itu, dapat diketahui apakah solat tersebut ruba'iyyah (terdiri atas empat rakaat) atau bukan. Tidak seperti sunnah mengangkat tangan ketika takbir, misalnya, sebab hal itu tidak mempengaruhi susunan bentuk solat. Itu pula sebabnya, sunnah ini (yakni duduk untuk tasyahud pertama) disebut ba'dh (kata tunggal dari ab'adh) yang bererti bagian. Apabila seseorang tidak mengerjakan ab'adh, dianjurkan dengan sangat agar ia menggantinya dengan sujud sahwi.

Adapun bacaan-bacaan sunnah dalam solat, semuanya tidak digantikan dengan sujud sahwi, kecuali tiga (yaitu yang termasuk ab'adh):

1. Qunut

2. Bacaan tasyahud pertama

3. Salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w. pada tasyahud pertama.

Tidak termasuk di dalamnya takbir-takbir perpindahan (dari satu ruku ke ruku lainnya), bacaan-bacaan dalam ruku, sujud dan i'tidal dari kedua-duanya. Hal ini disebabkan ruku dan sujud adalah gerakan yang memiliki bentuk khas, berbeda dengan gerakan-gerakan biasa. Dengan mengerjakannya, dapat diperoleh makna ibadah, walaupun tanpa membaca zikir apa pun dan tanpa takbir-takbir perpindahan. Tanpa zikir-zikir itu pun, bentuk ibadah shalat - dengan melakukan gerakan ruku' dan sujud - tetap tidak akan batal atau hilang. Lain halnya dengan duduk untuk bertasyahud pertama. Ia tadinya merupakan gerakan biasa (yakni, yang juga dilakukan di luar solat). Tetapi, kini, sengaja diperpanjang untuk diisi dengan bacaan tasyahud. Maka, meninggalkannya akan menimbulkan perubahan cukup besar dalam susunan bentuk solat.

Sebaliknya, meninggalkan bacaan doa istiftah, atau pun surah, tidak menimbulkan perubahan, mengingat bahawa rukun berdiri dalam solat telah cukup diisi dengan bacaan Al Fatihah, sehingga dapat dibezakan dengan berdiri secara biasa. Dengan alasan itu pula, bacaan doa setelah tasyahud terakhir tidak digantikan dengan sujud sahwi.

Bacaan qunut pun, pada dasarnya, tidak layak digantikan dengan sujud sahwi, namun, disyariatkannya perpanjangan ruku i'tidal, pada solat Subuh, adalah semata-mata untuk diisi dengan bacaan do'a qunut itu. Maka, sama halnya seperti rukun duduk untuk tasyahud pertama. Ia adalah perpanjangan dari duduk istirahat, guna diisi dengan bacaan tasyahud.

Cara melakukan Sujud Sahwi

Sujud sahwi dilakukan pada penghujung rakaat yang terakhir, yaitu sesudah tahiyyat dan sebelum salam. Bersujud sambil mengucapkan "Allaahu Akbar" dan dalam sujud membaca:

Subhaanalladzi laa yanaamu walaa yansaa (3x)

"Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa"

Bila yang terlupakan itu salah satu rukun soalat, yang tidak bisa dibetulkan seketika, maka solatnya tidak sah, dan solatnya harus diulang kembali. Tetapi bila yang terlupakan itu rakaat, misalnya solat Isya yang mestinya 4 rakaat , hanya 3 rakaat, maka sesudah memberi salam, tanpa diselingi dengan atau perbuatan lain, segeralah ia berdiri dan tambahlah rakaat yang tertinggal itu. Rakaat tersebut tetap diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, kemudian anda lengkapi dengan sujud sahwi.

Bila di dalam solat timbul keraguan tentang jumlah rakaat maka ambillah jumlah rakaat yang sedikit lalu yakinlah dengan itu (Misalnya bila kita lupa apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka ambilah keputusan bahawa itu rakaat yang ketiga. Lalu lanjutkan solat dan tambahkan yang kurang).

Terlupa Mengerjakan Solat

Bila seseorang terlupa mengerjakan solat, baik kerana tertidur atau kerana lain hal, maka hendaklah ia segera mengerjakannya seketika tersedar. Misalnya, kerana ketiduran, sehingga waktu solat subuh sudah habis. Maka ketika ia terbangun, segeralah berwudhu dan tunaikanlah solat subuhnya. Solat tersebut bukan qadha (membayar hutang), tetapi solat dengan sesungguhnya. Allah s.w.t. akan memaafkan kerana ia terlupa. Begitu pula bila peristiwa serupa lainnya terjadi secara tidak sengaja.

Sujud Tilawah

Sujud Tilawah dapat dilakukan apabila seseorang membaca ayat Al Qur'an dan tiba pada tempat-tempat yang dianjurkan bersujud, baik dalam solat atau diluar solat. Dalam sujud dianjurkan membaca:

Sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wasyaqqa sam'ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi.

"Aku bersujud kepada Allah yang menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya".

Bila sujud tilawah dilakukan di luar solat, pembaca ayat yang ditentukan melakukan sujud Tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa baginya.

Bila dalam solat berjamaah dan Imam bersujud Tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukan sebagai anggota solat berjamaah.







TAYAMUM



Menggunakan tanah yang bersih dan berdebu. Jika kita sakit dan dinasihatkan oleh Doktor kita tidak boleh terkena air atau kita berada di suatu tempat yang tiada air. Maka kita bolehlah bertayamum untuk menggantikan wuduk.



Fardu Tayamum

• 1. NIAT, Membaca niat sebelum bertayamum, tekan kedua tapak tangan di atas tanah yang bersih dan berdebu. "Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah" ertinya "Sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang ".

• 2. MUKA, Menyapu muka dengan tanah yang bersih dan berdebu dengan sekali tepukan.

• 3. TANGAN, Menyapu tangan kanan hingga sampai ke siku dengan tanah yang bersih dan berdebu dari tepukan yang kedua kalinya, kemudian tangan kiri.

• 4. TERTIB, bermakna mengikut urutan atau turutan (dahulukan niat, muka kemudian tangan).





"Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah" ertinya

"Sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang ".



SAPUKAN KE MUKA SAPUKAN TANGAN





Syarat-syarat Tayamum

• 1. Sesudah masuk waktu sembahyang (sebelum masuk waktu tidak boleh bertayamum).

• 2. Sesudah berusaha atau berikhtiar mencari air tetapi tidak berjumpa atau air yang hendak digunakan terlalu sedikit ataupun cuma untuk minuman sahaja.

• 3. Sebelum melakukan tayamum hendaklah terlebih dahulu menghilangkan najis jika ada.



Sunat-sunat tayamum

• 1. Menghadap ke arah Kiblat.

• 2. Membaca "Bismillah hirrahman nirrahim".

• 3. Menipiskan debu di tangan.



Perkara yang membatalkan tayamum

• 1. Segala apa perbuatan atau perlakuan yang membatalkan wuduk maka akan batal juga tayamum.

• 2. Terdapat air setelah hendak melakukan sembahyang.



WUDUK



Wuduk @ Uduk (Mengambil air sembahyang)

Untuk menunaikan sembahyang, diwajibkan kita berwuduk (mengambil air sembahyang atau mengangkat hadas kecil) terlebih dahulu.



Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: "Sembahyang salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwuduk".



Jika kita tidak berwuduk adalah haram hukumnya, begitu juga jika kita ingin melakukan:-

• 1. Sembahyang-sembahyang sunat.

• 2. Thawaf di Baitullah.

• 3. Menyembahyangkan mayat.

• 4. Sujud tilawah atau sujud syukur.

• 5. Memegang (menyentuh/membawa) Al-Quran, tetapi dibolehkan, diharuskan menyentuh/membawa/memegang jika kandungan isi Al-Quran itu lebih banyak tafsiran dari isi ayat Al-Quran.



Syarat-syarat Wuduk

Syarat sah Wuduk itu ada enam:-

• 1. Orang Islam (orang bukan Islam tidak wajib berwuduk)

• 2. Mumayiz, iaitu telah dapat membezakan yang baik dengan yang buruk sesuatu pekerjaan, yakni yang telah berusia 9 tahun.

• 3. Air mutlak (air yang suci lagi menyucikan).

• 4. Bersih dari Haidh, Nifas dan Junub atau dalam Hadas Besar.

• 5. Jangan ada pada anggota kita sesuatu benda yang dengannya, sebabnya tidak sampai air ke kulit/rambut/kuku seperti cat, lilin, getah, tatoo di kulit, pewarna rambut, pewarna kuku, gincu bibir, eyeshadow dsb.

• 6. Mengetahui dan dapat membezakan mana yang fardhu dan sunat.



Rukun-rukun Wuduk

Rukun wuduk itu ada enam perkara:-





BERSIHKAN KEDUA-DUA BELAH BERKUMUR & BERSIHKAN HIDUNG



1. NIAT, iaitu diniatkan di dalam hati untuk mengerjakan wuduk, bacalah diwaktu mula hendak membasuh muka:-



"Nawaitu rafa'al hadathil asghari Lillahi Ta'ala" ertinya "Sahaja Aku mengangkat hadath kecil kerana Allah Ta'ala" atau "Nawaitu Udu'a Lillahi Ta'ala" bermaksud "Sahaja aku mengangkat wuduk fardu kerana Allah Ta'ala". Sebelum berniat berkumur dan bersihkanlah hidung tangan dan kaki serta mulakanlah dengan membaca "Bismillah hirrahman nirrahim" dan niat.



NIAT & BASUH SELURUH MUKA DARI TELINGA KIRI-KANAN



2. MEMBASUH MUKA, mengalikan air serta meratakannya keseluruh muka yang dibasuh itu, dari dahi sampai ke dagu (jika ada janggut hendaklah diratakan seluruhnya) dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri - 3 Kali.



HUJUNG JARI HINGGA SIKU MULAKAN TANGAN KANAN/KIRI



3. MEMBASUH KEDUA TANGAN HINGGA DUA SIKU, dimulai dari siku hingga sampai kedua hujung jari. Mulakan dari tangan kanan dahulu diikuti tangan kiri, lakukan sebanyak - 3 Kali.



MENYAPU AIR KE KEPALA MENCUCI KEDUA TELINGA



4. MENYAPU AIR KE KEPALA, merata menyapu kepala dengan air sekurang-kurangnya tiga helai rambut dan yang lebih baik ialah menyapu seluruh kepala. - 3 Kali.



MEMBASUH KEDUA BELAH KAKI MULAKAN KAKI KANAN/KIRI



5. MEMBASUH KEDUA KAKI, mengalir dan ratakan air kepada dua kaki serta celah-celah jari kaki tumit hingga bukulali atau matakaki, mulakan sebelah kanan dahulu. - 3 Kali.



6. TERTIB, mengikut urutan atau turutan yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan.



Selesai mangangkat Wuduk hendaklah membaca Doa Selepas Wuduk





Sunat-sunat Wuduk

Perkara-perkara yang disunatkan ketika berwuduk:-

• 1. Menghadap ke arah Kiblat.

• 2. Menbaca "Auuzubillah himinasyaitonirrajim" dan "Bismillah hirrahman nirrahim".

• 3. Membasuh kedua telapak tangan hingga kepergelangan tangan sebelum berwuduk.

• 4. Berkumur atau bersugi.

• 5. Memasukkan sedikit air ke dalam hidung untuk membersihkannya dan mengeluarkannya kembali.

• 6. Menyapu air ke kepala.

• 7. Memusing-musingkan cincin jika ada di jari.

• 8. Menjelai-jelai janggut atau misai dengan air sehingga rata.

• 9. Menjelai jari-jari tangan dan kaki.

• 10. Mendahulukan basuhan anggota kanan daripada yang kiri.

• 11. Mengulang 3 Kali setiap basuhan.

• 12. Jangan meminta bantuan orang lain seperti tolong menuangkan air sewaktu berwuduk.

• 13. Jangan mengelap atau mengeringkan anggota wuduk dengan kain atau sebagainya.

• 14. Elakkan percikkan air jangan sampai jatuh semula ke bekas atau ketimba.

• 15. Berjimat ketika menggunakan air.

• 16. Jangan berkata-kata atau bersembang ketika mengerjakan wuduk.

• 17. Membaca Doa Selepas Wuduksetelah selesai berwuduk.



Perkara yang membatalkan wuduk.

Enam perkara membatalkan wuduk:-

• 1. Keluar sesuatu dari salah satu dua jalan (kubul atau dubur) seperti kencing, najis, angin, mazi, nanah, darah atau mani dan sebagainya.

• 2. Tidur yang tidak tetap, kecuali terlena sebentar ketika sedang duduk.

• 3. Hilang akal disebabkan mabuk, pengsan, gila, sawan, pitam dan sebagainya.

• 4. Menyentuh kemaluan manusia atau dubur dengan telapak tangan atau perut jari kecil atau besar hidup ataupun mati.

• 5. Bersentuh kulit antara lelaki dengan perempuan dengan tidak berlapik kecuali muhrimnya (keluarga yang tidak boleh dikahwini antara keduanya seperti Ayah, Ibu, anak, nenek, cucu, saudara sesusu, mertua, menantu dan lain-lainnya).

• 6. Murtad.



Perkara yang sunat untuk berwuduk.

• 1. Sehabis keluar darah dari hidung.

• 2. Sesudah mengantuk.

• 3. Hendak berjalan jauh.

• 4. Sehabis ketawa berbahak-bahak.

• 5. Ragu-ragu dalam berwuduk.

• 6. Sehabis berkelahi, mengumpat, memaki, mencaci,mengadu domba, marah atau mengeluarkan kata-kata kotor.

• 7. Kerana hendak tidur siang ataupun malam.

• 8. Kerana hendak membaca ayat-ayat Al-Quran, Hadith atau Zikrullah.

• 9. Kerana hendak Iktikaf di dalam masjid.

• 10. Hendak bertabligh, pidato atau mengajarkan ilmu agama.

• 11. Ziarah ke kubur.

• 12. Memegang atau memikul mayat.

• 13. Jika dalam keadaan marah.









Gabung hari ini untuk mendapatkan situs Multiply Anda













Tinggalkan membaca doa ketika berbuka puasa dgn lafazh "Allahumma laka sumtu, wa bika amantu...dst". Krn lafazh tsb adlh DHA'IF. Ganti dgn lafazh yg SHAHIH: "Dzahabazh zhama'u wabtallatil 'uruq watsabatal ajru insya Allah" (Shahih Sunan Abi Dawud no.2066) taken from stat negara tauhid. Ikhwah Fillah, Ana belum pernah membacanya sebelum ini. Ada yang tahu mengenainya? Bisakah memberi tambahan keterangan? Ini ana mendapat dari PM-an seseorang di YM.



















NIAT SEMBAHYANG ASAR







Usalli fardhal asri arba'a raka'atin (*) adaan lillahi ta'ala

Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu asar empat rakaat (*) tunai kerana Allah Ta'ala.

* tambahkan makmuman (mengikut imam), jika sembahyang berjemaah.



NIAT SEMBAHYANG ZOHOR







Usalli fardhaz zuhri arba'a raka'atin (*) adaan lillahi ta'ala

Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu zohor empat rakaat (*) tunai kerana Allah Ta'ala.

* tambahkan makmuman (mengikut imam), jika sembahyang berjemaah.





NIAT SEMBAHYANG SUBUH





Usalli fardhaz subhi raka'ataini (*) adaan lillahi ta'ala

Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu subuh dua rakaat (*) tunai kerana Allah Ta'ala.

* tambahkan makmuman (mengikut imam), jika sembahyang berjemaah.



KEMBALI



NIAT SEMBAHYANG MAGHRIB





Usalli fardhal maghribi salasa raka'atin (*) adaan lillahi ta'ala

Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu maghrib tiga rakaat (*) tunai kerana Allah Ta'ala.

* tambahkan makmuman (mengikut imam), jika sembahyang berjemaah.



KEMBALI



NIAT SEMBAHYANG ISYAK







Usalli fardhal 'isya'i arba'a raka'atin (*) adaan lillahi ta'ala

Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu 'isyak empat rakaat (*) tunai kerana Allah Ta'ala.

* tambahkan makmuman (mengikut imam), jika sembahyang berjemaah.



KEMBALI



NIAT SEMBAHYANG JUMAAT







Usalli fardhaz Juma'ati raka'ataini adaan makmuman lillahi ta'ala



Ertinya:

Sahaja aku sembahyang fardhu Jumaat dua rakaat mengikut imam tunai kerana Allah Ta'ala.





KEMBALI













PANDUAN LENGKAP SEMBAHYANG



Berwudhu

Berwudhu

• Yang praktis dan mencukupi

• Yang sebaik-baiknya

• Hikmah-hikmahnya

Cara atau jalan untuk membina mental dan rohani sungguh banyak sekali. Jalan yang pasti ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengekalkannya yang disebut sebagai ibadah. Salah satu mata rantai ibadah itu adalah Wudhu'.

Kegunaan Air Wudhu

• Untuk segala macam solat hukumnya wajib.

• Untuk Thawaf di Ka'bah, thawaf apa saja, hukumnya wajib.

• Sewaktu hendak membaca Al-Qur'an hukumnya sunnat

• Sewaktu hendak tidur atau lain-lain perbuatan yang baik, hukumnya sunnat

Alat Yang Dipakai

Alat yang dipakai ialah air. Meskipun demikian, air yang digunakan untuk berwudhu' adalah air yang suci lagi menyucikan (pengertiannya?), iaitu: Air hujan, Air Sumur, Air Sungai, Air Laut, Air dari mata Air, Air Telaga, Air Danau, Air Ais, Air Ledeng.

Cara-caranya

Berniat dalam hati bahawa berwudhu' untuk..., lalu:

• Membasuh muka dengan air (cukup sekali asalkan merata ke seluruh muka)

• Basuhlan tangan hingga sampai dengan kedua siku (cukup sekali asal merata).

• Sapulah sebahagian kepala, cukup sekali saja

• Basuhlan kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (cukup sekali asal merata).

Bila dikerjakan seperti di atas, maka wudhu' sudah sah.

Berwudhu' yang lebih sempurna

Bila ingin berwudhu' lebih sempurna, yakni sempurna lahiriah dan sempurna pula dalam ganjaran, maka kerjakanlah tabahan-tambahannya dengan cara sebagai berikut:

1. Mulailah dengan mengucapkan Bismillaahir rahmaanir rahiim...

2. Menghadaplah kearah kiblat

3. Usahakanlah berwudhu' dengan tidak meminta bantuan orang lain, seperti menimba, dan sebagainya.

4. Basuhlah jari-jari tangan dengan menyelat-nyelatinya. Dan bagi jari yang bercincin, jam atau perhiasan yang dipakai di jari-jari lainnya, bukalah perhiasan tersebut agar air dapat merata membasahi seluruh jari-jari.

5. Berkumur-kumur.

6. Masukkanlah air ke dalam hidung, lalu keluarkanlah kembali (istinsyaq).

7. Gosoklah gigi untuk menghilangkan sisa makanan dan bau mulut yang kurang sedap.

8. Mulailah dengan anggota wudhu'yang sebelah kanan.

9. Ulangilah masing-masing sampai tiga kali (3X).

10. Ratakanlah air hingga membasahi seluruh anggota wudhu'

11. Ketika menyapu kepala, ratakan seluruhnya (letakkan ibu jari samping kiri dan kanan kepala, lalu putarlah telapak tangan dari depan ke belakang, kemudian kembali ke depan (cukup sekali).

12. Basuhlah telinga dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ibu jari dibelakang telinga.

13. Bila selesai berwudhu', hadapkan muka ke arah kiblat dan berdoalah dengan membaca:

Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.

Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah , masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku masuk ke dalam golongan orang-orang yang suci.

14. Lakukanlah solat sunnat wudhu' dua raka'at.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu'

1. Keluar sesuatu dari "dua pintu" belakang seperti buang angin (kentut), buang air besar atau kecil, haid atau nifas, dan sebaganya.

2. Hilang akal (kerana sakit, mabuk, gila dan sebagainya) .

3. Bersetubuh.



Tayammum

"Manakala seorang muslim atau mukmin itu berwudhu, lalu ia membasuh mukanya, maka keluarlah dari mukanya itu semua dosa yang dilihat oleh matanya bersama air atau bersama titisan yang terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah (terusir) semua dosa yang tersentuh oleh kedua tangannya bersama air atau bersama-sama dengan titisan terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua kakinya, maka sirnalah semua dosa yang pernah dijalani oleh kakinya bersama air atau bersama titisan air yang terakhir, sehingga keluar (selesailah) dalam keadaan bersih dari dosa-dosa." (Hr Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Air Wudhu

Wudhu merupakan salah satu ibadah yang khas yang dapat dipakai untuk solat, thawaf, hendak tidur, jalan keluar rumah, serta memelihara jiwa dan raga dari berbagai cacat.

Wudhu dengan air bersih dan murni bererti meniti kosmetik tradisional dan anti biotik alamiah, kerana itu, Islam tidak membenarkan berwudhu dengan air musta'mal (air bekas dipakai), air buah-buahan, akar-akaran atau air yang sudah berubah sifat-sifatnya (warna, rasa dan baunya). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahawa wudhu ialah membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga dua siku, menyapu kepala, dan membasuh kaki hingga dua mata kaki yang diawali dengan niat dalam hati.

Almarhum Buya Hamka, melalui bukunya "Lembaga Hidup" menulis tentang wudhu sbb:

"Lima kali sekurang-kurangnya sehari semalam disuruh berwudhu dan solat. Dan meskipun wudhu belum lepas, sunnat pula memperbaharuinya. Oleh ahli tasawuf diterangkan pula hikmah wudhu itu. Mencuci muka, ertinya mencuci mata, hidung, mulut dan lidah, kalau-kalau tadinya berbuat dosa ketika melihat, berkata dan makan. Mencuci tangan dengan air, dalam hati dirasa seakan-akan membasuh tangan yang terlanjur berbuat salah. Membasuh kaki, dan lain-lain demikian pula. Mereka perbuat hikmat-hikmat itu, meskipun di dalam hadis dan dalil tidak bertemu, adalah supaya manusia jangan membersihkan lahirnya saja, padahal bathinnya masih tetap kotor. Hatinya masih khizit, loba, tamak, rakus, sehingga wudhunya lima kali sehari itu tidak berbekas diterima Allah, dan sembahyangnya tidak menjauhkan dari pada fahsya (keji) dan mungkar (dibenci)".

Penulis "Lembaga Hidup" sengaja merangkaikan keutamaan wudhu dengan masalah kesehatan badan dan kebersihannya, lalu dihubungkan dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w Tulisnya:

"Bukan kita hidup mencari puji, bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala hal. Meskipun itu tidak kita cari, kalau kita menjaga kebersihan, kita akan dihormati orang juga". Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w: "Perbaguslah pakaianmu, perbaiki tunggangan (kenderaan) mu, sehingga kamu laksana sebutir tahi lalat di tengah-tengah pipi, di dalam pergaulan dengan orang banyak".

Allah s.w.t. menurunkan wahyu, memberi hidayah penuntun rohani dan jasmani agar keduanya tetap berfungsi dan terpelihara.

Rasulullah s.a.w bersabda:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah pergi ke kuburan, lalu memberi salam : "Assalamu'alaikum Dara Qaumin (perkampungan orang mukmin) dan Insya Allah kami akan menyusul kemudian, saya ingin benar melihat-lihat saudaraku." Berkata sahabat: "Bukankah kami ini adalah saudaramu ya Rasulullah? "Ya, kamu adalah sahabatku, dan saudara-saudaraku yang belum datang kini." Sahabat kembali bertanya: "Bagaimanakah engkau dapat mengenal mereka yang belum datang kini dari ummatmu ya Rasulullah?" Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bagaimana pendapatmu jika seorang mempunyai kuda belang putih muka dan kakinya, ditengah-tengah kuda yang semuanya hitam, tidakkah mudah mengenal kudanya?" Para sahabat menjawab : "Benar Ya Rasulullah." "Maka itu ummatku nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya sebagai bekas wudhu, dan saya akan membimbing mereka itu ke Haudh (Telaga Syafa'at)"

Cahaya, Kebersihan dan Kehidupan

Dalam air wudhu yang sakral terdapat cahaya, kebersihan dan kehidupan. Air bekas (mus'tamal) atau tersadur najis, akan menjadi sumber penyakit, buruk bagi fisik, kimia, maupun biologis. Islam pun melarang berwudhu dengan air yang demikian. Air sebagai keperluan vital kehidupan. Al-Qur'an memberi penjelasan bahawa kehidupan dimulai dari air, seperti disebutkan dalam firmannya:

"Dan kami telah menciptakan segala sesuatu yang hidup itu dari air, apakah mereka belum mau juga beriman?" (Al-Anbiya:30).

Hal-hal Yang Tidak Membatalkan Wudhu

Banyak sekali perbuatan yang dikira orang membatalkan wudhu, padahal tidak. Misalnya, seorang pekerja yang berpalitan dengan oli dan minyak, mengira air wudhunya sudah rosak dan wudhunya batal, padahal tidak; sementara yang dianggap remeh ternyata justru membatalkan wudhunya. Beberapa hal yang tidak membatalkan wudhu antara lain:

1. Bersentuhan antara pria dan wanita, sudah dewasa, tanpa lapis, selama tidak mengandung niat yang nafsu dan tak senonoh. Dalam suatu hadis disebutkan:

"Aisyah r.a. berkata: Suatu malam aku kehilangan Rasulullah s.a.w. dari tempat tidurku, maka terabalah oleh telapak tanganku pada kedua telapak kakinya yang keduanya dalam keadaan berdiri; dan Rasulullah s.a.w. sedang sujud sambil membaca: Allaahumma innii a'udzu biridhaaka, min sakhatika, wa a'uudzu bimu' aafaatika min uquubatika, wa a'uudzu bika minka laa uhshiitsanaa'an 'alaika anta kamaa atsnayta 'alaa nafsika." (HR Muslim dan At Turmuzy).

Yang erti doanya: "Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu, berlindung dibawah naunganMu; ringkasnya aku berlindung kepadaMu daripadaMu. Tiada terhitung puja-pujiku untukMu. Engkau sebagaimana pujianMu atas diriMu sendiri."

"Aku tidur dihadapan Rasulullah s.a.w., sedang kakiku berada di arah kiblat. Maka apabila Ia sujud, dirabanya aku dan dipegangnya kakiku". Sementara dalam lafazh yang lain disebutkan :"Maka jika ia akan sujud, kakiku, dirabanya". (HR Bukhary dan Muslim, sumber Aisyah)

2. Keluar darah dari tempat yang lazim, seperti luka, bukan dari qubul atau dubur.

3. Kerana muntah

4. Kerana makan minum. Seperti disebutkan dalam hadits nabi:

"Manimunah r.a. berkata: "Rasulullah s.a.w. telah makan di rumahnya dengan panggangan kambing, kemudian Rasulullah s.a.w. langsung solat tanpa memperbaharui wudhu." (HR Bukhary dan Muslim).

5. Terkena segala jenis najis atau kotoran lainnya. Najis tidak menghilangkan wudhu', hanya dia cukup dibersihkan saja.

6. Tersentuh kemaluan tanpa maksud yang lain. Seperti disebutkan dalam hadis:

"Bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang orang yang menyentuh kemaluannya, apakah ia wajib berwudhu? Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak, dia adalah sebagian dari tubuhmu sendiri". (HR Lima Ahli Hadits)

Perosak Tayammum

Tayammum merupakan pengganti wudhu atau mandi. Kerana itu, ia boleh rosak atau batal apabila :

1. Langsung melihat air dan dapat menggunakannya (khusus bagi mereka yang bertayammum kerana tidak ada air).

2. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu'.

Hal-hal lain yang perlu diketahui ialah:

1. Satu kali tayammum dapat digunakan untuk beberapa solat atau thawaf, baik yang wajib maupun yang sunat.

2. Apabila mendapatkan air, padahal solat sudah dikerjakan dengan tayammum, maka solatnya tidak perlu diulangi lagi.

Tatacara Shalat

Solat Wajib dan Praktiknya

• Syarat-syarat Sah Solat

• Praktik Solat

o Berdiri Tegak Lurus

o Takbiratul Ihram

o Do'a Iftitah

o Ta'awwudz

o Al Fatihah

o Ruku

o I'tidal

o Sujud Pertama

o Duduk di Antara dua sujud

o Sujud Kedua

o Berdiri Pada Rakaat Kedua

o Ruku di Rakaat Kedua

o Bangun dari Ruku

o Sujud Petama pada rakaat kedua

o Duduk diantara dua sujud di rakaat kedua

o Sujud Kedua pada rakaat kedua

o Duduk tahiyyat

o Memberi Salam



Syarat-syarat Sah Solat

Apabila kita sudah mempunyai air wudhu bererti kita sudah siap untuk mengerjakan solat. Kita boleh solat dimana saja asalkan di tempat suci. Suci disini maksudnya adalah tidak bernajis. Boleh menggunakan alas seperti sajadah atau apa saja yang bersih, sekalipun tidak memakai alas sama sekali, seperti di atas bumi. Meskipun demikian, yang penting dipersiapkan sebagai persyaratan shalat ialah:

1. Menutup aurat bagi lelaki iaitu antara pusat dengan lutut. Aurat wanita, seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan. Menutup aurat boleh dengan apa saja asal suci, tidak tembus pandang seperti plastik bening atau benda semacam lainnya.

2. Menghadap ke arah kiblat, yaitu Ka'bah di Makkah. Bila tidak memungkinkan, misalnya di atas kereta api, kapalterbang atau tak diketahui sama sekali, maka hadapkanlah wajah kita ke mana saja yang kita merasa condong bahawa itu adalah kiblat.

3. Harus mengetahui dengan yakin sudah berada dalam waktu solat yang hendak dikerjakan.

4. Yakin bahawa badan, pakaian, dan tempat solat suci dari najis.

5. Suci dari hadas besar dan hadas kecil.

________________________________________

Praktik Solat

Sesudah mempunyai air wudhu' dan siap untuk solat, maka kita segera dapat memulainya dengan urutan sebagai berikut.

Berdiri Tegak Lurus

Berdiri tegak lurus dengan menghadap ke arah kiblat, disertai dengan niat: "Aku solat...(zuhur, misalnya), wajib kerana Allah". "Usalli fardhu...(Zhuhrii), lillahii ta'ala"

________________________________________

Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sampai menyentuh telinga diiringi dengan membaca:

Allahhu Akbar (Allah Maha Besar) (1x)

Ucapan "Allahhu Akbar" disebut Takbiratul Ihram (hukumnya wajib) kemudian pada saat peralihan gerak atau sikap, sangat dianjurkan mengucapkan takbir "Allahhu Akbar". Yang perlu diperhatikan, apabila takbir dilakukan dalam keadaan berdiri, maka sebaiknya pengucapan takbir ini disertai dengan mengangkat kedua tangan seperti pada sikap takbiratul ihram. Dan apabila perpindahan gerak atau sikap terjadi dalam keadaan duduk, maka ucapan takbir tidak perlu disertai dengan mengangkat kedua tangan. Semua ucapan takbir dalam shalat hukumnya sunnat, kecuali takbir yang pertama yaitu takbiratul ihram.

________________________________________

Doa Iftitah

Selesai membaca takbiratul ihram, tangan langsung disedekapkan ke dada. Yang kanan menghimpit tangan kiri, pergelangan sejajar dengan pergelangan. Kemudian membaca doa iftitah (doa permulaan dan atau doa pembuka) yaitu:

Innii wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wamaa ana minal musyrikiin. Inna salaati wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi rabbil 'aalamiin. Laa syariikalahu wa bizdaalika umirtu wa ana minal muslimin.

Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi, dengan keadaan suci lagi berserah diri; dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya semata-mata bagi Allah, Tuhan Semesta alam. Tidak ada sekutu baginya, demikian akau diperintahkan, dan aku adalah termasuk kedalam golongan orang-orang yang berserah diri.

Membaca do'a iftitah hukumnya sunnat. (Selain doa tersebut di atas, masih ada doa'a-do'a iftitah yang lain yang biasa juga dibaca oleh Rasulullah s.a.w.).

________________________________________

Ta'awwudz

Selesai membaca do'a iftitah, lalu membaca "ta'awwudz". Bacaan t'awwudz hukumnya sunnat. Lafazhnya yaitu:

A'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim

Aku berlinding kepada Allah dari kejahatan setan yang terkutuk.

________________________________________

Al Fatihah

Seudah ta'awwudz, lalu membaca surah Al Fatihah. membaca surah Al Fatihah pada setiap rakaat solat (wajib/sunnah) hukumnya wajib.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi rabbil'aalamin Arahmaanirrahiim Maaliki yawmiddiin Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin Ihdinash shiraathal mustaqiim Shirathal ladziina an'amta alaihim gahiril maghdhuubi'alaihin waladh dhaalliin Aaamiin



Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah yang memelihara sekalian Alam Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Yang merajai hari pembalasan Hanya kepada-Mu kami meyembah dan hanya kepada-Mu saja kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan mereka yang Engkau beri ni'mat, bukan jalan mereka yang engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Kabulkanlah permohonan kami,ya Allah!

Sesudah membaca Al Fatihah pada rakaat pertama dan kedua pada solat wajib, kita disunnatkan membaca surah-surah atau ayat yang lain. Pada rakaat selanjutnya yaitu ketiga dan/atau keempat, kita hanya diwajibkan membaca Al Fatihah saja, sedangkan pembacaan surah atau ayat lainnya tidak diwajibkan. Surah-surah atau ayat-ayat Al Quran yang diinginkan dapat saja kita pilih diantara sekian banyak surah dari Al Quran. Sebaiknya usahakanlah tetap membaca surah atau beberapa ayat Al Quran sesudah al Fatihah pada rakaat pertama dan kedua (pada solat wajib) misalnya:

Wal ashri innal insaana lafii khusrin illaladziina 'aamanu wa'amilus shaalihaati watawaashaw bil haqqi watawaashaw bis shabri (QS)

"Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh serta mereka yang berwasiat pada jalan kebenaran dan mereka yang berwasiat pada ketabahan."

________________________________________

Ruku

Di dalam ruku membaca :

1. Subhaana rabbiyal azhim (3x) ("Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung")

atau

2. Subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika allaahummaghfirlii ("Maha suci Engkau ya Allah, ya Tuhan Kami, dengan memuji Engkau ya Allah, ampunilah aku")

*Boleh dipilih salah satu di antara kedua do'a tersebut.

________________________________________

I'tidal

I'tidal atau bangun dari ruku seraya mengangkat kedua tangan membaca:

Sami'allaahu liman hamidah. Rabaanaa walakal hamdu. (Maha mendengar Allah akan pujian orang yang memuji-Nya. Ya Tuhan kami, untuk-Mu lah segala puji.")

Bagi orang yang telah lancar bacaannya, maka pujian bangun dari ruku dapat diperpanjang dengan:

"Mil-ussamaawaati wa mil ul ardhi wa mil-umaa syi'ta min sya-in ba'du" (Untuk-Mu lah segala puji sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki.)

________________________________________

Sujud Pertama

Bacaan dalam sujud:

Subhaana rabbiyal a'la (3x) (Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi_

Atau boleh juga membaca pujian seperti pujian No. 2 dalam ruku yaitu:

Subhaanakallaahumma rabbanaa wa bihamdika Allaahummaghfirlii (Mahasuci Engkau ya Allah, ya Tuhan kami, dengan memuji Engkau ya Allah, ampunilah aku)

________________________________________

Duduk Diantara Dua Sujud

Ketika duduk diantara dua sujud membaca:

Allaahummaghfirlii, warhamnii, wajburnii, wahdinii, warzuqnii (Ya Allah, ampunilah hamba, kasihanilah hamba, cukupilah hamba, tunjukilah hamba, dan berilah hamba rizki.)

Atau boleh juga membaca:

Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, warzuqnii, wahdinii, wa'afinii, wa'fu'annii. (Wahai Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupilah aku, angkatlah derajatku, ber rizqilah aku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku, dan maafkanlah segala kesalahanku.)

[ kembali ke atas ]

________________________________________

Sujud Kedua

Bacaan dalam sujud kedua, sama dengan bacaan dalam sujud pertama yaitu:

Subhaana rabbiyal a'la (3x)(Mahasuci Tuhanku yang Maha Tinggi)

Bacaan-bacaan dalam ruku, i'tidal, sujud, dan ketika duduk diantara dua sujud dalam solat, semuanya sunat (tidak wajib) yang amat dianjurkan.

________________________________________

Berdiri Pada Rakaat Kedua

Sikap berdiri pada rakaat kedua sama dengan sikap berdiri pada rakaat pertama, yaitu dengan bersedekap tangan ke dada, yang kanan di atas yang kiri.

Mulai dengan membaca ta'awwudz:

A'uudzu billaahi minasy syaithaanirrajiim (Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan syaithan yang terkutuk.)

Kemudian diteruskan dengan membaca surah Al-Fatihah.

Sesudah membaca Al-Fatihah, kembali pada rakaat kedua ini dianjurkan untuk membaca pula satu surah atau beberapa surah atau ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian kembali melakukan ruku.

________________________________________

Ruku di Rakaat Kedua

Sikap dan bacaan ruku di rakaat kedua ini sama dengan sikap dan bacaan pada ruku di rakaat pertama.

________________________________________

Bangun dari Ruku

Sama dengan I'tidal pada rakaat pertama, bangkit serta mengangkat kedua tangan seraya membaca do'a i'tidal.

________________________________________

Sujud Pertama pada Rakaat Kedua

Bacaan di dalam sujud ini sama dengan bacaan pada sujud di rakaat pertama.

________________________________________

Duduk Diantara Dua Sujud

Bacaan doa ketika duduk diantara dua sujud pada rakaat kedua sama dengan bacaan pada rakaat pertama.

________________________________________

Sujud Kedua Pada Rakaat Kedua

Sikap dan bacaan pada sujud kedua pada rakaat kedua sama juga dengan sikap dan bacaan pada sujud-sujud sebelumnya.

________________________________________

Duduk Tahiyyat

Sikap duduk pada tahiyyat pertama (Tawarruk, keadaannya sama ketika duduk antara dua sujud menduduki kaki kiri, sedang kaki kanan tegak dengan jarijari kaki menghadap kiblat). Lain dengan sikap duduk pada tahiyyat kedua atau tahiyyat akhir (ifti-rasy, kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari kaki menghadap ke arah kiblat).

Bacaan ketika tahiyyat ialah:

At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu waththayibaatu

Semoga kehormatan untuk Allah, begitu pula segala do'a dan semua yang baik-baik.

Assalaamu'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh

Salam sejahtera untukmu wahai para Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya.

Assalaamu'alainaa wa'ala ibaadillahis shaalihiin

Salam sejahtera untuk kami dan untuk para hamba Allah yang saleh

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya

Contoh di atas adalah praktek solat subuh 2 rakaat. Bila Anda solat Maghrib 3 rakaat, maka bacaan tahiyyat pertama rakaat kedua cukup samapai pada "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad" dan akhir rakaat ketiga bacaan tahiyyat dibaca dengan sempurna samapi "hamiidun majiid". Setelah itu memberi salam.

Bila anda solat 4 rakaat, yaitu Zohur, Ashar, atau Isya, maka akhir rakaat kedua persis sama dengan akhir rakaat kedua solat Maghrib. Pada akhir rakaat ketiga, tak ada tahiyyat, dan pada akhir rakaat keempat barulah anda sempurnakan bacaan tahiyyat hingga "hamiidun majiid", lalu memberi salam sebagai akhir dari shalat.

Allaahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'alaa aali Muhammadin, kamaa shallaita 'alaa Ibraahim wa'alaa aali Ibrahim, wa baarik 'alaa Muhammadin, kama baarakta 'alaa Ibrahiima wa'alaa aali Ibraahima, fil 'aalamiina innaka hamiidun majiid.

Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berilah berkat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia.

________________________________________

Memberi Salam

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah selesai tahiyyat, anda memberi salam dengan membaca:

Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh (Salam sejahtera untukmu, rahmat Allah dan berkat-Nya.)

Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Perhatian:

Ketika membaca tasyahhud (asyhadu..) dalam tahiyyat, telunjuk kanan digerakkan ke atas bagai meyakinkan bahawa Allah itu hanya Esa.

Solat Jama & Qasar

Solat Jama



Yang dimaksud dengan solat Jama adalah penggabungan dua waktu solat dan dikerjakan dalam satu waktu, misalnya solat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.



Bila solat Zuhur dikerjakan bersama-sama dengan Ashar di waktu Ashar, maka dinamakan Jama Ta'khir. Sebaliknya bila solat Ashar dikerjakan bersama-sama dengan Zuhur di waktu Zuhur disebut Jama Taqdin. Demikian juga bila solat Maghrib dan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Maghrib, ia disebut Jama Taqdim, sebaliknya solat Maghrib dengan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Isya, ia dinamakan Jama Ta'khir.



Zuhur, Ashar, Isya dan Maghrib, rakaatnya tetap, 4,4,4, dan 3. Dalam solat Jama' baik yang taqdim maupun takhir, maka solat yang didahulukan mengerjakannya adalah solat yang lebih dulu waktunya. Jadi, bila selesai dengan shalat Zuhur, harus dilanjutkan dengan solat Ashar; begitu pula dengan solat Maghrib dan Isya.



Solat Jama boleh dikerjakan oleh orang-orang yang:

• Kerana dalam perjalanan atau musafir, iaitu sejak ia berangkat hingga kembali ke kampung

• Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.

• Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.

Harus ada niat dalam hati bahawa ia mengerjakan solat Jama'.



Shalat Qasar



Yang dimaksud dengan solat Qashar ialah mengerjakan solat yang empat rakaat menjadi 2 rakaat sahaja, yakni solat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Dalam Al Quran disebutkan:

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu". (An Nisa 101).

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Yahya bin Mazid r.a. katanya:

"Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya: Rasulullah s.a.w. "Apabila ia berjalan jauh 3 mil atau 33 farskah (25,92 km), maka beliau solat dua rakaat"





Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. :"Apakah halnya kita, sedangkan kita telah aman".



Rasulullah s.a.w. menjawab: "Itu adalah sadakah yang diberikan Allah s.w.t. kepada kamu, maka terimalah sedekahnya itu" (HR Ja'la bin Umayyah)



Solat Qashar boleh dikerjakan oleh seseorang yang tengah berpergian (musafir) baik dalam keadaan aman, maupun dalam keadaan ketakutan; baik perjalanan wajib atau biasa, asalkan perjalanan yang bukan maksiat. Dalam perjalanan Haji, menuntut ilmu, berdagang, mengunjungi sahabat dan lain-lain, halal untuk

mengqasharkan solat.



Adapun solat qashar saja, maupun qasahar dan jama' yang dilakukan seseorang selama masa perjalanan, maka setelah ia tiba dirumah kembali, solatnya tidak perlu diulangi.



Seorang musafir, boleh mengerjakan jama' dan qashar sekaligus. Bila ingin mengerjakan jama, dan qashar, jika ingin azan, maka azannya cukup satu kali saja dan iqamahnya dua kali. Caranya, mula-mula azan, lalu iqamah dan solat. Bila telah selesai ia iqamah sekali lagi untuk solat berikutnya. Solat qashar adalah

bagian dari ketetapan agama Islam.



Boleh jama' di dalam negeri



"Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah s.a.w. pernah sembahyang jama' antara Zuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, bukan diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang bertanya kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Rasulullah s.a.w. berbuat begitu? Ia menjawab: "Rasulullah s.a.w. berbuat begitu kerana tidak mahu memberatkan seorangpun daripada umatnya". (HR Imam Muslim)



Boleh Seketika, Tetapi Bukan Leluasa



Bila anda berpergian sebelum tergelincir matahari (yaitu sebelum Zuhur dan ternyata Zuhur tidak dapat dikerjakan pada waktunya kerana ada kerumitan atau halangan yang susah dielakkan), maka Zuhur dapat dikerjakan pada waktu Ashar, bersama-sama dengan solat Ashar. Bila anda keluar sesudah tergelincir matahari, yakni sudah dalam Zuhur, sedangkan anda sendiri memperkirakan tidak mungkin ada kesempatan untuk mengerjakan solat Ashar tepat pada waktunya, maka Ashar dapat anda kerjakan bersama-sama solat Zuhur di waktu Zuhur itu juga, demikian halnya dengan solat Maghrib dan Isya.



Yang Penting Niat



Bagi seorang yang betul-betul sibuk dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkan (atau bila ditinggalkan dapat merosak), maka baginya ada keizinan/keringanan untuk mengerjakan solat jama' (Zuhur dengan Ashar di waktu Zuhur atau Zuhur dengan Ashar di waktu Ashar. Begitu juga Maghrib dengan Isya, sekali pun ia berada di dalam kota atau negeri. Tetapi, cara yang demikian bukanlah untuk dijadikan kebiasaan, namun dibenarkan bagi yang memang memerlukan, baik dalam solat atau diluar solat.

Pada waktu sujud dianjurkan membaca:



Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam'ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi. (Aku bersujud kepada Allah yang menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya)



Catatan:



Bila diluar solat, pembacaan ayat yang ditentukan melakukan sujud tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa.



Bila dalam solat jamaah, Imam bersujud tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukannya sebagai anggota solat berjamaah.

Solat Berjamaah

Solat berjamaah adalah solat yang dilakukan secara bersama, dipimpin oleh yang ditunjuk sebagai imamnya. Solat-solat yang bisa dikerjakan berjamaah adalah:

1. Solat Lima Waktu: Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya

2. Solat Jum'at

3. Solat Tarawih

4. Solat Ied Fitri dan 'Idul Adha

5. Solat Jenazah

6. Solat Istisqa (Minta Hujan)

7. Solat Gerhana Bulan dan Matahari

8. Solat Witir

Cara Melakukan

Berniat dalam hati bahawa ia menjadi makmum atau iman. Adapun seseorang yang pada mulanya solat sendirian, kemudian ada orang lain yang mengikuti di belakangnya, baginya tidak dituntut sebagai imam.

Makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya maupun gerakannya selama solat berjama'ah berlangsung. Makmum diharuskan mengikuti sikap/gerak imam, tidak boleh terlambat apa lagi sampai tertinggal hingga dua rukun solat.

Apabila makmum menyalahi gerakan imam (sengaja tidak mengikutinya) maka putuslah arti jama'ah baginya; dan ia disebut mufarriq.

Antara imam dan makmum harus berada dalam satu tempat yang tidak terputus oleh sungai atau tembok mati kerana itu berjamaah melalui radio atau seumpamanya dalam jarak jauh, tidak memenuhi syarat berjamaah.

Imam hendaklah orang yang berdiri sendiri, bukan orang yang sedang makmum kepada orang lain. Selain itu, imam hendaklah seorang laki-laki. Perempuan hanya dibenarkan menjadi imam sesama perempuan dan anak-anak.

Solat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada solat sendirian (munfarid). Solat berjamaah paling sedikit adalah adanya seorang imam dan seorang makmum.

Bila seseorang terlambat mengikuti solat berjamaah, hendaklah ia segera melakukan takbiratul ihram, lalu berbuat mengikuti imam sebagaimana adanya. Bila imam sedang duduk, hendaklah ia duduk, bila iamam sedang sujud iapun harus sujud; demikian seterusnya. Apabila imam sudah memberi salam, hendaklah ia bangun kembali untuk menambah kekurangan raka'at yang tertinggal dan kerjakanlah hingga raka'atnya memenuhi.

Ukuran satu rakaat solat ialah ruku'. Bila seseorang mendapatkan imam ruku dan dapat mengikutinya dengan baik, maka ia mendapatkan satu rakaat bersama imam.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi shalat, padahal imam sedang berada daam suatu sikap tertentu, maka hendaklah ia berbuat seperti apa yang sedang dilakukan oleh imam". (HR Turmudzi dan Ali r.a. )

Hikmah Berjamaah

Solat berjamah mengandung faedah dan manfaat yang bervariasi sesuai dengan kepentingan umat dan zaman. Melalui jamaah, silaturahmi antar umat, disiplin, dan berita-berita kebajikan dapan dikembangkan dan disebarkan luaskan.

Rasulullah s a.w. bersabda: Solat berjamaah itu lebih utama nilainya dari solat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat" (HR Bukhari dan Muslim).

Imam (Ikutan)

Imam adalah ikutan, demikian pengertiannya. Untuk menjadi seorang imam diperlukan beberapa persyaratan yang mengikat. Misalnya memiliki usia yang lebih tua atau dituakan, memiliki pengetahuan tentang Al Quran dan hadits Rasulullah s a.w., memiliki keindahan bacaan dengan ucapan yang fasih (kalau di zaman Rasulullah s a.w., peribadi-peribadi yang lebih dahulu hijrah diperhatikan untuk menjadi imam.

Kerana imam adalah ikutan, maka pemilihan pribadi amat diperhatikan. Pro dan kontra yang berlebihan atas seseorang imam kerana dosa besarnya yang menonjol, pasti akan membubarkan jamaah. Adapun dalam kesalahan umum, maka semua manusia tidak suci dari dosa. Seorang yang biasa menjadi imam, maka tidak ada salahnya untuk sewaktu-waktu ia berada di belakang imam yang lain. Walau dia sendiri mungkin lebih baik dari imam yang bersangkutan.

"Dari Abdullah bin Masud, dia berkata: Rasulullah s a.w. bersabda: "Menjadi Imam dari suatu kaum ialah mana yang lebih baik bacaan Al Qur'annya. Bila semuanya sama bagusnya, hendaklah imamkan mana yang paling alim (banyak tahu) akan sunnah Rasul. Kalau semuanya sama alim tentang sunnah Rasul, maka dahulukan mereka yang lebih dulu hijrah. Kalau mereka sama dahulu hijrah, maka iammkanlah mereka yang lebih tua usianya" (HR Imam Ahmad dan Muslim, dari Abdullah bin Mas'ud).

"Kalau mereka ada bertiga, hendaklah diimamkan seorang. Yang lebih berhak menjadi imam ialah yang lebih banyak bacan (tahu tentang bacaan Al Qur'annya)". (HR Imam Muslim, Ahmad dan Nasa'i dengan sumber Abi Said Al-Khudry).

"Tidaklah halal bagi seorang mukmin yang imam kepada Allah s.w.t. dan hari akhir yang mengimami sesuatu kaum kecuali atas izin kaum itu. Dan janganlah ia mengkhususkan satu do'a untuk dirinya sendiri dengan meninggalkan mereka. Kalau ia berbuat demikian, berkhianatlah ia kepada mereka". (HR Abu Daud dari Abu Hurairah)

Keadaan Shaf

Solat salah satu ibadah yang menghubungkan peribadi kepada Allah s.w.t., dan juga mengatur hubungan sesama manusia. Solat yang baik mendatangkan tamsil yang indah dan berguna.

Shaf yang baik akan menghemat tempat, merapikan barisan dan kesatuan jamaah serta mendatangkan nilai tambah bagi ibadah itu sendiri, bahkan menjadi cermin disiplin kehidupan dan pergaulan.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Aturlah shaf-shaf kamu dan dapatkanlah jarak antaranya, ratakanlah dengan tengkuk-tengkuk". (HR Imam Abu Dawud dan An Nasa'i disahihkan Ibnu Hibban dari Anan).

Sering orang mengira bahawa shaf yang baik adalah shaf yang dilakukan secara santai-lapang. Tidaklah demikian sebenarnya.

Untuk Shaf yang Baru

Bila shaf terisi penuh, maka mulailah dengan shaf yang baru dari arah sebelah kanan. Bila yang terbelakang hanya seorang diri, maka usahakanlah ia dapat masuk shaf yang sudah ada; atau tariklah seorang anggota shaf yang ada untuk menemaninya (yang ditarik pasti mahu, andaikan ia mengerti tata tertibnya).

Shaf Kaum Wanita

Shaf kaum wanita sebaiknya terletak di belakang shaf kaum lelaki, sementara shaf anak-anak berada di tengah; demikian bila dimungkinkan. Bila tidak, shaf makmum lelaki dan wanita bisa diatur secara sejajar; atau mungkin tercampur sama sekali, bagaikan jamaah musim haji di masjidil Haram, Makkah. Shaf yang bercampur baur sebenarnya kurang baik, bahkan mudah mengandung fitnah; sementara solat itu sendiri mencegah kekejian dan kemungkaran, yang akan mendatangkan fitnah, apalagi jika melakukan solat.

Rasulullah s a.w. bersabda: "Sebaik-bauknya shaf kaum lelaki itu di depan, dan seburuk-buruknya ialah di bagian belakangnya, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita itu ialah pada bagian akhirnya dan sejelek-jeleknya ialah di bagian depannya". (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Pengganti Imam

Bila solat berjamaah, sebaiknya orang yang di belakang imam adalah mereka yang merasa dirinya siap sebagai pengganti, bila tiba-tiba imam mendapat halangan, umpamanya batal, jatuh sakit, lupa ingatan, terlupa rukun dan sebagainya. Apabila seseorang solat di sebuah masjid di luar asuhan atau daerahnya sendiri, maka dia tidak boleh langsung bertindak menjadi imam, kecuali bila diminta. Mungkin saja disana sudah ada jadwal imam tetap. Begitu pula bila ia bertamu, kerana yang paling hak menjadi imam adalah tuan rumah sendiri, kecuali bila ia diminta.

Imam Yang Arif

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s a.w. bersabda: "Manakala seseorang di antara kamu solat bersama-sama orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (memendekkan) bacaan surat atau ayat-ayatnya. Mungkin ada diantara jamaah yang tidak tahan lama berdiri, ada yang sakit, atau ada yang sudah tua. Dan manakala seseorang dari kamu itu solat sendirian, maka silakan ia memanjangkan bacaan sekehendaknya". (HR Bukhari dan Muslim).

Khutbah dipendekkan dan solat diperpanjang, demikian petunjuk Rasulullah s a.w. Di pejabat, pekerja dibatasi oleh waktu, maka khutbah yang pendek sangat tepat dan bermanfaat. Khutbah yang seakan-akan cerita bersambung, membosankan, akhirnya jama'ah berbual dan mengantuk.

Ringkasan

• Kalau solat di rumah, maka tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali tuan rumah mempersilakannya.

• Orang yang bagus bacaan Al-Qurannya lebih diutamakan untuk menjadi imam.

• Bila solat telah berlangsung, mereka yang datang belakangan terus saja mengikuti imam yang sudah ada.

• Imam sedapatnya orang yang lebih disukai makmum, kerana iman itu dipilih untuk diikuti.

• Imam sahabat rawatib, sebaiknya oleh imam yang biasa ditetapkan, kecuali ada kesepakatan menunjuk orang lain sebagai imam.

• Imam yang fasih lebih utama, sebagai halnya seorang yang dituakan, baginya amat layak menjadi imam dalam solat.

• Imam itu bertanggung jawab atas makmumnya, kerana itu seorang imam harus tahu benar dengan kedudukannya.

• Orang makmum yang tepat berada di belakang imam, hendaklah seorang yang amat tahu dalam masalah ibadah yang sedang dilakukan. Mereka harus bertindak tepat pada saat imam batal, salah, lupa dan sebagainya. Bila perlu ia berhak menggatikan imam, sekalipun imam berkebaratan atau tidak tahu tentang kesalahannya.

• Seorang di belakang imam berlaku sebagai barometer, berhak meluruskan baris atau shaf di kanan dan kirinya.

• Apabila selesai solat, imam segera duduk mengarah ke jamaah. Sebaiknya imam berdzikir secara pelan dan kusyu, dan jamaahpun berdzikir atau berdoa sesuai kata hatinya; demikian yang terbaik.

• Bila imam berdoa, diaminkan atau tidak diaminkan, doa imam sudah membawa kepentingan jamaahnya.

Solat Sunnat Istikharah

Solat ini dilakukan untuk mendapatkan petunjuk, terutama bila seseorang dalam keraguan memutuskan mana yang terbaik diantara dua perkara yang diragukan.



Sebelum seseorang mengambil keputusan ia dianjurkan solat istikharah dua rakaat. Setelah selesai shalat, berdoa seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW:

Allaahumma inni astakhiiruka bi'ilmika , wa astaqdiruka biqudratika wa as aluka min fadhlikal azhiim. Fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wata'lamu wa laa a'lamu, wa anta allaamul ghuyuub.



Allaahumma inkunta ta'lamu anna haadzal amra khairun lii fii diinii wama'aasyii wa 'aaqibati amrii, 'aajili amrii wa aajilihi faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baarikliifiihi. Wa inkunta ta'lamu anna haadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma'aasyii wa 'aaqibatu amrii 'aajili amrii wa aajilihi fashrif annii washrifni 'anhu waqdur liyal khairahaytsu kaana tsumma ardhinii bihi, innaka 'alaa kulli syai-in qadiir



"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon pilihan-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku mohon kepastian kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, Engakau Maha Tahu dan Maha Mengetahui segala yang gaib.

Ya Allah, jika Engkau mengetahui urusan ini baik bagiku, untuk agamaku, untuk penghidupanku dan akhir kesudahannya kelak, maka takdirkanlah dia bagiku dan mudahkanlah dia bagiku, kemudian berilah dia berkah bagiku.

Dan apabila Engkau mengetahui pekerjaan itu buruk bagiku, untuk agamaku, untuk penghidupanku dan akhir kesudahannya kelak, maka singkirkanlah dia daripadaku dan hindarkanlah aku daripadanya. Takdirkanlah hal-hal yang baik bagiku dimana kebajikan itu berada, kemudian berilah aku menyenanginya"

Tata Cara Shalat Istikharah



Tata cara solat istikharah sama dengan solat subuh, Hanya niatnya saja yang berlainan, yaitu berniat solat istikharah. Bila mungkin laksanakan sesudah lewat tengah malam, setelah bangun tidur. Solat ini sangat peribadi sifatnya. Sebab itu harus dikerjakan sendirian. Solat ini tidak memakai azan atau iqamah.



Dalam berdoa sebaiknya menyebutkan permintaan yang ingin diberikan petunjuk oleh Allah s.w.t. misalnya: "Ya Allah, jika Engkau mengetahui urusan ini....(sebutkan namanya)"

Solat-solat Sunnat Lainnya

Solat Safar



Apabila seseorang hendak berpergian, sebelum meninggalkan rumah, ia dianjurkan mengerjakan solat safar dua rakaat; demikian pula sesudah tiba di rumah kembali.



Caranya sama dengan mengerjakan solat subuh, hanya niatnya berlainan, yaitu berniat solat safar sunnat kerana Allah s.w.t.. Selesai solat berdoalah agar perjalanan diridhai, dimudahkan dan diselamatkan Allah s.w.t. dalam perjalanan, baik pribadi, tugas maupun keluarga yang ditinggalkan.



Solat Tahiyatul Masjid



Bila seseorang masuk ke masjid, maka sebelum ia duduk atau melakukan sesuatu yang lain, lebih dulu dianjurkan mendirikan solat tahiyatul masjid (menghormati masjid) sebanyak dua rakaat. Caranya sama dengan solat sunnat yang lain, hanya niatnya saja yang berbeda.



Solat Dhuha



Solat Dhuha dilakukan pagi hari antara jam 6.30 hingga jam 11.00 . Bilangan rakaatnya sekurang-kurangnya dua rakaat dan sebanyak-banyaknya 8 rakaat. Caranya setiap dua rakaat, satu salam.



Solat Thuhur



Solat ini dikerjakan sesudah mengambil air wudhu. Kalau di masjid, sebaiknya dilakukan sesudah solat tahiyatul masjid. Caranya seperti mengerjakan solat sunnat yang lainnya.



Solat Intizhar



Solat Intizhar (solat menunggu atau sunat Mutlaq) dapat dikerjakan pada setiap saat; terlepas dari keterikatan seperti solat sunnat yang lain. Pada hari Jum'at menjelang khatib naik mimbar, atau pada kesempatan yang hampir serupa. Solat Intizhar tidak boleh dikerjakan lagi bila khatib sudah naik mimbar. Caranya seperti mengerjakan solat subuh juga, setiap dua rakaat satu kali salam. Boleh dikerjakan satu kali atau lebih.



Solat Syukur



Solat ini biasanya dikerjakan apabila setelah berhasil menaklukkan musuh, mengerjakan pekerjaan besar, memperoleh keuntungan besar, seperti lulus ujian dan sebagainya. Bilangan rakatnya boleh 2, 4, 6 atau 8 dan dikerjakan terus menerus dengan hanya satu kali salam pada rakaat terakhir.



Solat Sunnat Jum'at



Selesai solat Jum'at, kita dianjurkan melakukan solat empat rakaat atau dua rakaat, dengan niat solat sunat Jum'at.



Rasulullah s a.w. bersabda: "Apabila anda sudah selesai solat Jum'at maka hendaklah kamu solat sesudahnya empat rakaat" (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah)



Dalam hadits lain juga disabdakan:



"Bahwa Rasulullah s a.w. tidak mengerjakan solat sunnat sesudah Jum'at sehingga ia pulang ke rumahnya, maka beliau solat dua rakaat dirumahnya". (Hr Imam Muslim dan Ibnu Umar r.a.)

Solat Sunnat Istisqa (Minta Hujan)

Pada musim kemarau panjang, kita dianjurkan melakukan solat Istisqa (solat minta hujan). Seluruh anggota masyarakat, lelaki dan wanita, tua muda, anak-anak, dan orang tua lemah pun kalau perlu didukung dan diikutsertakan; berkumpul di satu kawasan lapang, semua berpakaian yang biasa dipakai kerja. Jama'ah dengan rendah hati, khusyu, dan bersungguh-sungguh mengharap ridha Allah s.w.t.



Khatib naik mimbar atau berdiri di tempat ketinggian, lalu memulai berkhutbah dengan puji-pujian kepada Allah s.w.t., dua kalimah syahadah dan shalawat kepada Rasulullah s a.w.. Kandungan khutbah mengajak umat bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t, lalu mengajukan permohonan kepada-Nya, semoga Dia menurunkan hujan. Sebaiknya beberapa hari menjelang solat istisqa dilakukan, pemuka umat sudah berbuat menasihati, menginsyafkan umat serta berpuasa bersama-sama selama empat hari berturut-turut dan mengajak berlumba-lumba membuat kebajikan.



Doa meminta hujan:

Alhamdulillahi rabbil aalamiim. Arrahmaanirrahiim.

Maalikiyaumiddiin. Laailaaha illallaahu ya'alu maa yuriid. Allaahumma antallaahu laa ilaahaa illallaahu antal ghaniiyyu wa nahnul fuqaraa-u anzil alainal ghaytsa waj al maa anzalta lanaa quwwatan wa balaaghan ilaahiin.



"Segala puji bagi Alah, pemelihara alam semesta. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan yang memiliki hari pembalasan. Tidak ada Tuhan selain Allah. Allah berwenang berbuat sekehendak-Nya.



Ya Allah, Engkaulah Tuhan, Tiada Tuhan selain Engkau yang Maha Kaya, dan kami berhajat kepada Engkau. Curahkanlah hujan kepada kami, dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu menjadi kekuatan bagi kami hingga masa-masa selanjutnya".

Lalu khatib menadahkan kedua tangannya ke langit seraya membalikkan diri, membelakangi jama'ah dan menghadap kearah kiblat, dengan segala kerendahan hati ia memohon kepada Allah s.w.t., sementara jamaah mengaminkannya. Kemudian khatib menghadap kembali kepada orang banyak, lalu turun dari mimbar untuk melakukan solat dua rakaat dengan para jamaah. Solat ini tidak memerlukan azan dan iqamah. Sebaiknya sesudah membaca Al Fatihah pada rakaat pertama, imam membaca surat Al A'la dan sesudah Al Fatihah pada rakaat kedua, imam membaca surah Al Ghasyiyah.

Shalat Sunnat Rawatib

Solat sunnat rawatib biasa juga disebut sunnat Qabliyah dan sunnat Ba'diyah. Dinamakan demikian kerana solat sunnat ini dilaksanakan sebelum dan sesudah solat wajib yang lima waktu, ia merupakan pendamping atau pelengkap bagi solat yang bersangkutan.



Sebelum Zuhur kita dianjurkan (disunnatkan) mengerjakan solat Qabliyah dua rakaat. Bila mungkin dan cukup waktu kerjakan dua rakaat lagi. Setelah selesai solat Zuhur, dianjurkan pula mengerjakan solat Ba'diyahnya dua rakaat, bila mungkin, kerjakan dua rakaat lagi. Jadi sunat rawatib bagi solat Zuhur; Qabliyah 2+2 dan Ba'diyah 2+2 rakaat.



Adapun solat sunnat rawatib bagi shalat Ashar, Qabliyah (sebelum Ashar) empat rakaat, sekurang-kurangnya dua rakaat (untuk Ashar tidak ada rawatib Ba'diyahnya). Untuk solat Maghrib kita boleh melakukan solat sunnat Rawatib Ba'diyah sebanyak dua rakaat (Maghrib tidak ada Rawatib Qabliyahnya).



Untuk Isya, dua rakaat Qabliyah dan dua rakaat Ba'diyah. Adapun untuk solat Shubuh, hanya ada dua rakaat sebelumnya (Qabliyah).

Cara mengerjakan solat sunnat rawatib ini sama halnya dengan cara mengerjakan solat Subuh, hanya niatnya yang berbeda. Untuk solat rawatib Zuhur, berniat mengerjakan solat sunnat rawatib Qabliyah atau Ba'diyah dan dikerjakan dengan cara sendiri-sendiri (Munfarid, tidak berjamaah).

Solat Sunnat Tahajjud dan Witir

Solat Tahajjud ialah solat malam, atau biasa disebut Shalatul Lail. Waktunya lewat tengah malam, dan sebaiknya dikerjakan setelah tidur terlebih dahulu. Bilangan rakaatnya sebelas rakaat; yakni 8 rakaat + 3 rakaat sunnat witir.

• Tahajjud dapat dikerjakan 2x4 rakaat, yaitu setiap 4 rakaat 1 salam, lalu ditambah dengan witir 3 rakaat 1 salam.

• Atau dengan cara 4x2 rakaat, yaitu setiap 2 rakaat 1 salam, lalu ditambah dengan 3 rakaat witir 1 kali salam.

Ayat-ayat yang dibaca sesudah Al Fatihah boleh dipilih sendiri. Biasanya ayat-ayat yang dipahami maknanya akan lebih berkesan dan mudah dihafal. Bagi yang belum hafal, dapat membaca pada rakaat pertama surat Al Ashar serta Al Kautsar; atau ayat-ayat pendek lainnya.



Melalui solat malam, seseorang dapat meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah s.w.t..



Firman Allah s.w.t.:



"Dan pada sebagian malam tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji". (Al Isra : 79).



Solat Witir



Witir artinya ganjil. Dinamakan Solat Witir, kerana bilangan rakaatnya yang selalu ganjil; yaitu boleh 1 rakaat, 3, 5, 7, 9 atau 11 rakaat. Boleh dikerjakan dua-dua, terakhir 3 rakaat 1 tahiyyat 1 salam.



Solat witir dilakukan setelah solat Isya hingga menjelang fajar (shubuh). Ia dapat dikerjakan sebagai pelengkap solat Tahajjud atau solat Tarawih; ia layaknya sebagai penutup segala solat yang dilakukan hingga menjelang Subuh. Misalnya seseorang yang memperkirakan peribadinya tak akan terbangun mengerjakan solat Tahajjud lagi, maka ia dapat mengerjakan solat witir langsung sesudah mengerjakan solat Isya. Pada setiap rakaat solat witir, selain membaca Al Fatihah kita dapat pula memilih beberapa ayat atau salah satu dari Al Quran.

Solat Tarawih

Solat Tarawih dalam bulan Ramadhan ialah solat Tahajjud atau shalatul lail yang dilakukan pada malam-malam bulan lainnya. Sesudah membaca Al Fatihah pada setiap rakaat, lalu membaca ayat-ayat atau surah dari Al Quran . Bilangan rakaat shalat Tarawih sesuai sunnah Rasulullah s a.w. ialah 11 rakaat; terdiri dari 8 rakaat solat Tarawih dan 3 rakaat solat Witir. Sementara Umar bin Khatab r.a. mengerjakannya 20 rakaat dengan ditambah witir 3 rakaat. Solat tarawih termasuk sunnah muakkad, boleh dikerjakan dengan berjamaah boleh juga sendiri.



Menurut pendapat Al Ghazali, dalam bukunya "Rahasia-rahasia Shalat", walaupun dapat dikerjalan sendiri tanpa berjamaah, solat Tarawih yang dilakukan secara berjama'ah lebih afdhal, sama seperti pendapat Umar r.a., mengingat bahawa sebagian solat nawafil telah disyariatkan dalam jama'ah, maka yang ini pun pantas dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Sedangkan alasan kekhawatiran timbulnya riya bila berjamaah, atau pun kemalasan bila sendirian, sudah jelas menyimpnag dari tujuan keutamaan berkumpul dalam suatu jama'ah. Barangkali, orang yang berpegang pada alasan tersebut ingin berkata bahawa melakukan solat lebih baik daripada meninggalkannya kerana malas, dan bahawa kemalasan (bila sendirian) lebih baik daripada riya (jika solat jamaah). Demikian menurut Al Gazhali.



Cara Mengerjakan



2x4 rakaat + Witir, yaitu setiap 4 rakaat 1 kali salam, ditambah dengan witir 3 rakaat 1 kali salam.



4x2 rakaat + 3 rakaat witir, yaitu setiap 2 rakaat 1 kali salam, ditambah dengan witir 3 rakaat 1 kali salam.



Waktu solat Tarawih ialah sejak selesai solat Isya hingga terbit fajar

Solat Ied (Idul Fitri)

Islam memiliki dua hari raya iaitu Hari raya Fitri 1 Syawal dan Ied Adha 10 Dzulhijjah (Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji).



Cara mengerjakannya hampir sama dengan solat Jum'at yaitu dua rakaat. Bedanya, pada solat Ied, takbir awal pada rakaat pertama sebanyak 7 kali, dan takbir pada rakaat kedua sebanyak 5 kali, dan khutbah Ied dilakukan sesudah shalat.



Solat Ied & Idul Adha :



• Sebaiknya dilakukan di lapangan terbuka

• Disunatkan makan/minum sekedarnya menjelang pergi ke tempat solat. (Kebalikan dari Ied Adha: menahan makan sampai turun khatib dari khutbah)

• Disunatkan pergi dan pulang dari solat Ied menempuh jalan yang berbeda

• Tak ada solat sunnat yang mendahului atau yang mengiringi solat Ied.

• Bagi mereka yang mengerjakan solat Ied di lapangan baginya tidak ada solat sunnat Tahiyatul Masjid.

Bacaan setiap sesudah takbir



Subhaanallaah wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar. ("Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah itu Maha Besar")



Sunnat memperbanyak lafaz takbir pada malam dan sepanjang Hari Raya Fitri. Pada Ied Adha, lafaz takbir hanya dikumandangkan pada malam dan paginya menjelang usai khutbah. Waktu-waktu berikutnya

dilakukan pada kesempatan solat fardhu termasuk pada hari-hari Tasyriq. Lafazh berbunyi:



Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar allaahu akbar walillaahil hamd. Allahu akbar kabiira walhamdulillahi katsiira wa subhaanallaahi bukratan wa ashiila. Laa ilaaha illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, wa hazamal ahzaaba wahdah. Laa ilaaha illallaahu walaa na'budu illa iyyaahu mukhlishiina lahuddiina walau karihal kaafiruun.



"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan bagi Allah segala puji, Allah Maha Besar, Maha Agung, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah pagi dan petang, tidak ada Tuhan selain Allah sendiri saja, Maha Benar Janji-Nya, Maha Penolong akan hamba-Nya, dan menghalau pasukan-pasukan musuh sendiri-Nya saja. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya saja, mengikhlaskan agama bagi-Nya sekalipun tidak disukai orang-orang

kafir ".



Bagi mereka yang terlambat tiba di tempat solat dan mendapati imam sedang solat, ia jangan berbalik pulang, tetapi bergabunglah dan ikutilah, kemudian tambahilah sebanyak rakaat yang tertinggal.

Apabila mereka mendapati jamaah telah selesai solat, maka kerjakanlah solat Ied sebanyak dua rakaat; jangan ragu, jangan malu dan kerjakanlah hingga selesai. Bila selesai solat Ied duduklah dan dengarlah khutbah dengan khidmat.



Disunnatkan mendengar khutbah dengan khidmat dan jangan meninggalkan lapangan sebelum khatib turun dari mimbar, kecuali kerana hal-hal yang sangat memaksa. Bagi kaum wanita yang dalam keadaan haid, mereka dianjurkan ikut ke lapangan, ambil tempat di bagian pinggir, lalu mendengar khutbah, demi syiarnya Islam.



Bacaan setiap sesudah takbir berbunyi:



"Subhaanallaah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar" ("Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar.")

Solat Sunnat Hajat

Solat hajat dilakukan untuk memperkuat cita-cita seseorang atau sekelompok orang. Solat hajat boleh dikerjakan siang maupun malam hari. Malam hari, waktu tengah malam, suasana lebih berkesan, lebih khusyu, sunyi dari segala hingar bingar kehidupan. Ia boleh juga dikerjakan siang hari, istimewa bagi seseorang yang memang sedang memerlukan bantuan .



Solat hajat boleh dikerjakan dua rakaat dan boleh pula lebih. Pada halaman ini akan ditampilkan solat hajat yang berjumlah 12 rakaat.



Tersebut dalam buku Tuhfatudz Dzaakirin karangan Imam Al Ghazali, bahwa Rasulullah s.a.w. menerangkan :

"Engkau solatlah dua belas rakaat siang atau malam, dan setiap dua rakaat bacalah Tasyahud (Tahiyat dengan dua kalimah syahadat). Ketika engkau duduk yang terakhir dalam solat itu panjatkanlah puja puji kepada Allah Ta'ala, lalau salawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan kemudian bacalah takbir lalu sujud. Di dalam sujud itu bacalah olehmu: Surah Al Fatihah 7 kali, Ayat Al Kursi 7 kali, Surah Al Ikhlas 7 kali, dan lanjutkanlah dengan tahlil 10 kali.



Lafazh tahlil tersebut ialah:



Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa alaa kulli syai-in qadiir



"Tidak ada Tuhan selain Allah sendiri-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya lah kekuasaan dan miliknya segala puji. Dia yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala-galanya"



Setelah itu lanjutkan dengan membaca doa berikut ini:



Allaahumma innii as aluka bima aaqidil azzi min arsyika wa muntahar rahmati min kitaabika, wasmikal a'zhami, wajaddikal a'laa, wa kalimaatikat tammah.



"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kedudukan yang amat tinggi, rahmat serta anugerah yang tiada henti-hentinya dari ketentuan-Mu, dan dengan nama-Mu yang Maha Agung, dan kebesaran-Mu yang amat tinggi, serta firman-Mu yang Maha Sempurna.



Setelah selesai membaca doa, bermohonlah kehadirat-Nya segala sesuatu yang engkau kehendaki; baik kebajikan dunia maupun kebajikan akhirat.



Kemudian duduk kembali dan mengucapkan salam.

Solat Sunnat Gerhana

Kita mengenal gerhana matahari dan gerhana bulan. Zaman Rasulullah s.a.w., pernah terjadi gerhana matahari dan bertepatan dengan kematian putera beliau, Ibrahim. Masyarakat berkomentar dan menghubungkan gerhana tersebut dengan kematian putera tercinta Rasulullah s.a.w. Kerana pendapat yang keliru itu akan membawa kesyirikan, maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Sesungguhnya matahari dan bulan itu kedua-duanya adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Tidaklah terjadi gerhana karena matinya seseorang dan tidak pula kerana lahirnya. Apabila kamu telah menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah dan solatlah kamu hingga cuaca telah terang kembali."

Cara Solat Gerhana



Ada beberapa cara mengerjakan solat gerhana pengamalan zaman Nabi Muhammad s.a.w.:



1. Dikerjakan dengan 2 rakaat sebagaimana solat sunnat biasa



2. Dikerjakan 2 rakaat, yang pada setiap rakaat ruku'nya dilakukan dua kali, yaitu sesudah membaca Al Fatihah dan surah, lalu ruku. Bangun i'tidal, lalu membaca Al Fatihah dan surah lalu ruku yang kedua. Kemudian i'tidal lagi dengan tu'maninah barulah melakukan sujud yang pertama, duduk antara dua sujud, lalu sujud yang kedua, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kedua. Pada rakaat yang kedua ini, ruku dilakukan dua kali seperti pada rakaat yang pertama. Kemudian diakhiri dengan tahiyat.



Solat gerhana dapat dikerjakan secara berjamaah. Sebaiknya setelah solat dilakukan khutbah seperti pada solat hari raya. Isinya diarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti anjuran taubat, sedekah, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar; dan jangan lupakan keterangan tentang gerhana itu sendiri.



"Abdullah bin Amr bin Ash r.a. berkata; "Ketika terjadi gerhana di masa Nabi Muhammad s.a.w maka diserukan: "Ash-shalaatu jaami'ah (tegakkanlah solat berjamaah)". Kemudian (di dalam solat) Nabi Muhammad s.a.w. ruku dua kali dalam satu rakaat. Pada rakaat kedua Nabi Muhammad s.a.w ruku dua kali pula. Kemudian duduk dan selesai. Matahari sudah terang kembali. Siti Aisyah berkata: "Belum pernah saya sujud lama, seperti lamanya sujud solat gerhana itu". (Hr Bukhari dan Muslim).



3. Dikerjakan dengan dua rakaat, tetapi pada tipa-tiap rakaat dilakukan 3 kali ruku dan 2 kali sujud.



4. Dikerjakan 2 rakaat, tetapi tiap-tiap rakaatnya dilakukan 4 kali ruku dan 2 kali sujud.



Gerhana Penuh



Gerhana itu ada yang penuh , ada yang separuh, dan ada yang hanya sedikit saja. Untuk orang yang mengerti tentang susunan bintang atau ilmu falak, kejadian gerhana sangat mudah dipahami secara ilmiah dan iman.

Bacaan-bacaan Sesudah Solat

Perlu diketahui bahawa semua bacaan (dzikir dan do'a) sesudah solat, hukumnya adalah sunat yang dianjurkan (sunnat muakkad), bukan wajib.

Bacaan dzikir dan doa tersebut antara lain:

1. Astaghfirullaahal 'azhiim (3x)

Saya mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung

2. Allaahumma antas salaam, wa minkas salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam

Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera, dan dari-Mu lah kesejahteraan, Maha Berkat Engkau ya Allah, yang memiliki kemegahan dan kemuliaan

3. Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu, wahuwa 'alaa kulli syain qadiir

Tidak ada Tuhan selain Allah saja, Dia Sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya lah kerajaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala-Nya.

4. Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita walaa mu'thiya limaa mana 'ta walaa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu

Ya Allah, tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi pemberian-Mu, dan tak ada pula sesuatu yang dapat memberi apa-apa yang Engkau larang, dan tak ada manfaat kekayaan bagi yang mempunyai, kebesaran bagi yang dimilikinya, kecuali kekayaan dan kebesaran yang datang bersama ridha-Mu

5. Membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil, yaitu:

Subhaanalaah (33x) "Maha Suci Allah"

Alhamdulillaah (33x) "Maha terpuji Allah"

Allaahu Akbar (33x) "Allah Maha Besar"

La ilaaha illallaahu wahdaahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syain qadiir (1x)

Tidak ada Tuhan selain Allah, sendiri-Nya; tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan pujian. Dia Maha Kuasa atas segala-galanya.

6. Surah Al Ikhlas dan surah Al Mu'awwidzatain (yaitu surah Al Falaq dan An-Nas)

a. Surah Al Ikhlash:

Qul huwallaahu ahad ("Katakanlah : Allah itu Esa!")

Allaahush shamad ("Allah tempat meminta")

Lam yalid walam yualad ("Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan")

Wa lam yakun lahu kufuwan ahad ("Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya")

b. Surat Al Falaq

c. Surah An Nas

7. Ayatul Kursiy (Surah Al Baqarah 255)

Allaahu la ilaaha illa huwal hayyul Qayyum, la ta 'khudzuhu sinatun walaa naumun lahu maa fissamaawaati wama fil ardhi, man dzal ladziiyasy fa 'u 'indahu illaa biidznih, ya 'lamu maa baina aydiihim wa maa khalfahum, walaayuhiithuuna bisyai-in min'ilhimi illaa bimaa syaa-a, wasi'a kursiyuhus samaawaati wal ardhi, walaa yauuduhu hifzuhumaa wa huwal'aliyuul 'azhiim.

Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tertidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kerajaan Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dzikir-dzikir tersebut di atas boleh biasa digunakan setelah melakukan sOlat fardhu, atau dipilih beberapa diantaranya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Atau, boleh juga dzikir-dzikir yang lain, asalkan sesuai dengan malan Rasulullah SAW.

8. Do'a-do'a Sesudah SOlat

a. Allaahumma innii as-alukal jannah, Allahumma ajirnii minannaar (7x)

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon surga kepada-Mu, ya Allah, bebaskan aku dari siksa neraka.)

b. Allaahumma ashlih lii diiniyallati huwa 'ishamatu amrii, wa ashlih lii dunyayallatii ja'alta fiihaa ma'assyii

(Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang menjadi pegangan urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang padanya Engkau jadikan penghidupanku.)

c. Allaahumma 'aafinii fii badanii, Allaahumma 'aafinii fii sam'ii, Allaahumma 'aafinii fii basharii, Allaahumma innii a'uudzu bika minal kufri wal faqri, Allaahumma innii a'uudzu bika min 'adzaabil qabri, laa ilaaha illaa anta.

(Ya Allah, afiatkanlah badanku. Ya Allah, 'afiatkanlah pendengaranku. Ya Allah, 'afiatkanlah penglihatanku. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari siksa kubur, tidak ada Tuhan selain Engkau.)

d. Allaahumma inni a'uudzu bika minal bukhli, wa a'uudzu bika minal jubni, wa a'uudzu bika min an uradda ilaa ardzalil 'umur, wa a'uudzu bika min fitnatid dunya, wa a'uudzu bika min 'adzaa bil qabri.

(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan. Aku berlindung kepada-Mu dari seburuk-buruk usia. Aku berlindung kepada-Mu dari bencana dunia. Dan aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur.)

e. Allaahummaghfirli dzunuubii wa khathaayaayaa kullaahaa. Allaahumma 'isynii, wajburnii, wahdinii liahsanil a'maali wal akhlaaqi, innahu laa yahdi li ahsanihaa illa anta, washrif 'annii sayyi-ahaa innahu laa yashrifu sayyiahaa illa anta.

(Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahanku. Ya Allah, segarkanlah badanku, cukupilah aku, dan tuntunlah aku sebaik-baik amal dan akhlak, sesungguhnya tidak ada yang dapat menuntun kepada yang terbaik melainkan hanya Engkau, dan hindarkanlah aku dari seburuk-buruk amal, kerana sesungguhnya tidak ada yang dapat menghindarkanku dari seburuk-buruknya melainkan hanya Engkau.)

f. Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinika

(Ya Allah yang membolak-balikkan hati, mantapkanlah hatiku dalam memeluk agama-Mu.)

Doa-doa di atas boleh dibaca semuanya sesudah solat, atau dipilih di antara doa yang disukai dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Boleh juga membaca doa-doa yang lain, tentunya doa yang terbaik ialah yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. atau dari para Nabi Allah yang lain.

Bila ada keperluan dengan suatu hajat kepada Allah s.w.t. dan anda tidak mengerti doa aslinya, maka tidak ada salahnya berdoa dengan bahasa yang difahami sendiri.

Sebaiknya setiap berdoa jangan meninggalkan kesempatan buat mendoakan ibu dan bapa kita sebagai orang tua yang patut dihormati:

Rabbighfirlii wa liwaalidayyaa warhamnii warhamhumaakamaa rabbayaanii shaghiira.

(Oh Tuhan, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, kasihanilah aku dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku diwaktu kecil.)

Dianjurkan pula memintakan ampun bagi para sahabat, kaum keluarga serta kaum muslimin dan muslimat, khususnya orang-orang yang pernah berbuat baik kepada kita.

Lebih lanjut, Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan supaya kita membaca doa sesudah tahiyyat, sebelum salam, yang berbunyi:

Allaahummaghfirlii maa qaddamtu wama akhkharartu wa anta'alamu bihi minnii, antal muqaadimu wa antal muakhkhiru, laa ilaaha illaa anta.

(Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, dan apa-apa yang aku rahsiakan dan yang aku nyatakan. Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terakhir, tiada Tuhan selain Engkau.)

Dianjurkan sebagaimana diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Abdullah bin Mas'ud, supaya sesudah tahiyyat dan sebelum salam meminta kebajikan dunia dan akhirat.







Fardhu dan Sunnah Solat

Membedakan antara Perbuatan Fardhu dan Sunnah Shalat

Semua hal yang telah disebutkan senelum ini mencakup hal-hal yang fardhu (diwajibkan), sunnah (yang dianjurkan), adab dan hai-at (kesempurnaan bentuk). Orang yang ingin melintasi jalan akhirat (dengan aman dan benar) selayaknya memperhatikan itu semua.

Rukun-rukun shalat (Fardhu Solat)

1. Niat

2. Takbir

3. Berdiri

4. Membaca Al Fatihah

5. Menunduk dalam ruku', sehingga kedua telapak tangan mengentuh dua lutut.

6. Bertuma'ninah pada waktu ruku' dan sujud.Tumakninah ialah berhenti sejenak sehingga seluruh anggota tubuh menjadi tenang dan mantap sebelum melakukan gerakan berikutnya.

7. I'tidal (tegak kembali setelah ruku')

8. Sujud (dengan tuma'ninah)

9. Duduk kembali setelah sujud

10. Duduk untuk tasyahud akhir.

11. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w.

12. Salam yang pertama.

Adapun niat keluar dari solat (pada waktu telah selesai), tidaklah wajib. Demikian pula segala sesuatu, selain yang tersebut di atas, tidak wajib dikerjakan, tetapi hanya berupa sunnah serta hai-at.

Hal-hal yang Disunnahkan

Dikatakan sunnat atau sunnah, kerana ia baik untuk dikerjakan seperti teladan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. Bila hal tersebut tidak dikerjakan (ada halangan atau sengaja ditinggalkan), maka tidak akan berdosa atau membatalkan solatnya.

a. Sunnah-sunnah yang berupa perbuatan atau gerakan

1. Mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram

2. Melipat kedua belah tangan ke dada dengan meletakkan tangan kanan di atas yang kiri ketika berdiri membaca Al Fatihah.

3. Ketika bergerak untuk ruku, dan

4 Ketika berdiri kembali setelah ruku.

5. Meletakkan kedua telapak tangan pada kedua lutut ketika ruku.

6. Duduk untuk tasyahud pertama.

Adapun perincian cara membuka jari tangan dan batas mengangkatnya, semuanya itu termasuk hai-at (kesempurnaan bentu) yang bertalian dengan sunnah tersebut, yakni pada saat takbiratul ihram, ruku dan i'tidal. Demikian pula, cara duduk dalam tasyahud pertama dan terakhir (seperti telah diterangkan sebelum ini) adalah hai-at, bertalian dengan duduk dalam solat. Menundukkan kepala dan tidak mendongak ke kanan ke kiri termasuk hai-at, bertalian dengan fardhu berdiri dalam salat. Akan tetapi duduk istirahat (antara dua sujud), menurut Al Gazhali dalam buku "Rahsia-rahsia Solat" yang menjadi rujukan tulisan ini, tidak termasuk ke dalam pokok-pokok sunnah dan perbuatan-perbuatan solat. Sebab, duduk istirahat tersebut hanya merupakan semacam pelengkap dalam berpindah dari sujud ke berdiri. Kerana itu, tidak disebutkan secara khusus dalam pokok-pokok sunnah.

b. Sunnah-sunnah yang berupa bacaan dan doa

1. Membaca Doa iftitah (Yaitu do'a sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca Al Fatihah).

2. Membaca Ta'awwudz (a'uudu billaahi minasy syaithaanir rajiim, sebelum membaca Al Fatihah).

3.Mengucapkan amiin selesai membaca Al Fatihah.

4. Membaca surah-surah atau ayat-ayat dari Al Quran sesudah Al Fatihah. Selain itu, mengeraskan bacaan Al Fatihah dan ayat-ayat atau surah-surah pada rakaat pertama dan kedua pada shalat Maghrib, Isya, Subuh dan Solat Jum'at (termasuk sunat muakkad) juga merupakan sunnah.

5. Mengucapkan takbir-takbir perpindahan (dari satu rukun shalat ke rukun shalat lainnya). Yaitu "Allahu Akbar" ketika akan berpindah gerakan atau sikap dalam shalat, kecuali ketika bangun dari ruku,.

6. Membaca tasbih dalam ruku' dan sujud, serta doa i'tidal dari ruku dan sujud.

7. Membaca tasyahud pertama.

8. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w. pada tasyahud pertama.

9. Membaca doa setelah tasyahud akhir

10. Membaca salawat Ibrahimiyah pada tahiyyat akhir. Yaitu

11. Salam yang kedua.

Sujud Sahwi

Semua yang tersebut di atas, kendati dihimpun ke dalam istilah "sunnah", namun, masing-masing memiliki tingkatan yang berbeza, mengingat empat diantaranya, bila tidak dikerjakan kerana lupa, boleh diganti dengan sujud sahwi. Sujud sahwi artinya sujud kerana terlupa mengerjakan sesuatu yang sunnah atau hal yang salah lainnya tanpa sengaja. Umpamanya lupa mengerjakan tahiyyat awal, lupa membaca ayat atau surat pada rakaat pertama atau kedua, lupa tentang bilangan solat dan sebagainya. Menurut Al Gazhali, empat hal yang dapat digantikan dengan melakukan sujud sahwi tersebut yaitu satu di antaranya termasuk perbuatan dan tiga lainnya termasuk bacaan.

Yang termasuk perbuatan ialah duduk (setelah dua kali sujud pada rakaat kedua solat Zhuhur, Asar, Maghrib dan Isya') untuk membaca tasyahud. Duduk seperti ini berpengaruh pada susunan bentuk solat bagi siapa yang menyaksikannya. Sebab, dengan itu, dapat diketahui apakah solat tersebut ruba'iyyah (terdiri atas empat rakaat) atau bukan. Tidak seperti sunnah mengangkat tangan ketika takbir, misalnya, sebab hal itu tidak mempengaruhi susunan bentuk solat. Itu pula sebabnya, sunnah ini (yakni duduk untuk tasyahud pertama) disebut ba'dh (kata tunggal dari ab'adh) yang bererti bagian. Apabila seseorang tidak mengerjakan ab'adh, dianjurkan dengan sangat agar ia menggantinya dengan sujud sahwi.

Adapun bacaan-bacaan sunnah dalam solat, semuanya tidak digantikan dengan sujud sahwi, kecuali tiga (yaitu yang termasuk ab'adh):

1. Qunut

2. Bacaan tasyahud pertama

3. Salawat untuk Nabi Muhammad s.a.w. pada tasyahud pertama.

Tidak termasuk di dalamnya takbir-takbir perpindahan (dari satu ruku ke ruku lainnya), bacaan-bacaan dalam ruku, sujud dan i'tidal dari kedua-duanya. Hal ini disebabkan ruku dan sujud adalah gerakan yang memiliki bentuk khas, berbeda dengan gerakan-gerakan biasa. Dengan mengerjakannya, dapat diperoleh makna ibadah, walaupun tanpa membaca zikir apa pun dan tanpa takbir-takbir perpindahan. Tanpa zikir-zikir itu pun, bentuk ibadah shalat - dengan melakukan gerakan ruku' dan sujud - tetap tidak akan batal atau hilang. Lain halnya dengan duduk untuk bertasyahud pertama. Ia tadinya merupakan gerakan biasa (yakni, yang juga dilakukan di luar solat). Tetapi, kini, sengaja diperpanjang untuk diisi dengan bacaan tasyahud. Maka, meninggalkannya akan menimbulkan perubahan cukup besar dalam susunan bentuk solat.

Sebaliknya, meninggalkan bacaan doa istiftah, atau pun surah, tidak menimbulkan perubahan, mengingat bahawa rukun berdiri dalam solat telah cukup diisi dengan bacaan Al Fatihah, sehingga dapat dibezakan dengan berdiri secara biasa. Dengan alasan itu pula, bacaan doa setelah tasyahud terakhir tidak digantikan dengan sujud sahwi.

Bacaan qunut pun, pada dasarnya, tidak layak digantikan dengan sujud sahwi, namun, disyariatkannya perpanjangan ruku i'tidal, pada solat Subuh, adalah semata-mata untuk diisi dengan bacaan do'a qunut itu. Maka, sama halnya seperti rukun duduk untuk tasyahud pertama. Ia adalah perpanjangan dari duduk istirahat, guna diisi dengan bacaan tasyahud.

Cara melakukan Sujud Sahwi

Sujud sahwi dilakukan pada penghujung rakaat yang terakhir, yaitu sesudah tahiyyat dan sebelum salam. Bersujud sambil mengucapkan "Allaahu Akbar" dan dalam sujud membaca:

Subhaanalladzi laa yanaamu walaa yansaa (3x)

"Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa"

Bila yang terlupakan itu salah satu rukun soalat, yang tidak bisa dibetulkan seketika, maka solatnya tidak sah, dan solatnya harus diulang kembali. Tetapi bila yang terlupakan itu rakaat, misalnya solat Isya yang mestinya 4 rakaat , hanya 3 rakaat, maka sesudah memberi salam, tanpa diselingi dengan atau perbuatan lain, segeralah ia berdiri dan tambahlah rakaat yang tertinggal itu. Rakaat tersebut tetap diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, kemudian anda lengkapi dengan sujud sahwi.

Bila di dalam solat timbul keraguan tentang jumlah rakaat maka ambillah jumlah rakaat yang sedikit lalu yakinlah dengan itu (Misalnya bila kita lupa apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka ambilah keputusan bahawa itu rakaat yang ketiga. Lalu lanjutkan solat dan tambahkan yang kurang).

Terlupa Mengerjakan Solat

Bila seseorang terlupa mengerjakan solat, baik kerana tertidur atau kerana lain hal, maka hendaklah ia segera mengerjakannya seketika tersedar. Misalnya, kerana ketiduran, sehingga waktu solat subuh sudah habis. Maka ketika ia terbangun, segeralah berwudhu dan tunaikanlah solat subuhnya. Solat tersebut bukan qadha (membayar hutang), tetapi solat dengan sesungguhnya. Allah s.w.t. akan memaafkan kerana ia terlupa. Begitu pula bila peristiwa serupa lainnya terjadi secara tidak sengaja.

Sujud Tilawah

Sujud Tilawah dapat dilakukan apabila seseorang membaca ayat Al Qur'an dan tiba pada tempat-tempat yang dianjurkan bersujud, baik dalam solat atau diluar solat. Dalam sujud dianjurkan membaca:

Sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wasyaqqa sam'ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi.

"Aku bersujud kepada Allah yang menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya".

Bila sujud tilawah dilakukan di luar solat, pembaca ayat yang ditentukan melakukan sujud Tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa baginya.

Bila dalam solat berjamaah dan Imam bersujud Tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukan sebagai anggota solat berjamaah.





TATA CARA SHALAT NABI MUHAMMAD

TIGA MASALAH PENTING DALAM SHALAT (1)

Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz



Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba`du:

Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membaca-Nya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:



“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari).

Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:

1. Menyempurnakan wudlu;

(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki…” (Al-Ma’idah: 6).

dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan.” (HR. Muslim ).

Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:



“Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu”.



2. Menghadap ke kiblat:

Yaitu Ka`bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para sahabat. Disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.



3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak

sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.

4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir hingga sejajar dengan kedua pundak

atau sejajar dengan kedua telinganya.

5. Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,

Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri, atau pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha’iy yang ia riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu.

6. Disunnahkan membaca do’a istiftah:



“Ya Allah, jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran; Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju” (Muttafaq `alaih yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).

Boleh juga membaca do’a yang lain sebagai gantinya, seperti:



“ Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau“.

Karena do’a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca do’a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam).

Kemudian membaca:



“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk ” “Dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang“.

Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca Surat Al-Fatihah “, dan sesudah itu membaca “Amin” secara jelas (nyaring) dalam shalat jahriyah, dan sirr (tersembunyi) dalam shalat sirriyah.

Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan shalat dzuhur

7. Ruku` sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar

dengan kedua pun-dak atau kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma’ninah di saat ruku` dan mengucapkan:



“Maha suci RabbKu Yang Maha Agung”

Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:



“Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku”.

8. Mengangkat kepala dari ruku’,

sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga

sambil membaca:



“Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”.

baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di saat berdiri mengucapkan:



“Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki kelak”.

Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do’a:



“ Pemilik puja dan puji, ucapan yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami adalah hamba bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi orang yang memiliki kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan”.

Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits shahih.

Adapun jika ia sebagai ma’mum, maka di saat mengangkat kepala membaca:



“Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an“… hingga akhir bacaan di atas.

Dan dianjurkan meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada saat berdiri sebelum ruku`, karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari Wa’il bin Hujr dan Sahal bin Sa`ad radhiyallahu ‘anhu.

9. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak tangan ke qiblat, dengan posisi jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do’a:



“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.” tiga kali atau lebih:

Dianjurkan pula membaca:



“Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku “.

Dan memperbanyak do’a, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo’a, sebab layak untuk diterima bagi kalian.”

Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:



“ Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do’a.”

Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.

Hendaknya (diwaktu sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya dan untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnah. Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



“ Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya.” (Muttafaq `alaih).

10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,

bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan

kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:



“Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku, belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku kesehatan dan tutupilah kekuranganku.”

Hendaknya thuma’ninah (berhenti sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar berada pada posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i`tidal sebelum ruku`, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i`tidalnya sesudah ruku` dan ketika duduk di antara dua sujud.

11. Sujud yang kedua sambil bertakbir,

dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.

12. Mengangkat kepala (bangun) sambil bertakbir,

dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do’a.

Lalu bangkit dan berdiri untuk melakukan raka`at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika memungkinkan, dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas lantai, kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan pada raka`at yang pertama. Tidak boleh bagi seorang ma’mum menda-hului imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari tindakan seperti itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi ma`mum, gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak berbarengan, dan harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



“ Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia ruku` maka ruku`lah kalian, dan apabila ia membaca: “Sami`allahu liman hamidah”, maka bacalah: “Rabbana wa lakal-hamdu”, dan apabila ia sujud, maka sujudlah kalian” (Muttafaq `alaih).

13. Jika shalat itu adalah shalat dua raka`at, seperti shalat Subuh, shalat Jum`at dan shalat `Id, maka duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu pada kaki kiri, tangan kanan diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdo’a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk lingkaran dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali, karena kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara yang kedua pada saat yang lain. Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas (ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:



Kemudian dilanjutkan dengan membaca:



Lalu memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:

Kemudian berdo’a, memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo`a untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu shalat wa-jib ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliu bersabda:



“Kemudian hendaknya ia memilih do`a yang lebih disukai, lalu berdo`a”

Do`a yang disebutkan dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan dan salam dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:

14. Jika shalat yang dikerjakan adalah tiga raka`at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka`at, seperti shalat Zhuhur, `Ashar dan Isya’, maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut di atas dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian bang-kit dengan bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak dan membaca Allahu Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan di atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.

Jika ia membaca surah atau ayat pada raka`at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari Abu Sa`id radhiyallahu ‘anhu.

Dan jika tidak membaca shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena hukumnya sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah raka`at ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah raka`at keempat dari shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’, berikut dengan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan dan kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo`a.

Dan di antara do`a yang diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam kesempatan-kesempatan lainnya adalah:



“ Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api Neraka”.

Karena ada hadits shahih yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:



Kebanyakan dari do`a-do`a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.

Sebagaimana telah disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka`at, hanya saja posisi duduk saat ini adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukkan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan: dan salam ke kiri seraya mengucapkan:

Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah tiga kali, membaca:



“Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMu-lah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya kecuali kemuliaan itu dari Engkau. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya; kepunyaanNya lah kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya sekalipun orang-orang kafir tidak suka”.

Kemudian bertasbih (mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:



“Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Lalu membaca ayat Kursi, Surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai shalat. Dan dianjurkan (disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di atas, terutama setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:



“Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Semua itu berdasarkan hadits shahih dari Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik menghadap para ma’mum sesudah beristighfar 3 kali dan mengucapkan:



“Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan”.

Kemudian membaca dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits shahih yang dari `Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah, tidak wajib.

Disunnahkan pula bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat Maghrib, 2 raka`at sesudah Isya dan 2 raka`at sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka`at, yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya melakukan shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim maupun di waktu bepergian. Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik”. (Al-Ahzab: 21).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.(HR. Bukhari).

Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib.” (Hadits ini disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim)

Menjaga shalat rawatib dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk Surga, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah radhiyallahu ‘anhu sesungguh-nya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



“Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka`at selain dari shalat wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga.”

Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan) hadits di atas sebagaimana yang kami sebutkan tadi.

Jika ia melakukan 4 raka`at sebelum shalat Ashar, 2 raka`at sebelum Maghrib, dan dua raka`at sebelum shalat Isya`, maka itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka`at sebelum Ashar“. (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah, sanad hadits tersebut shahih).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“ Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki.” (HR. Al-Bukhari)

Dan jika shalat 4 raka`at setelah shalat Zhuhur dan 4 raka`at sebelumnya, maka itu pun baik pula, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Barangsiapa yang menjaga 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 4 raka`at sesudahnya, maka ia diharamkan oleh Allah atas api Neraka.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih dari Ummi Habi-bah radhiyallahu ‘anhu)

Maksudnya adalah, ia menambah 2 raka`at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka`at sebelumnya dan 2 raka`at sesudahnya. Maka jika ia melakukan dua rak`at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah tersebut.

Dan Allahlah Pemberi taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan para shahabatnya serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.

Kalau mau download filenya (yang ada bacaan tulisan arabnya) Klik di Sini

ADVERTISEMENT

TIGA MASALAH PENTINGTENTANG SHALAT

Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

RISALAH PERTAMA

TATA CARA SHALAT NABI MUHAMMAD

Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba`du:

Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membaca-Nya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:



"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari).

Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:

1. Menyempurnakan wudlu;

(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki..." (Al-Ma'idah: 6).

dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:



"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan." (HR. Muslim ).

Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:



"Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu".



2. Menghadap ke kiblat:

Yaitu Ka`bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para sahabat. Disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.



3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak

sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.

4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir hingga sejajar dengan kedua pundak

atau sejajar dengan kedua telinganya.

5. Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,

Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri, atau pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits yang bersumber dari Wa'il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha'iy yang ia riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu 'anhu.

6. Disunnahkan membaca do'a istiftah:



"Ya Allah, jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran; Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju" (Muttafaq `alaih yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).

Boleh juga membaca do'a yang lain sebagai gantinya, seperti:



" Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau".

Karena do'a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca do'a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam).

Kemudian membaca:



"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk " "Dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".

Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca Surat Al-Fatihah ", dan sesudah itu membaca "Amin" secara jelas (nyaring) dalam shalat jahriyah, dan sirr (tersembunyi) dalam shalat sirriyah.

Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur'an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya' dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan shalat dzuhur

7. Ruku` sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar

dengan kedua pun-dak atau kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma'ninah di saat ruku` dan mengucapkan:



"Maha suci RabbKu Yang Maha Agung"

Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:



"Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku".

8. Mengangkat kepala dari ruku',

sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga

sambil membaca:



"Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya".

baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di saat berdiri mengucapkan:



"Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki kelak".

Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do'a:



" Pemilik puja dan puji, ucapan yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami adalah hamba bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi orang yang memiliki kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan".

Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu ada dasarnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam beberapa hadits shahih.

Adapun jika ia sebagai ma'mum, maka di saat mengangkat kepala membaca:



"Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an"... hingga akhir bacaan di atas.

Dan dianjurkan meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada saat berdiri sebelum ruku`, karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari Wa'il bin Hujr dan Sahal bin Sa`ad radhiyallahu 'anhu.

9. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak tangan ke qiblat, dengan posisi jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do'a:



"Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi." tiga kali atau lebih:

Dianjurkan pula membaca:



"Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku ".

Dan memperbanyak do'a, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:



"Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sebab layak untuk diterima bagi kalian."

Dan juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:



" Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do'a."

Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.

Hendaknya (diwaktu sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya dan untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnah. Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



" Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya." (Muttafaq `alaih).

10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,

bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan

kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:



"Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku, belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku kesehatan dan tutupilah kekuranganku."

Hendaknya thuma'ninah (berhenti sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar berada pada posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i`tidal sebelum ruku`, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i`tidalnya sesudah ruku` dan ketika duduk di antara dua sujud.

11. Sujud yang kedua sambil bertakbir,

dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.

12. Mengangkat kepala (bangun) sambil bertakbir,

dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do'a.

Lalu bangkit dan berdiri untuk melakukan raka`at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika memungkinkan, dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas lantai, kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan pada raka`at yang pertama. Tidak boleh bagi seorang ma'mum menda-hului imam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang umatnya dari tindakan seperti itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi ma`mum, gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak berbarengan, dan harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



" Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia ruku` maka ruku`lah kalian, dan apabila ia membaca: "Sami`allahu liman hamidah", maka bacalah: "Rabbana wa lakal-hamdu", dan apabila ia sujud, maka sujudlah kalian" (Muttafaq `alaih).

13. Jika shalat itu adalah shalat dua raka`at, seperti shalat Subuh, shalat Jum`at dan shalat `Id, maka duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu pada kaki kiri, tangan kanan diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu 'alaihi wasallam dan berdo'a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk lingkaran dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali, karena kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara yang kedua pada saat yang lain. Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas (ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:



Kemudian dilanjutkan dengan membaca:



Lalu memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:



Kemudian berdo'a, memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo`a untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu shalat wa-jib ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu 'anhu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliu bersabda:



"Kemudian hendaknya ia memilih do`a yang lebih disukai, lalu berdo`a"

Do`a yang disebutkan dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan dan salam dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:



14. Jika shalat yang dikerjakan adalah tiga raka`at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka`at, seperti shalat Zhuhur, `Ashar dan Isya', maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut di atas dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian bang-kit dengan bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak dan membaca Allahu Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan di atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.

Jika ia membaca surah atau ayat pada raka`at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits shahih yang menunjukkan hal tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang bersumber dari Abu Sa`id radhiyallahu 'anhu.

Dan jika tidak membaca shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena hukumnya sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah raka`at ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah raka`at keempat dari shalat Zhuhur, Ashar dan Isya', berikut dengan shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan dan kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo`a.

Dan di antara do`a yang diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam kesempatan-kesempatan lainnya adalah:



" Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api Neraka".

Karena ada hadits shahih yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



Kebanyakan dari do`a-do`a Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.

Sebagaimana telah disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka`at, hanya saja posisi duduk saat ini adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukkan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan: dan salam ke kiri seraya mengucapkan:

Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah tiga kali, membaca:



"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMu-lah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya kecuali kemuliaan itu dari Engkau. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya; kepunyaanNya lah kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya sekalipun orang-orang kafir tidak suka".

Kemudian bertasbih (mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:



"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Lalu membaca ayat Kursi, Surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai shalat. Dan dianjurkan (disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di atas, terutama setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:



"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Semua itu berdasarkan hadits shahih dari Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik menghadap para ma'mum sesudah beristighfar 3 kali dan mengucapkan:



"Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan".

Kemudian membaca dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits shahih yang dari `Aisyah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah, tidak wajib.

Disunnahkan pula bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat Maghrib, 2 raka`at sesudah Isya dan 2 raka`at sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka`at, yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya melakukan shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim maupun di waktu bepergian. Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik". (Al-Ahzab: 21).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat".(HR. Bukhari).

Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib." (Hadits ini disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim)

Menjaga shalat rawatib dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk Surga, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah radhiyallahu 'anhu sesungguh-nya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka`at selain dari shalat wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga."

Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan) hadits di atas sebagaimana yang kami sebutkan tadi.

Jika ia melakukan 4 raka`at sebelum shalat Ashar, 2 raka`at sebelum Maghrib, dan dua raka`at sebelum shalat Isya`, maka itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka`at sebelum Ashar". (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah, sanad hadits tersebut shahih).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



" Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki." (HR. Al-Bukhari)

Dan jika shalat 4 raka`at setelah shalat Zhuhur dan 4 raka`at sebelumnya, maka itu pun baik pula, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Barangsiapa yang menjaga 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 4 raka`at sesudahnya, maka ia diharamkan oleh Allah atas api Neraka." (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih dari Ummi Habi-bah radhiyallahu 'anhu)

Maksudnya adalah, ia menambah 2 raka`at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka`at sebelumnya dan 2 raka`at sesudahnya. Maka jika ia melakukan dua rak`at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah tersebut.

Dan Allahlah Pemberi taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu 'alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan para shahabatnya serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.



RISALAH KEDUA

KEHARUSAN MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU

DENGAN BERJAMA`AH



Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditujukan kepada siapa saja yang melihat buku ini dari kaum muslimin ..

Semoga Allah memberi mereka taufiq terhadap segala hal yang mengandung keridhaanNya, dan semoga Dia menghimpunku dan mereka dalam himpunan orang-orang yang takut dan bertaqwa kepadaNya. Amin.

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, waba`du:

Telah sampai berita kepadaku bahwasanya banyak kaum muslimin yang mengabaikan dalam melakukan shalat wajib secara berjama`ah, mereka berdalih dengan pendapat sebagian ulama yang menggampangkan hal ini. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan betapa besarnya permasalahan ini dan betapa sangat penting; dan tidak diragukan lagi bahwa mengabaikan shalat berjamaah adalah suatu kemungkaran yang sangat besar dan bahayanya pun fatal. Maka tugas dan kewajiban para ulama adalah memberikan penjelasan dan peringatan, terhadap pengabaian tersebut yang merupakan kemungkaran nyata, yang tidak boleh didiamkan.

Dan sudah dimaklumi bersama, bahwasanya tidaklah layak bagi seorang muslim menganggap remeh suatu perkara yang kedudukannya dimuliakan oleh Allah di dalam Kitab Sucinya, dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam.

Berulang kali Allah Ta'ala menyebutkan shalat di dalam Kitab Sucinya, Dia tinggikan kedudukannya, Dia perintahkan agar memelihara dan melaksanakan-nya dengan berjama`ah. Dan Dia peringatkan bahwa meremehkan dan bermalas-malasan dalam melaku-kannya merupakan ciri (sifat) orang-orang munafiq, sebagaimana firmanNya:

Peliharalah segala shalat (mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (Al-Baqarah; 238).

Dan bagaimana manusia akan mengetahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, padahal ia telah meninggalkan shalat berjama`ah bersama-sama suadara-saudaranya (kaum muslimin) dan menganggap remeh kedudukannya. Padahal Allah telah berfirman:

"Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku`. (Al-Baqarah: 43)

Ayat di atas secara tegas menjelaskan kewajiban melakukan shalat wajib dengan berjama`ah dan me-nyertai shalat orang-orang yang shalat; dan sekiranya yang dimaksud oleh ayat tersebut hanya menegak-kannya saja, maka tidak jelaslah korelasi gamblang pada ujung ayat (dan ruku`lah kalian bersama-sama orang-orang yang ruku`), karena Allah telah mem-erintahkan agar menegakkannya pada awal ayat.

Dan Dia pun berfirman:

"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah me-reka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendiri-kan shalat bersama-sama mereka, maka hendak-lah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apa bila mereka(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hen-daklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. (An-Nisa': 102).

Pada ayat di atas Allah mewajibkan shalat berjama`ah dalam kondisi perang dan penuh keta-kutan, maka bagaimana dalam kondisi damai? Kalau sekiranya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama`ah, niscaya para tentara yang berbaris menghadang musuh dan orang-orang yang terancam serangan musuh itu lebih berhak untuk diperboleh-kan meninggalkan shalat berjama`ah. Oleh karena hal itu tidak terjadi (Baca: tidak diperbolehkan mening-galkan shalat berjama`ah), maka dapat kita ketahui bahwa shalat berjama`ah itu termasuk kewajiban yang sangat penting, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun meninggalkannya.

Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim ter-dapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Ra-sulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Sungguh, aku telah bertekad untuk menyuruh (para shahabat) melakukan shalat, dan aku suruh seseorang untuk mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama`ah, untuk membakar rumah mereka dengan api. (Al-Hadits).

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Kalau sekiranya tidak karena istri-istri dan anak-anak berada di dalam rumah mereka, niscaya aku bakar rumah mereka."

Di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama`ah (di masa kami) kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau orang sakit. Padahal ada di antara yang sakit berjalan de-ngan diapit oleh dua orang untuk mendatangi shalat berjama`ah".

Dan dia juga berkata:



" Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah agama, dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya".

Dan di dalam Shahih Muslim juga dia berkata:



"Barangsiapa yang ingin berjumpa Allah di kemudian hari dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat lima waktu ini dengan melakukannya dimana saja ada seruan adzan, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan (mensyari`atkan) jalan-jalan menuju hidayah (petunjuk-petunjuk agama), dan sesungguhnya melakukan shalat lima waktu dengan berja-ma'ah adalah termasuk jalan-jalan menuju hidayah. Maka sekiranya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang lalai melakukannya di rumah, maka berarti kalian te-lah meninggalkan sunnah (ajaran) nabi kalian, dan jika kalian meninggalkan sunnah nabi kali-an, niscaya kalian sesat. Dan tiada seseorang bersuci (berwudhu), lalu melakukannya dengan baik (sempurna), kemudian ia datang ke salah satu masjid dari masjid-masjid yang ada ini, melainkan Allah mencatat baginya satu keba-jikan untuk setiap langkah yang ia ayunkan, dan Dia mengangkatnya satu derajat karena langkah itu, serta Dia hapuskan dari padanya satu dosa. Sesungguhnya, kami telah menyaksikan, bahwa tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah (di masa kami), kecuali orang munafiq yang sudah jelas kemunafikannya. Dan sesungguhnya ada orang yang diapit oleh dua orang menuju masjid hingga didirikan di shaf."

Di dalam shahih Muslim juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang buta yang berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: Apakah kamu mendengar seruan adzan? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi bersabda: Kalau begitu penuhi seruan itu."

Dan juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:



"Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, lalu ia tidak datang (memenuhi seruan shalat berjama`ah itu), maka tidak sah shalatnya, kecuali karena ada udzur".

Suatu ketika Ibnu Abbas ditanya: Apa udzur itu? Ia menjawab: Takut (serangan musuh) atau sakit.

Dan hadits-hadits yang menunjukkan tentang kewajiban shalat berjama`ah dan kewajiban melaku-kannya di masjid-masjid yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan namaNya, sangat banyak sekali. Maka kewajiban setiap muslim adalah mem-perhatikan masalah ini dan segera melakukannya serta menganjurkan dan menasihati anak-anak, keluarga dan para tetangga serta saudara-saudaranya yang seiman untuk melakukan perkara ini, sebagai ketaatan kepada perintah Allah dan RasulNya, dan supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dan jauh dari sifat-sifat orang-orang munafiq yang dinyatakan oleh Allah dengan sifat-sifat yang tercela, yang di antaranya adalah kela-laian mereka dalam melakukan shalat. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidak-lah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini(orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu(orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. (An-Nisa': 142-143)

Dan sesungguhnya meninggalkan shalat ber-jama`ah merupakan penyebab utama dari pengabaian pelaksanaan shalat secara keseluruhan.

Sudah dimaklumi bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekafiran dan kesesatan serta keluar dari Islam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim di da-lam kitab Shahihnya bersumber dari Jabir radhiyallahu 'anhu)

Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir". (HR. Imam Ahmad dan Ashabus sunan dengan sanad shahih).

Ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjelaskan tentang kedudukan shalat, kewajib-an memeliharanya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari`atkan Allah serta peringatan keras terha-dap pengabaiannya sangat banyak. Maka kewajiban setiap muslim adalah memelihara (pelaksanaan)nya tepat pada waktunya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari`atkan Allah bersama saudara-saudaranya di masjid-masjid, sebagai tanda kepatuhan kepada Allah Ta'ala dan rasulNya, dan agar terhindar dari murka Allah dan kepedihan adzabNya.

Dan apabila kebenaran dan dalil-dalinya telah jelas, maka tidak boleh bagi seorang pun menyim-pang darinya karena pendapat si Fulan atau si Fulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat ten-tang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa': 59)

Dan firmanNya:

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).

Sudah tidak diragukan lagi bahwa shalat berja-a`ah itu mengandung faidah yang sangat banyak dan maslahat yang sangat jelas di antaranya adalah saling mengenal (ta`aruf ), saling menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, memberi dorongan kepada orang yang lalai, mengajar orang yang bodoh, mem-bongkar kemarahan orang-orang munafiq dan men-jauhi jalan mereka, menampakkan syi`ar-sy`iar agama kepada segenap hamba-hambaNya, berdakwah di jalan Allah dengan lisan amal, dan faidah lain yang masih banyak.

Sebagian orang ada yang bergadang di malam hari sehingga terlambat melakukan shalat Subuh, dan sebagian lagi ada yang meninggalkan shalat Isya`. Tentu, hal seperti itu merupakan kemungkaran besar dan tasyabbuh (meniru perbuatan) orang-orang munafiq, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditem-patkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan men-dapat seorang penolong pun bagi mereka. (An-Nisa: 145).

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sa-ma, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma`ruf, dan mereka menggenggamkan tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasiq. Allah mengancam orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah Neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka adzab yang kekal. (At-Taubah 67-68).

Dan Allah berfirman tentang mereka:

"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain-kan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak pula menaf-kahkan harta mereka, melainkan dengan rasa enggan. Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan memberi harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah-54-55).

Maka wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan waspada dari menyerupai (meniru-niru) orang-orang munafiq baik perbuatan, perkataan dan kemalasan mereka dalam menunaikan shalat dan pengabaian mereka dalam melakukan shalat Isya` dan Subuh dengan berjama`ah, agar tidak dihimpun ber-sama mereka.

Dalam riwayat hadits shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ber-sabda:



" Shalat yang paling berat menurut orang-orang munafiq adalah shalat Isya` dan shalat Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ter-kandung pada keduanya, niscaya mereka akan datang untuk melakukannya (secara berja-ma`ah) sekalipun dengan merangkak". (Muttafaq alaih).

Dan sabdanya:



"Barangsiapa meniru-niru (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka". (HR. Imam Ahmad, bersumber dari Abdullah bin Umar shallallahu 'alaihi wasallam dengan sanad hasan).

Semoga Allah memberi taufiq kepadaku dan kepada pembaca menuju keridhaanNya dan kebaikan di dunia dan akhirat, dan semoga Dia melindungi kita dari kejahatan nafsu, amal-amal buruk kita dan dari perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir dan munafiq. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.



RISALAH KETIGA

HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT



Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi dan rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para shahabatnya, wa ba`du:

Berikut ini adalah uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat bagi orang sakit.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap shalat, karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh, pakaian atau tempat shalat, keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat sahnya shalat. Maka apabila seorang muslim hendak melakukan shalat, ia wajib berwudhu (bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia berhadats besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja' (bersuci) dengan air atau beristijmar dengan batu jika kencing atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.

Dan berikut ini uraian tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:

Bersuci dengan air dari apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak adalah wajib.

Dan tidak diwajibkan (kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang wajib baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja' itu disyari`atkan untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur dan keluar angin itu tidak ada najis.

Istijmar adalah pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu yang serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah batu yang suci dan bersih, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits shahihnya bersabda:



"Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya".

Dan beliu juga bersabda:



"Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya" (HR. Abu Daud).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari tiga batu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tidak boleh beristijmar dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang haram.

Afdhalnya adalah beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan materi najis, sedangkan air mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini lebih suci.

Seseorang boleh memilih antara beristinja' dengan air atau beristijmar dengan batu dan benda yang serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.

Dari Anas radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata:

"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah masuk ke jamban, dan aku bersama anak sebaya denganku memba-wa bejana berisi air dan tongkatnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beristinja dengan air itu". (Muttafaq alaih).

Dan dari `Aisyah radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang: "Suruhlah suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku malu kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu 'anhu selalu melakukannya". Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih".

Apabila memilih salah satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat (najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam membersihkan. Dan seandainya memilih bersuci dengan mengguna-kan batu, maka boleh dengan syarat menggunakan tiga batu yang dapat membersihkan tempat (najis).

Jika tiga batu tidak cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan".

Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena Salman berkata di dalam haditsnya:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan tangan kanan".

Dan beliau bersabda:



" Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing, dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan".

Jika tangannya patah atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya, istijmar dan istinja dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih sempurna.

Ajaran Islam (Syari`at Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam peribadatan sesuai dengan udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya tanpa kesulitan. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj: 78).

Dan firmanNya:

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu". (Al-Baqarah: 185).

Dan firmanNya:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun:16).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian".

Dan beliau juga bersabda:



"Sesungguhnya agama itu mudah".

Orang sakit, apabila ia tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh ber-tayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan telapak tangannya; karena Allah berfirman:

"Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah itu. (Al-Ma`idah: 6).

Orang yang tidak mampu menggunakan air kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang yang tidak memperoleh air, karena firman Allah Ta'ala:

"Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut ke-mampuan kalian". (At-Taghabun: 16).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir:



"Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sam-bil menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya.

Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah bersih yang berdebu.

Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya".

Ada beberapa kondisi orang sakit dalam hal bersuci:

1. Apabila sakitnya ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan air, atau penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses penyembuhannya, atau tidak menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius seperti pusing, sakit gigi atau penyakit lainnya yang serupa; atau orang sakit itu masih dapat mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka dalam kondisi seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu dibolehkan untuk menghindari bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang membahayakan; dan karena ia juga memperoleh air. Dengan demikian, ia wajib meng-gunakan air.

2. Jika ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan akan timbulnya penyakit lain yang dapat membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan hilang-nya manfa`at, maka dalam kondisi seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, se-sungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu". (An-Nisa': 29).

3. Jika ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada orang yang mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi-nya bertayamum. Kalau dia tidak dapat bertayamum, maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika tubuh, pakaian atau tempat tidurnya terkena najis, sementara ia tidak mampu menghilangkan atau bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat dalam keadaan seperti itu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menu-rut kemampuan kalian".

Dan tidak boleh baginya menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.

4. Bagi orang yang luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat mem-bahayakan dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum, karena dalil-dalil di atas; akan tetapi jika ia memungkinkan untuk mencuci bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian itu wajib dan bagian yang lain disucikan dengan tayamum.

5. Apabila si sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada orang yang mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau tayamum), dan tidak ada alasan baginya untuk menunda waktu shalat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan kalian".

6. Bagi orang yang menderita penyakit beser (kencing terus menerus) atau pendarahan yang terus-menerus atau selalu buang angin, sedangkan pengobatan tidak pernah menyembuhkannya, maka ia wajib berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk waktu, dan mencuci bagian tubuh atau pakaian yang terkena kotorannya, atau memakai pakaian bersih pada setiap kali shalat, jika hal itu memungkinkan; sebab Allah telah berfirman:

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj: 78).

Dan firmanNya:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian". (Al-Baqarah: 185).

Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Apabila aku perintah kalian melakukan suatu perkara, maka lakukanlah ia menurut kemam-puan kalian".

Dan hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk mencegah tersebarnya air seni atau darah ke pakaian, tubuh atau tempat shalatnya.

Dan diperbolehkan baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan shalat sunnat apa saja atau membaca Al-Qur`an. Lalu apabila waktu telah habis, wajib berwudhu' lagi atau ber-tayamum jika tidak dapat berwudhu', karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh wanita yang menderita istihadhah (keluar darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar berwudhu' pada setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang keluar pada waktu itu tidak apa-apa asalkan ia berwudhu' sesudah masuk waktu (shalat).

Jika pada anggota tubuh ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup mengusap di atas pembalut tersebut pada saat berwudhu' atau mandi dan mencuci bagian anggota yang lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota yang dibalut itu membahayakan, maka cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian yang tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.

Tayamum batal dengan setiap hal yang mem-batalkan wudhu' atau karena adanya kemampuan untuk menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak ada air. Wallahu a`lam.

TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT:

Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hen-daknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring mi-ring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telen-tang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada `Imran bin Hushain:



"Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring". (HR. Bukhari).

Dan Imam An-Nasa'i menambahkan:



"... lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang".

Dan barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku' dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisya-rat; karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"...Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu'.`". (Al-Baqarah: 238).

Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:

"Shalatlah kamu sambil berdiri".

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun: 16).

Dan jika pada matanya terdapat penyakit, se-mentara para ahli kedokteran yang terpercaya menga-takan: "Jika kamu shalat bertelentang lebih memu-dahkan pengobatanmu", maka boleh shalat telentang.

Barangsiapa tidak mampu ruku` dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku' dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`.

Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.

Jika ia tidak dapat membungkukkan pung-gungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semam-punya hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya.

Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat de-ngan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (ber-akal), karena dalil-dalil tersebut di atas.

Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau ber-isyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.

Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melaku-kan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikan-nya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Seba-gaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu". Lalu beliau mem-baca firman Allah: "dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu". (Thaha: 14).

Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keada-an bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunai-kan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedang-kan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:



"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia".

Dan sabdanya:

"Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah"

Begitu pula sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:

"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat" (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).

Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagai-mana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur'an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.

Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama' antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya', baik jama' taqdim maupun jama' ta'khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh mema-jukan Isya' bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya'. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama' dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.

Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia,

Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa,

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Dicopy dari :



Website “Yayasan Al-Sofwa”

Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)

Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26

www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id



Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!



1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13



14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26



27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38





CARA SEMBAHYANG







SEMBAHYANG SUBUH (DUA RAKAAT)





LELAKI - Menutup Aurat sekurang kurangnya dari Pusat hingga ke Lutut. PEREMPUAN - Menutup keseluruhan badan kecuali Muka dan Telapak Tangan.



BERDIRI BETUL (NIAT)

TAKBIRATUL IHRAM

BACA DO'A IFTITAH

AL-FATIHAH DAN SURAH

TAKBIR KERANA RUKUK







TUNDUK RUKUK

IKTIDAL DARI RUKUK

IKTIDAL SBL. SUJUD

SUJUD PERTAMA

DUDUK ANTARA DUA SUJUD







SUJUD KEDUA RAK. PERTAMA

AL-FATIHAH DAN SURAH

TAKBIR KERANA RUKUK RAK.2

RUKUK RAKAAT KE-2

IKTIDAL SELEPAS RUKUK







IKTIDAL SBL. QUNUT

MEMBACA DO'A QUNUT

SUJUD RAKAAT KEDUA

DUDUK ANTARA DUA SUJUD

SUJUD KEDUA RAK. KEDUA





'ISYAK, ZOHOR DAN ASAR EMPAT RAKAAT

BACA TAHIYAT AKHIR

BERI SALAM KE KANAN

BERI SALAM KE KIRI

MAGHRIB TIGA RAKAAT SUBUH DUA RAKAAT





PETUA KHUSYUK





Sebenarnya khusyuk dalam Solat adalah sangat-sangat dituntut seperti Firman Allah s.w.t:-



yang bermaksud “Telah berjayalah orang-orang yang beriman, iaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya”[Surah Al-Mukminun : ayat 1-2]. Firman-Nya lagi:-



"Peliharalah segala sembahyangmu dan peliharalah sembahyang utama (Asar, Subuh) dan berdirilah untuk Allah (melalui solatmu) dengan khusyuk" [Surah Al-Baqarah : ayat 238] dan ketahuilah, solat adalah ibadah utama yang akan dihisab terlebih dahulu di akhirat oleh Allah SWT, berbanding dengan amalan-amalan yang lain. Sekiranya solat seseorang itu dalam keadaan sempurna, maka barulah dihitung pula amalan yang lain. Firman Allah lagi:-



yang bermaksud : "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang solat, (iaitu) orang-orang yang lalai dari solatnya." [Surah Al-Ma'un : ayat 4-5]



Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud "Berapa banyak orang yang mendirikan solat, tetapi yang di perolehi hanya penat dan letih, kerana mereka itu lalai dalam sembahyangnya." Nabi s.a.w bersabda lagi yang bermaksud : "Tidak ada habuan bagi seseorang hamba dalam sembahyangnya kecuali sekadar mana yang ia ingat." Hadis lain dari Rasulullah s.a.w. "Aku selalu mengingati mati dalam sembahyang". serta "Apabila kamu sembahyang anggaplah sembahyang ini sembahyang perpisahan". Yang dikatakan khusyuk itu ialah hati sentiasa hidup, untuk mengekalkan sembahyang yang khusyuk, amalan berikut perlulah diamalkan dan diperhatikan oleh setiap orang yang mengerjakan sembahyang:



1. Menjaga makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain supaya datang dari punca yang halal tanpa syubhah.



2. Agar pemikiran tidak liar, sebelum solat lintaskan kematian seakan-akan amat hampir dengan kita serta solat tersebut merupakan sholat terakhir dan perlulah dijadikan yang terbaik.



3. Mendirikan sembahyang di awal waktu atau pertengahan waktu supaya tidak gopoh apakala masa hampir luput.



4. Membaca dengan baik (Khusnul Qori'ah), berusaha untuk memahami, mengerti bacaan dalam solat termasuk ayat Al-Quran yang dibacakan itu terutama sekali Al Fatihah, gerakan dan maknanya (Tafakhum). Ini kerana bacaan-bacaan dalam solat mengandungi banyak makna yang halus yang patut dimengertikan oleh orang yang melaksanakannya.



5. Rukun-rukun solat dilakukan secara tertib. Berusaha konsentrasi (Khudunul Kolbih), menyedari bahawa Allah memperhatikan sembahyang itu.



6. Rasa Malu (Haya') perasaan malu terhadap Allah s.w.t., rasa takut (Khauf) kepada kekuasaan Allah.



7. Berharap serta yakin (Optimis) Allah menerima solat dan amal kita.



8. Hati diajak hadir/ikut, kehadiran hati dalam solat iaitu mengosongkan hati dari segala urusan yang boleh mengganggu dan yang tidak berkaitan dengan solat.



9. Membesarkan Allah dalam solat, merasakan kehebatan Allah dalam solat.



10. Menggunakan sejadah yang tidak terlalu banyak gambar yang akan menghayalkan pemikiran.



11. Mendirikan sembahyang secara berjemaah.



12. Mengambil wuduk dengan sempurna.



13. Mengurangkan pergerakan anggota-anggota seperti tangan, kaki dan juga Mata ditumpukan kepada tempat sujud dan ketika tasahut melihat anak jari.



14. Azan dan iqamat terlebih dahulu walaupun mendirikan sembahyang bersendirian ataupun sekurang-kurangnya iqamat sahaja.



15. Ditegah bersembahyang dengan pakaian yang ada gambar, berwarna warni, bertulis, lukisan dan lain-lain kerana ia juga membuat orang lain hilang kekhusyukan ketika berjemaah.



Walau apapun syarat khusyu’ yang paling utama ialah kemantapan iman dalam diri terhadap Allah SWT. Oleh sebab itu, berusahalah untuk mengenali Allah dan memperteguhkan keimanan kepadaNya. Sebenarnya, khusyuk di dalam sembahyang bermula dari khusyuk di luar sembahyang. Kalau di luar sembahyang hati tidak khusyuk dengan Allah, memang payah untuk khusyuk di dalam sembahyang. Imam Al-Ghazali menyatakan bahawa orang yang tidak khusyuk solatnya adalah dikira sia-sia belaka, kerana tujuan solat itu selain untuk mengingati Allah SWT, ia juga berfungsi sebagai alat pencegah dari perbuatan keji dan mungkar.



Apabila lalai ketika menunaikan solat bererti orang tersebut tidak akan berasa gerun ketika melakukan perkara keji dan mungkar. Menurutnya lagi bahawa solat itu merupakan "munajat" (berdialog dan berbisik) seorang hamba terhadap Tuhannya. Sayidina Ali k.w. boleh khusyuk dalam sembahyangnya hingga waktu orang mencabut panah di betisnya, dia tidak terasa apa-apa. Sayidina Umar Al Khattab pernah berkata, "Khusyuk itu bukan tundukkan kepala, tapi khusyuk itu dalam hati."



Kesimpulannya orang-orang yang takut kepada penciptanya dan menyedari ia hanyalah hamba akan patuh apasaja yang diperintahkan dan disampaikan oleh rasul serta akan khusyuk mendapat nikmat solat seperti firman Allah yang bermaksud:



"Jadikanlah Sabar dan Solat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yakni) orang-orang yang meyakini, bahawa mereka akan menemui Tuhannya dan bahawa mereka akan kembali kepadaNya" [Surah Al-Baqarah : ayat 45-46].



ANTARA SYARAT-SYARAT DOA DIMAKBULKAN ALLAH



1. Berdoa dalam keadaan suci daripada hadath besar/kecil dan najis pada tubuh badan maupun pakaian, bersih lahiriah serta batiniah.

2. Memohon perkara-perkara kebajikan.

3. Insaf serta rasa penyesalan di atas dosa-dosa yang telah dilakukan pada masa lalu.

4. Memohon doa di waktu-waktu tertentu seperti selepas melakukan solat-solat fardhu, solat tengah malam atau hari Jumaat.

5. Melakukannya dengan khusyuk, baik sangka dengan Allah.

6. Hidup dengan makanan yang halal.

7. Tidak meminta perkara maksiat.

8. Menyeru nama-nama Allah yang munasabah denga hajat yang diminta.

9. Menggesa serta mengulang-ulang permohonan itu.



DO'A SELEPAS SEMBAHYANG





Bismilla hirrahma nirrahimm

Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Allahumma solli wasallim 'ala saiyidina Muhammadiw wala alihi wasahbihi ajma'in. Allahuma inna nas alukal 'afwa wal 'afiah, wal mu 'aafatad da imah, fiddini waddun ya wal akhirah. Allahumma ahsin 'aqibatana fil umuri kulliha, waajirna min khizyid dunya wa'azabil akhirah. Allahumma inna nas aluka minal khairi kullihi 'ajilihi waajilihi, maalimna minhu wama lam na'lam. Waanuzubika minas syarri kullihi, 'ajilihi wa ajilihi, ma alimna minhu wama lam na'alam. Rabbana atina fiddunya hasanataw wafil akhirati hasanataw waqina 'azabannar. Wasalallahu 'ala saiyidina Muhammadiw wa 'ala alihi wasahbihi wassalam.





Maksudnya:

Dengan nama Allah yang Pemurah dan Penyayang

Segala Puji bagi Allah Tuhan Seru Sekelian alam. Ya Allah, kurniakanlah rahmat dan sejahtera atas penghulu kami Muhammad serta keluarga dan sahabatnya. Ya Allah, kami pohon kepadamMu kemaafan dan afiat, kesejahteraan selamanya dalam agama, dunia dan akhirat. Ya Allah, baikanlah kesudahan kami pada segala perkara dan jauhkanlah kami dari kehinaan dunia serta siksa akhirat. Ya Allah, kami mohon padaMu segala kebaikan samada lambat atau cepat, yang kami ketahui dan tidak kami ketahui. Dan kami berlindung kepadaMu dari segala bahaya samada lambat atau cepat yang kami ketahui atau tidak kami ketahui. Ya Tuhan Kami, kurniakanlah kepada kami kebajikan di dunia dan akhirat serta jauhilah kami dari siksa neraka. Dan Allah, limpahkanlah rahmat serta sejahtarakanlah junjungan kami Muhammad, keluarga serta sahabat-sahabat Baginda.



KEMBALI

DOA SELEPAS WUDUK





Asy hadu allailaha illallahu wahdahu lasyarikalah, wa asy hadu anna muhammadan 'abduhu warasuluh. Allahummaj 'alni manat tawabina waj 'alni minal mutatahirin. waj 'alni min abdikas solihin. Subhanakallahumma wabihamdika asy hadu alla illa anta astagfiruka waatubu ilaik. Wasollallahu 'ala saiyidina muhammadiw waala alihi wasahbihi wassalam.





Maksudnya:

Aku menyaksikan bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang esa tiada yang menyekutuinya. Dan aku menyaksikan bahawa Muhammad itu hamba dan pesuruhnya. Ya Allah , jadikanlah aku dari hambaMu yang soleh. Maha Suci Allah dengan sifat kepujianMu. Aku menyaksikan tiada Tuhan melainkan Engkau. Ku mohon ampun dan taubat padaMu. Dan Allah rahmati serta sejahterakanlah junjungan kami Muhammad, keluarga serta sahabat-sahabat Baginda.



Sabda Rasullullah SAW:

"Sesiapa yang mengambil wuduk dengan baik kemudian dia berkata, Asyhadu al laa ilaaha illAllah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan 'Abdahu wa rasulluh, Allah hummaj 'alni minat tawwaabin, waj'alni minal mutatohhiriin (maksudnya: Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan selain Allah esa (Tuhan) saja tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahawa Muhammad itu adalah hamba dan utusanNya. Allah jadikanlah aku dari kalangan orang yang banyak bertaubat dan jadikanlah aku dari kalangan orang yang menyucikan diri), akan dibuka untuknya kesemua lapan pintu-pintu syurga agar dia memasukinya dari mana dia suka.

(Hadis Riwayat Al-Tarmizi(50);Sahih:Sahih Al-Tarmizi(55) dan Al-Nasai(148);Sahih:Sahih Al-Nasai(148))

KEMBALI







Site Sponsors



DO'A SELEPAS AZAN



Allahumma rabba hazihid da' watittamah. Wassolatil qaimah. Ati saiyidana Muhammadanil wasilata wal fadhilah. Wassyarafa waddarajatal 'aliatar rafi'ah. Wab'athhul maqamal mahmudal lazi wa'adtah. Innaka laatukhliful mi'ad. Rabbighfirli waliwalidaiya (3X). Warhamhuma kama rabbayani saghira. Wasollallahu 'ala saiyidini Muhammadiw wa'alihi wasahbihi wassallam.





Maksudnya:

Ya Allah, Wahai Tuhan yang telah mensyariatkan seruan azan dan sembahyang yang akan didirikan. Kurniakanlah kedudukan yang tinggi dan terpuji yang engkau telah janjikan kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan kehormatan, sesungguhnya Engkau tidak memungkiri janji. Ya Allah ampunilah aku serta ibubapaku dan kurniakanlah rahmat kepada keduanya sebagaimana kedua mereka memelirara akan daku. Dan selamat sejahtera atas junjungan kami Muhammad dan keluarganya dan sahabat-sahabat baginda.

KEMBALI







Site Sponsors

DO'A QUNUD

Allah humah dini fiman hadait.

Wa'a fini fiman 'afait.

Watawallani fiman tawalait.

Wabarikli fimaa a'tait.

Waqinii syarramaa qadzait.

Fainnaka taqdhi wala yuqdha 'alait. Wainnahu layadziluman walait. Walaa ya'izzuman 'adait.

Tabaa rakta rabbana wata'alait.

Falakalhamdu 'ala maaqadzait.

Astaghfiruka wa'atubu ilaik.

Wasallallahu 'ala Saidina Muhammadinin nabiyil ummiyi waala aalihi wasahbihi wasalam.

Maksudnya:

Tuhanku, pimpinlah aku bersama orang yang telah Engkau pimpin. Dan afiatkanlah aku bersama orang yang telah Engkau beri. Dan peliharalah aku seperti orang yang telah Engkau pelihara. Dan anugerahilah aku seperti orang yang telah Engkau anugerahi. Dan lindungilah aku dari perkara yang telah Engkau qadhakkan. Kerana Engkau yang menghukum bukan Engkau yang dihukum. Tidaklah hina orang yang telah Engkau muliakan. Tidaklah mulia orang yang telah Engkau hinakan. Amat berkat Engkau hai Tuhan kami dan maha tinggi Engkau. Maka bagiMu pujian atas apa yang telah Engkau hukumkan. Ampunilah aku dan maafkanlah aku. Dan Allah limpahkanlah rahmat dan sejahtera kepada junjungan Nabi Muhammad yang ummiy dan keluarganya serta sahabatnya.















Jika ada perbezaan antara Audio dan Teks ( memang bacaan pebagai versi )

Jika anda menjadi imam, kalimah-kalimah berikut hendaklah dibaca dan ditukar, manakala orang-orang yang menjadi makmum tidak perlu membaca pada kalimah kalimah tersebut, makmum hanya perlu menadah tangan serta menyambutnya dengan Amin sahaja.:-



"Allah humah dini" kepada "Allah humah dina"

"Wa'a fini" kepada "Wa'a fina"

''Watawallani" kepada "Watawallana"

"Wabarikli" kepada "Wabariklana"

"Waqinii" kepada "Waqina"



Sujud Sahwi:

Perkara-perkara sunat di dalam sembahyang ada banyak, di antaranya adalah sunat aba'dh di mana apabila tertinggal melakukannya maka hendaklah diiringi dengan sujud sahwi. Sebelum salam hendaklah kita sujud dahulu dua kali dan ucapkan dalam sujud itu:





Subhaa naman laa yanaamu walaa yas hu 3X

Maksudnya: Maha Suci Tuhan yang tidak tidur dan tidak lupa



KEMBALI







Site Sponsors



DOWNLOAD SURAH AL-QURAN (AUDIO)



FAIL AUDIO DALAM BENTUK MP3 FAIL(.mp3)

YANG BOLEH DIMUATURUN SETAKAT INI, 67 hingga 114



AZAN SUBUH .mp3 205K AZAN .mp3 142K





AYAT KURSI (Al-Baqarah 255-257) .mp3 ASMAUL HUSNA (99 Nama Allah) .mp3





BACAAN AL-QURAN

Juz 1 hingga 21

Bil. Surah .mp3

1 AL-FATIHAH (Pembukaan) 39K



2 AL-BAQARAH (Sapi Betina) Bg.1 Bg.2

3 ALI IMRAN (Keluarga Imran) 3.50Mb

4 AN-NISAA' (Wanita) 3.84Mb

5 AL-MAAI'DAH (Hidangan) 2.76Mb

6 AL-AN'AAM (Binatang Ternak) 2.89Mb

7 AL-A'RAAF (Tempat Tertinggi) 3.20Mb

8 AL-ANFAAL (Rampasan Perang) 1.24Mb

9 AT-TAUBAH (Pengampunan) 2.40Mb

10 YUNUS (Nabi Yunus a.s.) 1.60Mb

11 HUD (Nabi Huud a.s.) 1.85Mb

12 YUSUF (Nabi Yusuf a.s.) 1.67Mb

13 AR-RA'D (Guruh) 854K

14 IBRAHIM (Nabi Ibrahim a.s.) 856K

15 AL-HIJR (Pergunungan Hijr) 754K

16 AN-NAHL (Lebah) 1.75Mb

17 AL-ISRA (Memperjalankan Di Malam Hari) 1.49Mb

18 AL-KAHFI (Gua) 1.47Mb

19 MARYAM (Maryam) 963K

20 THAAHAA (Thaahaa) 1.22Mb

21 AL-ANBIYAA' (Nabi-Nabi) 1.14Mb

22 AL-HAJJ (Haji) 2.48Mb

23 AL-MU'MINUUN (Orang-Orang Beriman) 1.04Mb

24 AN-NUUR (Cahaya) 1.30Mb

25 AL-FURQAAN (Pembeza) 632k

26 ASY-SYU'ARAA' (Para Penyair) 1.19Mb

27 AN-NAML (Semut) 1.03Mb

28 AL-QASHASH (Cerita-Cerita) 1.32Mb

29 AL-ANKABUT (Labah-Labah) 910K

30 AR-RUUM (Bangsa Rom) 802K

31 LUQMAN (Luqman) 505K

32 AS-SAJADAH (Sujud) 394K

Juz 21 & 25

Bil. Surah .mp3

33 AL-AHZAB (Golongan Yang Bersekutu) 383K

34 SABAQ (Kaum Sabaq) 902K

35 FAATHIR (Pencipta) 998K

36 YAASIN (Yaa Sin) 755K

37 ASH-SHAFFAAT (Yang Bershaf-Shaf) 846K

38 SHAAD (Shaad) 701K

39 AZ-ZUMAR (Rombongan-Rombongan) 1.13Mb

40 AL-MUKMIN (Orang Yang Beriman) 1.07Mb

41 FUSILAT (Yang Dijelaskan) 791K

42 ASY-SYUURA (Musyawarah) 674K

43 AZ-ZUKHRUF (Perhiasan) 814K

44 AD-DUKHAAN (Kabut) 359K

45 AL-JAATSIAH (Yang Berlutut) 517K

Juz 26 & 27

Bil. Surah .mp3

46 AL-AHQAAF (Bukit-Bukit Pasir) 600K

47 MUHAMMAD (Nabi Muhammad S.A.W.) 636K

48 AL-FATH (Kemenangan) 591K

49 AL-HUJURAT (Bilik-Bilik) 402K

50 QAAF (Qaaf) 377K

51 ADZ-ZAARIAT (Angin Yang Menerbangkan) 385K

Juz 27

Bil. Surah .mp3

52 ATH-THUUR (Bukit) 354K

53 AN-NAJM (Bintang) 371K

54 AL-QAMAR (Bulan) 383K

55 AR-RAHMAN (Yang MahaPemurah) 448K

56 AL-WAAQIAH (Hari Kiamat) 432K

57 AL-HADID (Besi) 612K

Juz 28

Bil. Surah .mp3

58 AL-MUJADILAH (Wanita Mengajukan Gugatan) 477K

59 AL-HASYR (Pengusiran) 488K

60 AL-MUMTAHANAH (Perempuan Yang Diuji) 387K

61 ASH-SHAFF (Barisan) 247K

62 AL-JUMU'AH (Hari Jumaat) 188K

63 AL-MUNAFIQUUN (Orang-Orang Munafik) 201K

64 AL-TAGHAABUN (Hari Dinampakkan Kesalahan) 258K

65 ATH-TALAAQ (Talak) 305K

66 AT-TAHRIM (Mengharamkan) 250K

Juz 29

Bil. Surah .mp3

67 AL-MULK (Kerajaan) 336K



68 AL-QALAM (Kalam) 328K



69 AL-HAQQAH (Hari Kiamat) 291K



70 AL-MA'ARIJ (Tempat-Tempat Naik) 242K



71 NUH (Nabi Nuh) 245K



72 AL-JIN (Jin) 274K



73 AL-MUZZAMMIL (Orang-Orang Yang Berselimut) 212K



74 AL-MUDDATSTSIR (Orang Yang Berkemul) 267K



75 AL-QIYAMAAH (Hari Kiamat) 182K



76 AL-INSAAN (Manusia) 253K



77 AL-MURSALAAT (Malaikat Yang Diutus) 242K



Juz 30

Bil. Surah .mp3

78 AN-NABAA' (Berita Besar) 235K



79 AN-NA'ZI'AT (Malaikat Yang Mencabut) 229K



80 'ABASA (Ia Bermuka Masam) 203K



81 AT-TAKWIIR (Menggulung) 141K



82 AL-INFITHAAR (Terbelah) 115K



83 AL-MUTHAFFIFIN (Orang-orang Yang Curang) 257K



84 AL-INSYIQAAQ (Terbelah) 141K



85 AL-BURUUJ (Gugusan Bintang) 157K



86 ATH-THARIQ (Yang Datang Di Malam Hari) 77K



87 AL-A'LAA (Yang Paling Tinggi) 84K



88 AL-GHASYIYAH (Hari Pembalasan) 112K



89 AL-FAJR (Fajar) 167K



90 AL-BALAD (Kota, Negeri) 95K



91 ASY-SYAMS (Matahari) 66K



92 AL-LAIL (Malam) 95K



93 ADH-DHUHA (Mentari Sepenggalah Naik) 51K



94 ALAM NASYRAH (Melapangkan) 31K



95 AT-TIIN (Buah Tiin) 46K



96 AL-'ALAQ (Segumpal Darah) 78K



97 AL-QADR (Kemuliaan) 34K



98 AL-BAYYINAH (Bukti Yang Nyata) 113K



99 AL-ZALZALAH (Kegoncangan) 44K



100 AL-ADIYAT (Kuda Perang Berlari Kencang) 50K



101 AL-QARI'AH (Hari Kiamat) 48K



102 AL-TAKATSUR (Bermegah-magah) 40K



103 AL-ASHR (Masa) 17K



104 AL-HUMAZAH (Pengumpat) 39K



105 AL-FIIL (Gajah) 29K



106 AL-QURAISY (Suku Quraisy) 24K



107 AL-MA'UN (Barang-Barang Yang Berguna) 40K



108 AL-KAUTSAR (Nikmat yang Banyak) 13K



109 AL-KAFIRUN (Orang-Orang Kafir) 37K



110 AN-NASHR (Pertolongan) 21K



111 AL-LAHAB (Gejolak Api) 26K



112 AL-IKHLAS (Memurnikan Keesaan Allah) 13K



113 AL-FALAQ (Waktu Subuh) 23K



114 AN-NAAS (Manusia) 34K







RUKUN SOLAT/SEMBAHYANG

Syarat dan Rukun Sembahyang

Syarat mengerjakan sembahyang mestilah memenuhi dan mematuhi segala rukun sembahyang itu dan jika salah satu syarat itu tidak dilaksanakan maka sembahyang itu tidaklah sah:-

• 1. Orang Islam.

• 2. Menghadap arah Kiblat

• 3. Suci dari Haidh, Nifas dan Junub.

• 4. Akil baligh

• 5. Berakal.

• 6. Melihat atau mendengar.

• 7. Jaga (tidak tidur)

• 8. Sudah masuk waktu sembahyang.



Syarat Sah Sembahyang

Syarat-syarat sah sembahyang ialah:-

• 1. Sesudah masuk waktu sembahyang.

• 2. Menghadap ke arah Kiblat.

• 3. Suci dari hadas kecil dan hadas besar (sudah berwuduk dan sudah mandi wajib jika ada sebabnya).

• 4. Suci pakaian, tempat dan badan dari najis.

• 5. Menutup Aurat, menutupi tubuh dengan pakaian sekurang-kurangnya dari pusat ke lutut (lelaki). Menutup semua badan kecuali dua tapak tangan dan muka (perempuan). Berpakaianlah dengan pakaian yang bersih sempurna dan indah kerana kita akan menyembah Allah.



Rukun Sembahyang

Perkara yang mesti dilakukan dalam sembahyang.

• 1. BERDIRI BETUL, jika tidak mampu boleh dengan duduk jika tidak mampu juga boleh sembahyang dalam keadaan berbaring.

• 2. NIAT, dilafazkan sewaktu mengangkat takbiratul ihram.

• 3. TAKBIRATUL IHRAM, mengucapkan perkataan Allahu Akbar.

• 4. MEMBACA SURAH AL-FATIHAH, bermula dengan bacaan Bismillah... hinggalah Waladhaallin.

• 5. RUKUK DENGAN THUMAKNINAH, membongkok 90 darjah.

• 6. IKTIDAL DENGAN THUMAKNKNAH, berdiri betul selapas rukuk.

• 7. SUJUD DUA KALI DENGAN THUMAKNINAH, membongkok sehingga dahi berada diparas lantai.

• 8. DUDUK ANTARA DUA SUJUD DENGAN THUMAKNINAH, duduk sebentar selepas sujud yang pertama.

• 9. DUDUK BAGI TAHAIYAT AKHIR.

• 10. MEMBACA TAHAIYAT AKHIR.

• 11. MEMBACA SELAWAT, membaca selawat keatas junjungan Nabi Muhammad s.a.w.

• 12. MEMBERI SALAM, memalingkan muka kearah kanan dan memberi salam dan diikuti pula sebelah kiri juga dengan salam.

• 13. TERTIB, mengikut aturan, turutan atau urutan seperti yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan. Perkara lain yang dilakukan dalam sembahyang dari rukun ini dinamakan sunat.



Perkara Yang Membatalkan Sembahyang

Ertinya tidak Sah Sembahyang serta terbatal jika perlakuan ini dan perlu dibuat semula, yang membatalkan sembahyang ialah:-

• 1. Batal Wuduk.

• 2. Makan dan Minum dengan sengaja walaupun seteguk air atau sebiji nasi sekalipun (sisa makanan di dalam mulut).

• 3. Terbuka Aurat.

• 4. Melangkah, tiga langkah berturut-turut.

• 5. Terdapat najis di badan , pakaian atau tempat sembahyang.

• 6. Tertawa Terbahak-bahak.

• 7. Bercakap, berkata-kata dengan sengaja.

• 8. Berubah Niat.

• 9. Mendahulu Imam sampai dua rukun.

• 10. Meninggalkan rukun Sembahyang.

(*THUMAKNINAH - berhenti seketika dalam waktu lebih lama).

PANGGILAN SOLAT, AZAN ATAU BANG



Azan disebut juga dengan Bang yakni seruan atau laungan yang dilakukan untuk memberitahu kepada orang-orang muslim bahawa sudah masuk waktu sembahyang. Azan dilakukan di setiap tiba waktu sembahayng, yang boleh melakukan laungan azan hanya orang lelaki sahaja, orang perempuan tidak boleh melaungkan seruan azan. Kalimah-kalimah Seruan Azan atau Bang ialah:-



Allahu Akbar Allahu Akbar. (2X)

Asyhadu alla illahaillallah. (2X)

Asyhadu anna Muhammadar rasulullah. (2X)

Haiyaalas solah (2X)

Haiyaalal falah. (2X)

Allahu Akbar Allahu Akbar.

La ilahaillallah.



Maksudnya:

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Aku menyaksikan bahawa Tiada Tuhan melainkan Allah.

Aku menyaksikan bahawa Muhammad itu pesuruh Allah.

Marilah Sembahyang.

Marilah kepada kejayaan.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Tiada Tuhan melainkan Allah.











Azan



Azan Subuh



*Tambahkan "Assolaatu khairun minan naum" (2X) maksudnya "Sembahyang itu lebih baik dari Tidur" pada Azan Subuh selepas "Haiyaalal falah" (2X)



Sunat Di Waktu Menyeru/Melaungkan Azan

1. Beruduk

2. Menghadap ke arah Kiblat

3. Berdiri sewaktu menyeru Azan atau Qamat

4. Dilakukan di tempat yang tinggi.

5. Muadzin hendaklah menyaring dan mengeluarkan suaranya.

6. Mengulang-ulang lafazh syahadatain

7. Muadzin menutup kedua telinganya dengan jari telunjuk ketika mengucapkan "Haiyaalas solah" sambil memalingkan muka kearah kanan, dan ketika mengucapkan "Haiyaalal falah" berpaling ke arah kiri.



Menjawab seruan Azan:

Jika kita mendengar seruan Azan yang dilungkan muadzin (tukang azan @ bilal), hendaklah kita menyahut, mengikut atau menjawab apa yang diucapkan dalam Azan yang diserukan oleh muadzin dengan perlahan-lahan, cuma pada bacaan:-



"Haiyaalas solah" dan "Haiyaalal falah" maka kita ucapkan "Laa haulawala quwwata illa billa hil alyyil aadzim" maksudnya "Tiada daya upaya dan kekuatan ku kecuali dengan pertolongan Allah".



"Assolaatu khairun minan naum" maka kita ucapkan "Syadaqta wa barirta waana mina syaahidiin" maksudnya "Benarlah dan mendapat kebaikanlah engkau dan aku adalah daripada yang menyaksikan".



Selesai Azan hendaklah kita membaca Doa Selepas Azan

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu sembahyang. Tidak ada seorang pun yang menyeru untuk sembahyang. Pada suatu hari mereka membicarakan hal tersebut. Sebagian mereka berkata: Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Nasrani, Sebagian yang lain berkata: Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi. Kemudian Umar berkata: Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk solat? Rasulullah saw. bersabda: Wahai Bilal, bangunlah dan serulah untuk bersolat

Hadis dalam kitab Sahih Muslim (Bahasa Arab saja): No.568

QAMAT ATAU IQAMAH



Qamat disebut juga dengan Iqamah yakni ucapan atau bacaan yang dilakukan ketika sudah hampir melakukan serta memulakan sembahyang.



Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu alla illahaillallah. Asyhadu anna Muhammadar rasulullah. Haiyaalas solah Haiyaalal falah. Qadqamatis solah Qadqamatis solah. Allahu Akbar Allahu Akbar. La ilahaillallah.



Maksudnya:

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Aku menyaksikan bahawa Tiada Tuhan melainkan Allah.

Aku menyaksikan bahawa Muhammad itu pesuruh Allah.

Marilah Sembahyang.

Marilah kepada kejayaan.

Sesungguhnya sudah hampir mengerjakan sembahyang.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Tiada Tuhan melainkan Allah.







Menjawab bacaan Qamat:

Jika kita sembahyang berjemaah, maka yang membacakan Qamat itu cuma seorang sahaja contohnya muadzin (tukang azan @ bilal), tidak perlu lagi kita Qamat. Bagaimanapun untuk beroleh pahala hendaklah kita menyahut, mengikut atau menjawab apa yang diucapkan dalam Qamat yang dibacakan oleh muadzin dengan perlahan-lahan, cuma pada bacaan:-



"Haiyaalas solah Haiyaalal falah" maka kita ucapkan "Laa haulawala quwwata illa billa hil alyyil aadzim" maksudnya "Tiada daya upaya dan kekuatan ku kecuali dengan pertolongan Allah".



"Qadqamatis solah Qadqamatis solah" maka kita ucapkan "Aqaamahallahu wa adaamahaa" maksudnya "Semoga Allah menjadikan Solat ini berdiri terus dan kekal"



Selesai Qamat hendaklah kita membaca doa sama seperti Doa Selepas Azan



WALLPAPER





Tajuk: Sea/Laut

Resolusi:1152 X 864

Resolusi: 1024 X 768

Tajuk: PDA

Resolusi:1152 X 864

Resolusi: 1024 X 768

Tajuk: Moon/Bulan

Resolusi:1152 X 864

Resolusi: 1024 X 768





Tajuk: Anyaman

Designer: Mizly MS

Kombinasi Bahan: Photoshop, Eye Candy

Resolusi: 800 X 600 (118 KB)

Resolusi: 1024 X 768 (148 KB)



Tajuk: Bila Langit Terbelah

Designer: Mizly MS

Kombinasi Bahan: Photoshop, Extreme 3D

Resolusi: 800 X 600 (131 KB)

Resolusi: 1024 X 768 (109 KB)



Tajuk: Demi Masa

Designer: Mizly MS

Kombinasi Bahan: Photoshop, Extreme 3D, Xara 3D

Resolusi: 800 X 600 (139 KB)

Resolusi: 1024 X 768 (113 KB)



Tajuk: Jendela

Designer: Mizly MS

Kombinasi Bahan: Photoshop, Eye Candy

Resolusi: 800 X 600 (128 KB)

Resolusi: 1024 X 768 (106 KB)



Tajuk: Manzilah-manzilah

Designer: Mizly MS

Kombinasi Bahan: Photoshop, Extreme 3D

Resolusi: 800 X 600 (223 KB)

Resolusi: 1024 X 768 (304 KB)



Tajuk: Kaligrafi (Tinta Emas)

Designer: Farizal Hassan

Kombinasi Bahan: Photoshop

Resolusi: 800 X 600 (118 KB)





ANIMASI GIF & BUTTON



Kesemua Animasi Gif di Laman ini adalah Tulen (asli), tidak di ambil dari

mana-mana lelaman lain, jika ada persamaan mungkin secara kebetulan. Anda dipersilakan mengambilnya jika berhasrat meletakkan di laman anda, semuanya

percuma (Klik tetikus sebelah kanan pada image dan klik Save Picture As...

bagi browser IE atau Save Image As... bagi Netscape.





Animasi Gif 3D



Bismillah 1

Bismillah 2

Bismillah 3

Bismillah 4



Bismillah 5

Bismillah 6

Bismillah 7

Bismillah 8



Lailahaillallah



Lailahaillallah 3











ANDALAH TETAMU SAYA

Semua HAK CIPTA HANYA MILIK ALLAH SWT., Tidak ada sebarang bahagian pun dalam website ini yang tidak boleh ditiru, diterbitkan semula, disimpan dalam cara yang boleh dipergunakan lagi, dalam sebarang bentuk atau sebarang cara, baik dengan cara elektronik, mekanikal, cetakan, pengambaran, perakaman dan sebagainya. Ambillah, tak perlu meminta izin terlebih dahulu, malah digalakkan menyebarkannya untuk pengetahuan dan pendidikan bagi genarasi masa hadapan agar kuat pergantungan, tunduk, patuh, akur kepada Allah dengan disiplin yang ada dalam sembahyang diaplikasikan di luar sembahyang untuk urusan kehidupan seharian.

MENGAJAK ORANG KE ARAH KEBAIKAN MERUPAKAN SAHAM SERTA ROYALTI YANG AMAT MENGUNTUNGKAN, WALAUPUN TIDAK KELIHATAN PADA ZAHIRNYA NAMUN MELEBIHI GANJARAN YANG DIJANJIKAN DALAM APAJUA SISTEM MLM, PIRAMID DAN SEBAGAINYA YANG BOLEH DIBERIKAN OLEH MANUSIA. Kepada Anda pengunjung Laman ini diharap dapat sedikit sebanyak pengetahuan darinya, teguran, komen serta galakan dari anda melalui email amat saya hargai serta akan saya baiki mengikut keperluan dan kesempatan yang ada, semoga Allah senantiasa Merahmati, Memelihara akan segala usaha kita... InsyaAllah.

Bagi anda yang ingin membuat pautan/link, di sini disediakan tag HTML pelbagai saiz



Daftar Isi

• 1. Kata Sambutan

• 2. Rukun Islam & Rukun Iman

• 3. Hukum Islam / Syariat Islam

• 4. Thaharah / Bersuci

• 5. Najis

• 6. Istinja

• 7. Adab Buang Air (Doa masuk dan Keluar Kamar Kecil)

• 8. Mandi Besar / Mandi Junub

• 9. Wudhu

• 10. Syarat - syarat Wudhu

• 11. Fardhu / Niat Wudhu

• 12. Sunat Wudhu

• 13. Yang Membatalkan Wudhu

Saturday, November 13, 2010

Shalat Tahiyat Masjid

Shalat tahiyat masjid adalah shalat 2 rakaat yang dikerjakan ketika masuk ke mesjid sebagai penghormatan kepada mesjid, karena mesjid termasuk "Baitullah (rumah Allah).



Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata 'Tahiyyatul masjid', yaitu "Penghormatan terhadap mesjid". Shalat tahiyat masjid hukumnya sunat, dan dikerjakan sebelum duduk, baik hari Jum'at maupun hari lainnya, siang maupun malam hari, walaupun pada waktu - waktu terlarang (jika masuk ke mesjid karena suatu sebab, misalnya hendak beri'tikaf, menuntut ilmu, atau menunggu tibanya waktu shalat dan sebagainya.



Seseorang yang hendak pergi ke mesjid, baik pada hari Jum'at maupun hari lainnya, dalam perjalanan hendaklah membaca doa berikut:



ALLAAHUMMA BIHAQQIS SAA'ILIINA 'ALAIKA WA BIHAQQIR RAAGHIBIINA ILAIKA WA BIHAQQI MAMSYAAYA HAADZAA ILAIKA. FA INNII LAM AKHRUJ ASYIRAN WA LAA BATHARAN WA LAA RIYAA'AN WA LAASUM'ATAN BALKHARAJTU ITTIQAA'A SAKHATHIKA WABTTIGHAA'A MARDHAATIKA. FA AS'ALUKA ANTUN QIDZANNII MINANNAARIWA ANTAGHFIRALII DZUNUUBII FAINNAHUU LAA YAGHFIRUDZDZUNUUBA ILLAAANTA.

Artinya:

"Wahai Allah! Berkat kebenaran orang - orang yang memohon kepada-mu, berkat kebenaran orang-orang yang cinta kepada-Mu, dan berkat kebenaran perjalananku ini menuju kepada-Mu, maka sesungguhnya aku keluar bukan kejahatan bukan karena keangkuhan, bukan karena ria, bukan pula karma sum'ah, tetapi aku keluar karena takut akan kemurkaan-Mu, dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu aku memohon kepada-Mu agar Engkau selamatkan aku dari neraka, dan Engkau ampUni aku, segala dosaku, karena sesungguhnya takada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau."



Jika hendak memasuki mesjid, maka dahulukan kaki kanan dan bacalah doa:



ALLAAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD WA SHAHBIHI WA SALLIM. ALLAAHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII WAF TAHLII ABWAABA RAHMATIKA.

Artinya:

"Wahai Allah! Berilah rahmat dan kesejateraan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Wahai Allah! Ampunilah segala dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatmu.



Jika telah berada di dalam mesjid, sebelum duduk, hendaklah niat beri'tikaf dan dilanjutkan dengan mengerjakan shalat sunat tahiyat masjid 2 rakaat.

Niat i'tikaf adalah:



NAWAITU ANA'TAKIFA FII HAADZAL MASJIDI SUNNATAN LILLAAHI TA'AALAA.

Artinya: (di dalam hati)

"Aku niat beri'tikaf didalam mesjid ini, sunat karena Allah ta'ala."



Niat shalat sunat tahiyat masjid adalah:



USHALLII SUNNATA TAHIYYATIL MASJIDI RAK'ATAINI LILLAAHI TA'AALAA.

Artinya: (di dalam hati pada saat takbiratul ihram!)

"Aku (niat) shalat sunat tahiyat masjid 2 rakaat, karena Allah Ta'ala."



Jika pada saat tiba di mesjid shalat Jum'at atau shalat berjamaah telah dimulai, maka shalat tahiyat masjid tak perLu dikerjakan.

Akan tetapi jika khatib sedang khutbah, maka boleh mengerjakannya dengan meringankan bacaan. Jika telah telanjur duduk, maka tak periu bangun untuk mengerjakannya.



Kemudian ketika hendak keluar dari mesjid, dahulukan kaki kiri dan bacalah doa:



ALLAAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA'ALAA AALI MUHAMMAD WA SHAHBIHI WA SALLIM. ALLAAHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII WAFTAHLII ABWAABA FADHLIKA. ALLAAHUMMA'SHIMNII MINASY SYATTHAANIR RAJIIMI.

Artinya:

"Wahai Allah! Berilah rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Wahai Allah! Ampunilah segala dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu keutamaan (kemurahan)-Mu. Wahai Allah! Lindungilah aku dari setan yang terkutuk.

Posted by BangSArif at 9:41 AM

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

1



Shalat Trarawih 20 Rakaat



Shalat - Shalat



Dasar Shalat Tarawih 20 Rakaat



Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang melaksanakan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.

Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba’diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, “Marilah shalat Tarawih berjama’ah!” Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur.

Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai melaksanakan 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan “bilal” dan dijawab oleh segenap kaum muslimin.

Begitu shalat tarawih sampai rakaat kedua puluh, bacaan surat sesudah al-Fatihah tentu sudah sampai ke surat al-Lahab dan al-Ikhlash. Tinggal shalat witirnya yang biasa dilakukan 2 rakaat, dan yang kedua satu rakaat, imam biasanya memilih surat al-A’la dan al-Kafirun.

Para imam Tarawih NU umumnya memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: “Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan..” Maka, 23 rakaat umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.

Lain halnya shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat dilaksanakan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur’an. Setiap malam harus dilaksanakan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur’an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yang menurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa sampai 15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjang itu, meski di luar shalat sekalipun.

Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir.

Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, hlm 54 disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.

Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).

Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:

خَشِيْتُ أَنْ تَفَرَّضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيْقُونَهَا

“Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”

Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan rakaatnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)

KH MUnawwir Abdul Fattah

Pesantren Krapyak Yogyakarta

http://blog.its.ac.id





Tuntunan Shalat Tarawih Rasulullah

Ramadhan memang identik dengan shalat malam Tarawih.

Di Indonesia ini, populer shalat Tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat ditambah 3 rakaat shalat witir. Keduanya pun memiliki dalil yang sama kuat.



Salah satu ibadah di malam bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Agar lebih mudah, berikut tuntunan yang bisa diberikan:



Awal Waktu.

Mari kita manata hati dan niat berangkat ke masjid atau mushala untuk melaksanakan shalat Tarawih menjelang azan shalat Isya'.

Agar bisa berangkat di awal waktu, pastikanlah berbuka puasa Anda tidak berlebihan, jika berlebihan, bisa-bisa kita malas untuk pergi ke masjid atau terlambat shalat Isya' berjamaah.



Ikut Imam.

Bimbingan shalat Tarawih ini tentu bukan untuk imam, karena imam sudah punya ilmunya sendiri. Nah, sebagai makmum kita wajib mengikuti imam, jika kita memilih shalat Tarawih bersama imam, maka konsekuensinya kita mengikuti shalatnya imam, apakah 8 rakaat atau 20 rakaat.



Bagi Anda yang mau atau yakin dengan 8 rakaat, sedangkan imam 20 rakaat, janganlah Anda menjadi ragu untuk mengakhiri shalat tarawih setelah 8 rakaat berakhir.

Ingat, niat dan keyakinan Anda sudah benar, 8 rakaat atau 20 rakaat sama kuat hadits yang menyatakannya. Segala amal, niat adalah landasannya, jadi jangan menggerundel atau menggerutu.



Menunda Witir.

Bagi yang berniat untuk shalat malam atau Tahajud dan yakin akan bisa bangun malam, sebaiknya undur diri dengan tenang (agar tidak mengganggu para jamaah yang sedang shalat witir) pada saat imam mulai melaksanakan shalat witir.

Malam harinya Anda bisa melaksanakan shalat witir setelah shalat tahajud.



Bagi Anda yang tidak yakin bisa bangun malam untuk shalat malam atau tahajud, sebaiknya mengikuti imam untuk melaksanakan shalat witir berjamaah, dan di malam harinya nanti masih disunnahkan untuk melaksanakan shlat tahajud tanpa melaksanakan shalat witir.



Shalat Witir.

Setelah Tarawih, biasanya langsung ditutup dengan shalat witir. Silahkan pilih, 1 rakaat atau 3 rakaat, dan biasanya maksimal 11 rakaat.

Tuntunan shalat witir akan menyusul sebagai postingan selanjutnya saja biar tidak terlalu panjang.



Zikir.

Setelah shalat witir selesai, biasanya imam mengajak para jamaah untuk berzikir sebagai berikut:

"Subhanal malikil qudduss." 3x.

artinya:

Maha suci Tuhan Yang Merajai lagi Maha Suci.



Dilanjutkan dengan,

"Subbuuhun qudduusun robbinaa wa robbul malaaikati warruuh." 3 x

artinya:

Maha Suci lagi Quddus Tuhan Kami, Tuhan para Malaikat, dan Malaikat jibril.



dilanjutkan lagi,

Asyhadu anlaa ilaaha illallah astaghfirullah nas'aluka ridhaaka wal jannah wa na'uuzuubuka min sakhatika wannaar." 3x

Artinya:

Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, saya mohon ampun kepada Allah. Kami mohon keridhaan-Mu dan surga dan hindarkanlah kami dari kemurkaan-Mu dan siksa api neraka.



dilanjutkan lagi,

"Allahumma innaka 'afwun kariim tuhibbul 'afwa fa'fu 'anna yaa kariim." 3x

artinya:

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, Engkaulah yang suka memberi ampun karena itu ampunilah kami, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.



Doa.

Setelah berzikir, amini doa yang dibaca oleh imam.

Doanya agak panjang nanti Insya Alloh akan dip[osting terpisah mengenai doanya dengan huruf Arab serta terjemahannya.



Semoga bermanfaat.



Read more: Tuntunan Shalat Tarawih Rasulullah | Hikmah Teladan http://hikmahteladan.blogspot.com/2011/08/tuntunan-shalat-tarawih-rasulullah.html#ixzz1VPHJiVtA



Islam and Traweh Prayers in Java

Unity, Diversity, and Cultural Smoothness1

by

André Möller

Abstract

This article has as its main focus the supererogatory nightly prayers, the traweh

prayers, as they are performed in the world’s largest Muslim nation, Indonesia.

These prayers are of immense importance to the Javanese Muslim community,

and are often regarded as constituting an obligatory part of the Islamic religion.

In the article, the author describes how these prayers are performed in both

modernist and traditionalist settings in Central Java, and argues that different

ideas of how they should be performed not necessarily plague the Javanese umat,

but rather only colors it. This, it is argued, is due to the cultural smoothness of the

Javanese.

Javanese Muslims orient their daily lives around the five obligatory daily prayers (I. sholat),2 and

their year around the fasting month of Ramadan.3 It is the performance of these rituals with their

various sub-rituals that makes people Muslims in Java. As such, the self-ascribed Muslim identity of

the Javanese cannot easily be detached from the execution of the prayers and the Ramadan fast.

Muslim identity is thus far more concerned with ritual practice than with theological or

philosophical speculation. This relationship between practice and faith is not peculiar to Islam in

Java; rather, it can be said to be the norm outside Christian Protestant circles. Tord Olsson has

argued that there has been an unfounded conviction among scholars of religion that religion is first

and foremost about questions pertaining to faith and belief, and only secondarily to rituals. Olsson

assigns this misperception to the intellectual and (conscious or unconscious) Protestant

background of most western scholars who have studied religion, and to the fact that these same

1 This article was first published in Indonesia and the Malay World (vol. 33, no. 95, March 2005). It is reprinted here

with the kind permission of the editors of IMW.

2 I., J., and A. in this text refer to Indonesian, Javanese, and Arabic respectively.

3 This article is based on a three-year sojourn in Java between 1999 and 2002, and a two-month visit in

connection with Ramadan in 2003.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

2

scholars have preferred to study texts that have been marked by a similar intellectualism and

concern for the (correct) faith. As a result, the academic understanding of religion has come to be

that entity with which scholars of religion deal, and this has predominantly been questions

concerning faith and belief (Olsson 2000: 27f. cf. Bell 1997: 191 and Smith 1979: 13ff.).

Taking into consideration that scholars of Islam as well as historians of religion have had this

focus in their research, and that generally, anthropologists working in Muslim areas have been

more concerned with ‘folk beliefs’ and ‘unorthodoxy’ (or with not Islam, as I have argued elsewhere

(Möller 2005)) than with normative Islam,4 we do not overstate the issue when maintaining that

Islamic regular rituals have been – and still are – a neglected area of study. Some scholars have

devoted themselves to the study of Islamic rituals e.g. Buitelaar’s study of Ramadan in Morocco

(1993), Bowen’s studies of Islamic prayer in Indonesia (1989, 2000), Nelson’s on Koran recitation in

Egypt (2001), and my own study of Ramadan in Java (Möller 2005). Compared to studies of, for

example, political Islam, there are far fewer studies of Islamic rituals which confirm the view that

Islamic rituals are unworthy of serious study. To this state of affairs we may add the general and

unfortunate tendency in recent scholarship that has contributed (deliberately or otherwise) to

viewing Islam as politically potent, and ignoring its religious and spiritual aspects. In this period of

accusations of terrorism, there is an urgent need for alternative pictures of Islam.

To counterbalance these scholarly trends, this article focuses on a well-attended ritual in Java,

namely the traweh prayers performed during Ramadan evenings. In recent times the documentary

role of the anthropologist or historian of religion has been relegated to the sideline for more

‘sophisticated’ (and allegedly ‘more academic’) discussions of a theoretical or philosophical level.

This is regrettable, as new documentary research which is not pure ethnography is very much

needed and, it seems, sought after. I will hence describe the sequences of the traweh prayers rather

lengthily below, the purpose of which is to re-activate the role of the anthropologist of religion as a

recorder of social realities, as well as to show that the performance of these prayers in Java can

differ from mosque to mosque. This is intended to open the eyes of those who still believe that

standard and normative Islamic rituals are performed unvaryingly and uniformly around the world.

(I am confident that this latter idea is yet another reason why Islamic rituals have been insufficiently

studied thus far.) We will see with traweh prayers that the Muslim community in Java is both

united and divided and that Javanese Muslims nowadays are able to overcome their ritual

differences largely due to their cultural ‘smoothness’. By scrutinising the Javanese’s relationship to

these prayers, we are able to refute recent negative labels of Islam in Java.

4 In the words of Bowen (2000: 23): ‘. . . familiarity with Islamic ritual has been unusually underdeveloped within

the anthropology community’.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

3

Islam in Java

There is probably not one single study on the religious or cultural life of the Javanese published

after 1960 that does not comment and build upon Clifford Geertz’s now classic book, The religion of

Java (1960).5 Based on ethnographic fieldwork in East Java in the 1950s, this work has had huge

influence on subsequent research, and continues to be cited to this day. Nevertheless, its main idea

has been under steady criticism in the past two decades, and many contemporary scholars

(including this author) would not apply Geertz’s understanding of Javanese Islam to their own

material. Geertz proposed a triadic view of the Javanese religious life, and suggested that we

understand it in terms of abangan, santri, and priyayi (J.) forms of religiosity. Geertz regarded the

abangan variant to be that of the true (syncretic, unorthodox, etc.) religion of the Javanese. He

viewed the more ‘orthodox’ Muslims (santri) as a minority in Java. The religion of Java was

perceived by Geertz as not really Islam though this idea was not new at the time. To van Leur (1955:

169), for example, Islam in Indonesia constituted only a ‘thin, easily flaking glaze on the massive

body of indigenous civilization’. The prevailing view following colonial scholarship was that to be a

‘real Javanese’ was quite different from being a ‘real Muslim’ (Woodward 1996: 33). Much of the

criticism directed towards Geertz and his analysis was built upon the fact that he appeared to have

been heavily influenced by his modernist informants, who, with their ‘puritan’ interpretation of

Islam, sought to rid Javanese Islam of its allegedly non-, pre- or extra-Islamic beliefs and practices.

Geertz thus let modernists define ‘Islam’ and ‘Muslim’ and consequently came to regard many

Javanese institutions as belonging more to indigenous tradition, or perhaps to a Hindu-Buddhist

past, than to Islam. In other words, much of that labelled abangan by Geertz would be interpreted in

an Islamic frame of reference by many Sufi, neo-modernist, and traditionalist Javanese Muslims and

The religion of Java should perhaps be read as the apologist text of a modernist. This state of affairs

has been aptly referred to as a ‘modernist prejudice’ (Barton 1997: 37), which has haunted the

Western – and, to some extent, even Javanese – understanding of Islam in Java.

As mentioned, a new perspective with regard to Islam in Java has taken form since the 1980s.

Largely critical of Geertz and his supporters, scholars active in the formation of this view have

accentuated the Islamic aspects of Javanese religious life, and questioned the legitimacy of previous

scholarly suppositions.6 Roff (1985: 7) argued that there so far had been a seemingly ‘extraordinary

desire [...] to diminish, conceptually, the place and role of the religion and culture of Islam, now and

in the past, in Southeast Asian societies’. A decade later, Hefner (1997: 5) similarly noted that

‘Islam’s influence on Southeast Asian society has been severely underestimated’, and elaborated

upon the ‘dual marginalization’ that had subjected Islam in Southeast Asia. On the one hand, he

5 For a discussion of Geertz’s other works, see King and Wilder (2003: 78ff.).

6 Note that there were similar attempts pioneered by Drewes and Johns in the 1960s. However, their influence

was overshadowed by that of Geertz’s.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

4

argued, scholars of Islam had first and foremost directed their attention to the ‘classical’ Islamic

civilisations of the Arabic- and Persian-speaking areas of the world, and – at the expense of

everyday Muslim life – focused on the high culture of Islam. In this field, there had been a strong

textual emphasis with a legalistic understanding of Islam, which was not highly regarded in

contemporary anthropological or sociological understanding of Islam. On the other hand, Islam has

also been marginalised in Southeast Asian studies, where it was regarded as anathema to the ‘real’

Southeast Asia. This latter phenomenon was, in fact, largely a continuation of colonial attitudes and

scholarship (Hefner 1997: 8–18).

Mark Woodward’s monograph Islam in Java: Normative piety and mysticism in the sultanate of

Yogyakarta (1989) seriously questioned Geertz’s framework. 7 Instead of examining Javanese

religiosity in terms of orthodox Islam versus syncretism, Woodward suggests that we understand

the different Javanese approaches to religion as one influenced to various degrees by legalist vs

mystical interpretations of Islam. He consequently introduces the ‘variants’ of normative Islam (or

normative piety) and the mystically inclined Islam Jawa (Javanese Islam), and argues in a general

tone that ‘Islam is the predominant force in the religious beliefs and rites of central Javanese,’ and

that it as such ‘shapes the character of social interaction and daily life in all segments of Javanese

society’ (Woodward 1989: 3). The question is thus not if, but rather how, the Javanese are Muslims.

Some Javanese Muslims comply with the standard requirements of sharī‘ah-centred Islam, and thus

perform ritual prayer, fast during Ramadan, pay the tithe, and simultaneously refrain from more

popular forms of devotion. Those, according to Woodward, are the upholders of normative Islam in

Java. The others, the more mystically inclined Javanese Muslims, only participate in certain aspects

of the normative requirements of Islam, and argue that their spiritual development is not

dependent upon the performance of normative rituals. Representing this mode of Muslim devotion

are the court nobility and certain layers of the village population, who, however, are dependent

upon santri performances of normative Islam. Islam in Java thus reveals a schism that other Muslim

societies to a large degree also host, i.e., a schism between legally oriented Muslims on the one

hand, and their mystically-oriented brothers and sisters on he other. As such, it is a schism between

Sufism and sharīʿah-centred Islam. It would be a mistake, according to Woodward (1989: 63), to

assume that the latter represents orthodoxy: ‘there is little support for the position that the sharīʿah

represents the “true” or “original” Islam’. Both Sufism and more normative Islam are thus purely

‘Islamic’ traditions – it is their respective ways to participate in Islam that differ.

Interestingly, this new approach has been welcomed by Javanese scholars, who have gladly

participated in efforts to define the Javanese religion in Islamic terms (see for example Hilmy 1998;

7 This version is derived from his PhD thesis, ‘The Shari’ah and the secret doctrine: Muslim law and mystical

doctrine in Central Java’ (University of Illinois, 1985).

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

5

Madjid 1994; Muhaimin 1996; Mujani 2003; and Saleh 2001). Large surveys of the Indonesian

religious landscape conducted by the Centre for the Study of Islam and Society (PPIM, Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat) in 2001 and 2002, confirmed the Woodwardian standpoint, and

emphasised the inapplicability of the Geertzian scheme in contemporary Indonesia (Republika 2002;

cf. Mulkhan 2002; Burhanuddin 2002). This national survey, which to a large extent is the basis of

Saiful Mujani’s interesting doctoral dissertation (2003), showed that more than 80% of Indonesian

Muslims could be called santri (in that they performed ritual prayer, fasted during Ramadan, and

performed other prescribed Islamic rituals), whereas less than 5% fitted Geertz’s category of

abangan with its specific rituals. The remaining 15% of the population were shown to be – though

regarding themselves as Muslims – unengaged in santri or abangan rituals. The overall point to be

made was that Indonesian Muslims are growing more and more santri, and that Indonesian

contemporary Islam cannot be accurately studied in terms of a dichotomy of santri and abangan,

since only a small sector of the population adheres to the latter tradition.8 In the words of Hefner

(1987: 547): ‘[t]he children of many “abangan” are becoming good Muslims’. Or, as stated by Mujani

(2003: 126), the ‘older abangan thesis of 1950s anthropology is not verified by the results of today’s

surveys’.9

More recently, Woodward (2001) has proposed five ‘basic religious orientations’ in Java, that is,

various forms of indigenised Islam, traditionalism, modernism, Islamism and neo-modernism. Peter

Riddell (2002) has four types: modernism, traditionalism, radical Islamism, and neo-modernism. I

was initially persuaded by these recent categories of Islam in Java but soon realised that they did

not dovetail neatly with Javanese reality. Liberal (neo-modernism) and radical (Islamism) variants

of Islam in Java are less widespread and influential than suggested by recent journalistic and

academic commentary. These phenomena are generally limited to a few major urban centres, and

even there their influence has been exaggerated. In minor cities and towns in Java, people still

define their religiosity in terms of either traditionalist Islam or modernist Islam. More precisely,

common people are likely to be either wong NU or wong Muhammadiyah, that is, either affiliated with

the traditionalist Muslim organisation Nahdlatul Ulama or the modernist Muhammadiyah.10

Earlier research has tended to depict the relationship between modernists and traditionalists

in Indonesia as one plagued by constant conflicts. Thus, Cederroth (1995: 238) characterised it, for

example, as one in which ‘much slandering’ takes place, and Federspiel (2001: 27) has similarly

noted the ‘nasty overtones’ in the polemics between the two groups. The ‘extremely bitter’ feuds

between modernists and traditionalists have also been observed (Woodward 2001: 33), as has the

8 Interestingly, the survey stuck to the terms santri and abangan.

9 Indeed, the survey’s outcomes ‘tend to reject Geertz’s claim’ (Mujani 2003: 104).

10 To have a modernist (Muhammadiyah) or a traditionalist (NU) inclination in Java does not necessarily mean

that one is amember of one of these organisations.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

6

‘bitter mutual criticism’ (Fuad 2002: 143) between them. We will have reasons to return to these

characterisations below.

Ramadan and traweh in Java

Fasting during the ninth Islamic month of Ramadan is obligatory for healthy Muslims,11 as laid

down in the Koran:

O you who have attained to the faith! Fasting is ordained to you as it was ordained for those before you,

so that you might remain conscious of God (Koran 2: 183).12

Only a handful of other Koranic verses refer to fasting during Ramadan (Koran 2: 184–87) in stark

contrast, for example, to the number of verses commenting on daily prayers or the obligatory tithe

(A. zakāh). Nevertheless, all members of the Islamic community are clear that abstention from food,

drink, and sexual relations during Ramadan constitutes a pious and obligatory ritual act. The

abundant ḥadīth literature which contains records of the prophet Muhammad’s sayings and

activities, is quick to strengthen this conviction, and it is here that the idea of the Ramadan fast as

one of Islam’s so-called five pillars (A. arkānu l-islām) is to be found.13

During Ramadan, pious deeds are thought to be rewarded according to a special Ramadan scale,

and one often hear people say that their good deeds will receive divine rewards (A. ajr, I. pahala) up

to 70 times more than outside of the fasting month. It is also a common saying that to recite one

Koranic verse during Ramadan may equate (in relation to divine rewards) the complete recitation

of the text in other months. In addition, it is often pronounced that the performance of

supererogatory (A. sunnah) rituals will be rewarded as if they were obligatory. Unsurprisingly,

during Ramadan Muslims increase quantitatively and qualitatively, their participation in Islamic

rituals and strengthen their adherence to perceived Islamic moral principles. This change in

religious attitudes is of such magnitude during Ramadan that we may speak of an annual

Islamisation of Java (and Indonesia).14

The traweh (J., I. tarawih, A. tarāwīḥ) prayers are not mentioned in the Koran, and it is not

obligatory to perform them according to Islamic jurists. Nevertheless, mosques and prayers houses

in Java are never as crowded as during the performance of these supererogatory evening prayers.

11 In fact, a variety of reasons (such as pregnancy and travel) may validate the decision not to participate in the

fast. See for example al-Jaziri 1995: 94ff; al-Zuhayly 1995: 208ff; and Möller (2005).

12 Translation by Asad (1980).

13 These pillars are: uttering of the confession of faith (A. shahādah), performance of the daily prayers (A. ṣalāh),

paying of the tithe (A. zakāh), fasting during Ramadan (A. ṣawm), and undertaking a pilgrimage to Mecca (A. ḥajj).

14 For a short discussion of how Indonesian TV-shows and commercials are Islamised during Ramadan, see

Möller 2004.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

7

The young and the old, men and women15 turn up in throngs when summoned to the mosque by

the muezzin, and latecomers often have to settle for a place in the car park next to the mosque.16

Ramadan without traweh, I was repeatedly told, is just not Ramadan. (Traweh prayers may not be

performed outside Ramadan.) It can thus be argued that these traweh prayers are considered close

to obligatory by Javanese Muslims – the paradoxical result of which is that Javanese mosques are at

their fullest when a non-obligatory ritual is to be performed.

Many people willingly spend about an hour at the mosque to follow these prayers lead by an

imam. This is at a time when the day’s fast has just broken, as traweh prayers are performed some

time between the evening prayers and dawn. A majority of those performing them do so at their

local mosques just after the evening prayers. Most Javanese consider it foolish to lose a great

opportunity for extra pahala by not participating and many have also regretted the Ramadan nights

when they missed traweh, since they ‘may not live to see the next Ramadan’.

It is commonly acknowledged that the prophet Muhammad performed evening prayers (A.

qiyāmu l-layl; the word tarāwīḥ was not used in the prophet’s lifetime) during Ramadan. The precise

nature of these prayers is a disputed topic in Java. It is reported that Muhammad initially

performed his Ramadan evening prayers in the mosque with other members of the small Muslim

community. But when he saw the immense emphasis fellow Muslims laid on these tarāwīḥ prayers,

he stopped performing them in the mosque, and instead completed them in solitude at home. This

was because he did not want the Muslim community to regard these prayers as obligatory as they

would have been too heavy a burden for its members. Exactly how many prayer cycles (A. rakʿah, pl.

rakaʿāt) the prophet performed is disputed, but there is a saying from one of his wives that he never

performed more than eight prayer cycles during Ramadan evenings.

After Muhammad’s death, when ʿUmar bin al-Khaṭṭāb became the second caliph of the

community (after Abu Bakr), the tarāwīḥ scene changed. ‘Umar was allegedly disturbed by the sight

of Muslims performing the tarāwīḥ prayers alone, scattered in the mosque or at home. He thus

arranged that the prayers were again performed as a congregation and set the number of prayer

cycles at 23. (There is no recorded disagreement on the decision for that period.)

Described below are the actual performances of the traweh prayers in two different locations in

Java: a modernist mosque in Yogyakarta, and a traditionalist prayer house in Blora, central Java.

15 It is rather unusual elsewhere in the Muslim world that women perform these prayers in the mosques

together with the men. In Java, however, this is the norm.

16 Some people place their prayer rugs in the mosque in the afternoon so as to ensure a good spot for prayers in

the evening.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

8

Traweh in the An-Nur modernist mosque

Modernist attitudes and practices in relation to the traweh prayers are fairly homogenous. The

description below of my local mosque Masjid An-Nur can be considered as typical of modernist

mosques in Java.

As the muezzin announces the call to prayer for the obligatory isya (evening prayers

performed around 7pm), people in the neighborhood begin to get ready. They are in no hurry as

they know the imam (I., prayer leader, A. imām) and the muezzin will allow a longer than usual time

to lapse between the adzan (I., call to prayer, A. adhān) and the actual prayer session. The muezzin

or a mosque official may recite – or rather, sing – some salawat (I., praise of Muhammad, A. salawāt)

to fill the time.17 At the start of Ramadan the mosque is crowded and additional straw mats are

needed in the car park to provide space for all worshippers. By the middle to the end of the month

the mosque is half full at best. A one-metre wide green cloth separates the mosque into two almost

equal parts: one at the front and the other at the back. The front, the male domain, is generally

slightly larger but the area is adjustable should circumstances require it. The back is for women.

The cloth is only a symbolic barrier as it does not prevent one group from viewing the other. But it

is regarded as necessary by both men and women to maintain the two spheres during traweh

prayers. This token cloth barrier is only used during Ramadan.

As the local Muslims drop in, they generally perform two raka’at (I., prayer cycles) of sholat

tahiyatul masjid (I., A. aṣ-ṣalātu taḥiyātu l-masjid), the non-obligatory but highly recommended

prayers to be performed as one enters a mosque. This done, everyone sits down and either engages

in some small talk with whoever they are next to or recite quietly parts of the Koran. This is also a

time that may be used for private supplications, or declarations of thanksgiving (I. syukur) for being

able to fast for the entire day that has just ended. When the muezzin feels that he has waited

sufficiently he announces through the microphone a sort of condensed adzan, the iqomah (I., A.

iqāmah), that the isya (evening) prayers are to begin. The isya prayers during Ramadan are no

different from the rest of the year as they consist of four raka’at. Each raka’at, as always, consists of

the recital of Al Fatihah (the first chapter of the Koran), the bending of the upper part of the body (I.

ruku’, A. rukū‘), the complete prostration (I. sujud, A. sujūd), and a variety of more subtle practices,

which can be studied in any regular sholat manual.18 Added to this is the niat (I., A. nīyah), the intent,

which precedes the prayer. As the salam (I., greeting in Arabic) concludes the isya prayers, the

17 In many other modernist mosques, including the large Masjid Al-Fath in Blora, there is no salawat, as many

Javanese Muslims feel that the practice is part of traditionalist Islam.

18 See for example Rifa’i 1976, Al Sawwaf 1999 and Zuhri 1956 for a discussion of the sholat from an Indonesian

perspective.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

9

congregation may rest for a while before a kultum (short Islamic lecture) is presented.19 Some may

use this time to perform two additional and individual raka’at.

In Masjid An-Nur the Ramadan committee ensures that such lectures are offered by invited

guests each night in connection with the traweh prayers. The subject of these sermons is often

related to fasting during Ramadan or some other aspect of Islamic worship. There was one occasion

when the kultum was offered by a local policeman who spoke on the work of the police in

eliminating narcotics in Yogyakarta. Often the khatib (I., deliverer of the sermon) is a local religious

authority and the topic chosen is explicitly related to Islamic ritual practices or basic theology. For

those who have fasted the entire day and only recently consumed a substantial meal, this kultum

offers a welcome break. It is a breathing space in all senses of the word.20 For children, this is play

time. Javanese children do run around inside and outside the mosque before, during, and after the

kultum. Many try to follow the prayers, but most are restless after a few raka’at and spend the rest

of the time having fun with their friends. Except for Ramadan, Javanese children rarely play outside

the house after maghrib (sunset) prayers.21

When the kultum ends the muezzin raises his voice again to say aṣ-ṣalāta sunnata t-tarāwīḥi

jāmiʿatan raḥimakumullāh (A.), which means approximately ‘Let us perform the non-obligatory

traweh prayers in congregation, in hope that God will extend His Grace on you all.’ Some, but not all,

reply by saying lā ilāha illā llāh muḥammadun rasūlullāh (A., there is no god but God, Muhammad is

the Prophet of God). This is the sign that the traweh prayers are about to begin and the entire

congregation rises and starts to murmur individually the prescribed intent for this: uṣallī sunnata ttarāwīḥi

lilāhi taʿālā (A.), i.e., ‘I intend to perform the non-obligatory traweh prayers for God, the

Exalted.’22 Most Javanese can say this in Arabic, but some state theirs in Javanese. This done, the

imam raises his two hands and utters Allāhu akbar (A., God is greater), and commences the first

raka’at by reading aloud Al Fatihah and an additional Koranic chapter. The difference between these

traweh prayers from their obligatory equivalent is that there is no break between the second and

the third raka’at as the imam and the congregation immediately proceed to the third and the fourth

prayer cycles. As the fourth raka’at is over and the salam-greeting uttered, the congregation may

again rest for a short while. (The word tarāwīḥ is linked grammatically to istirāḥah, which means

19 Though rare, it happens that this kultum is presented after eight raka’at of traweh prayers, but before the

sholat witir.

20 Surprisingly, most Javanese mosques are poorly ventilated. I once discussed this with a Javanese architect

who revealed that he had trouble concentrating on his prayers as he was distracted by thoughts on how to

improve the air circulation in the mosque. When mosques are crowded as they are at Ramadan and during

Friday prayer, the inadequate ventilation is a strain. A place in the car park may be quite appealing.

21 The liminal character of Ramadan in Java is elaborated in Mo¨ ller (2005). Cf. Buitelaar 1993.

22 This is a condensed intention as there are other extensive versions stating amongst other things the number

of raka’at to be performed.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

10

‘relaxation’ or ‘rest.’) It is not a complete rest, however, since the congregation is expected to

repeat line by line after the muezzin:

astaghfiru llāhu l-ʿazīm

astaghfiru llāhu l-ʿazīm

astaghfiru llāhu l-ʿazīm

allāhu lā ilāha illā llah huwa l-ḥayyu l-qayyūm

rabbanā fī d-dunyā ḥasanah

wa fī l-ākhirati ḥasanah

wa qinā ‘adhāba n-nār

allāhumma ṣalli ʿalā sayyidinā muḥammad

This could be translated as:

1. I ask God the Mighty for forgiveness

2. I ask God the Mighty for forgiveness

3. I ask God the Mighty for forgiveness

4. God – there is no deity save Him, the Ever Living, the Self-Subsistent Fount of all Being

5. O, our Sustainer! Grant us good in this world

6. and good in the life to come,

7. and keep us safe from suffering through the fire.

8. O, God, bless our leader, Muhammad

Lines four to seven are Koranic injunctions.23

The break ends when the muezzin repeats the words say aṣ-ṣalāta sunnata t-tarāwīḥi jāmiʿatan

raḥimakumullāh (see above). The congregation then rises again and performs four more cycles of

traweh prayers, following the imam. The subsequent rest follows the above-mentioned procedure

and then the traweh prayers are over. Before dispersing the congregation, the imam performs three

additional raka’at of witir (I., A. witr) prayers. The performance of sholat witir has the status of

sunnah within Islamic law, but many ulama regard it as close to an obligatory ritual act (Al Sawwaf,

1999: 199). Before the muezzin declares the commencement of these prayers (A. say aṣ-ṣalāta

sunnata l-witri jāmiʿatan raḥimakumullāh), some members of the congregation leave the mosque.

There are two possible explanations for this exit depending on whether they are traditionalists or

modernists. The traditionalists who feel that the traweh prayers have yet to end since there should

be 20 cycles (see below) intend to perform an additional 12 at home before concluding with the

23 Koran 2: 255 and 2: 201 respectively. Note that the Koranic quotes are taken from Asad (1980) which explains

the difference in style in this translated passage.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

11

witir. And the modernists who agree with the imam that the Ramadan prayers should only consist

of eight raka’at return home for more supererogatory but non-traweh prayers before they conclude

that day’s prayers with the witir. In Masjid An-Nur the witir prayers consist of one session of three

raka’at, that is, without salam after two cycles. Immediately after the third raka’at the imam or

muezzin declares in Indonesian that the time has come to state the intent (I. niat) for the next day’s

fast, and invites the congregation to do this collectively by the repeating in Arabic after him:

Nawaytu ṣawma ghadin ʿan adā’i farḍi l-shahri ramaḍāna hādihihi l-sanati farḍān lillāhi taʿālā

(I intend to fast tomorrow due to the religious duty of Ramadan this year, for God the Exalted.)

For children this closing session is also the culmination of the traweh prayers when they

compete with each other in shouting their intent: nawaytu ṣawma, and so on. In the An-Nur mosque,

the intent is uttered in Arabic only, and once done, the congregation disperses rapidly for home. (A

few Muslims remain to recite the Koran, but this aspect will not be dealt with here.) Including the

isya prayers this session would have lasted an hour.

Traweh in the traditionalist Ar-Rahman prayer house

In Musholla Ar-Rahman, the traditionalist prayer house in my neighborhood in Blora, the

arrangement differs from the above.24 This is a very small musholla in a narrow lane adjacent to the

house of its owner and regular imam. As it is not a mosque, no Friday sermons are delivered, and

the place is generally quite calm when it is not Ramadan. There is room for no more than three

rows of seven or eight worshippers. The women have been given an even smaller area to the left of

the actual musholla, in a room that was originally part of the imam’s home. The male and female

sections of the musholla are separated by a concrete wall with a hole for a tiny window.25 The adzan

and the iqomah are similar to those in the modernist mosque mentioned earlier. But the salawat,

filling the time between them, is longer and more musically adorned than the Yogyakartan salawat.

This is due to the beautiful voice of one of the imam’s adult sons, Mas Syafi, who recites and sings

his salawat with great emotional sensitivity. His musical talent when performing salawat and

reciting the Koran has influenced many Muslims in the neighborhood to memorise long sections of

Arabic salawat because they enjoy his performances. Consequently, as Mas Syafi vocally enriches

24 Again, one example suffices here, although references are also made to other traditionalist mosques when

their practices differ from Musholla Al-Rahman.

25 In Blora, the large (traditionalist) town mosque, Masjid Baiturrahman, is divided into a smaller left wing for

the women and a larger right wing for the men during Ramadan. This ensures that women too may perform

their prayers in the desirable first sof (I., line, A. ṣaff) in the mosque. However, some argue (with ḥadīthic support)

that the most desirable place for women in the mosque is the furthest part of their allotted area. There is thus a

tendency for women performing the traweh prayers to choose this area first.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

12

the Ramadan evenings just prior to the isya prayers, men who have already made their way to

Musholla Ar-Rahman join in the singing.

After Mas Syafi has summoned the local Muslims to the sholat isya, the imam stands up and

loudly pronounces the intent for the prayers. This is the first clear sign that we are in a

traditionalist hamlet since modernists state the intent silently, if they state it at all. The obligatory

isya prayers are said quickly and there are no additional sunnah prayers or sermon in the form of a

kultum.26 Instead, Mas Syafi in the role of Bilāl (I. Bilal, the muezzin of the prophet) gently recites an

extended supplication in Arabic before raising his voice to a high pitch to recite the following lines

which are answered by the congregation (I. jama’ah):

Bilal: allāhumma ṣalli ʿalā sayyidinā muḥammad

(O God, bless our leader, Muhammad)

Jama’ah: allāhumma ṣalli wa sallim ʿalayh

(O God, bless and grant him salvation)

Bilal: allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā wa mawlānā muḥammad

(O God, bless our leader and master, Muhammad)

Jama’ah: allāhumma ṣalli wa sallim ʿalayh

(O God, bless and grant him salvation)

Bilal: allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā wa nabiyyinā wa ḥabībinā wa shafīʿinā wa dhukhrinā wa mawlānā muḥammad

(O God, bless our leader, our Prophet, our beloved, our intercessor, our saviour, and master, Muhammad)

Jama’ah: allāhumma ṣalli wa sallim ʿalayh

(O God, bless and grant him salvation)

Bilal: aṣ-ṣalāta sunnata t-tarāwīḥi jāmiʿatan raḥimakumu llāh

(Let us perform the non-obligatory traweh prayers in congregation, in hope that God will extend His Grace

on you all)

Jama’ah: lā ilāha illā llaāh muḥammadun rasūlū llāh

(There is no god but God, Muhammad is the Prophet of God)

While reciting this, the muezzin does not pause between lines for the the jama’ah to respond

with allāhumma ṣalli wa sallim ʿalayh and the effect is a din of reponses. This in turn drowns out the

voice of the muezzin and the congregation only realises the session is over when it see the imam

getting up from his seated position.27

26 In many other traditionalist mosques there is time for both additional sholat sunnah and kultum. These

practices are thus in no way anathema to traditionalist Islam in Java.

27 The situation is not usually this chaotic in traditionalist mosques. In Masjid Baiturrahman, for example, the

prayer session is much like its modernist equivalent as described above. But the fast-paced response between

Bilal and the jama’ah is common in traditionalist mosques.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

13

As the traweh begins, the various Koranic chapters are recited at a rapid pace. The words seem

to float into each other, and the recital itself is kept at a minimum as only the shortest chapters are

recited. The various sholat positions are held for brief moments only ensuring that one raka’at will

be completed quickly. Modernist critics have been known to refer to this accelerated traweh as

sholat ayam (chicken prayers). Watching traditionalists perform these prayers, they say, is like

looking at chickens pecking rice grains on the ground. Before long two raka’at have been performed

and closed by the salam greeting. Whereas the modernists perform the traweh in two lots of four

raka’at, the traditionalists utter the salam after every two raka’at. There is minimal break after the

first two raka’at with just enough time for the muezzin to raise his voice and state: aṣ-ṣalātu jāmiʿah

(A. let us pray congregationally). The responses vary. Some say lā ilāha illā llāh, some repeat the

words of the muezzin, and others are silent. After another two raka’at, there is a slightly longer

pause when the congregation, following the iman, recites three times the following:

Subhāna llāh, wa l-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illā llāh, wa llāhu akbar

(Glory be to God, and All Praise is due to God, and there is no god but God, and God is greater.)28

Before the next two raka’at continues, the imam recites a supplication that is punctuated by

frequent and loud amin (I., A. āmīn, Amen). The traweh prayers are performed in these sequels until

20 raka’at have been carried out. The table below shows how one sequel of four raka’at would

proceed:

1. Bilal: aṣ-ṣalāta sunnata t-tarāwīḥi jāmiʿatan raḥimakum u llāh (with occasional and different answers)

2. First raka’at: Al Fatihah (QS 1) plus additional (variable) Koranic chapter

3. Second raka’at: Al Fatihah plus sūratu l-ikhlāṣ (QS 112)

4. Short pause. Bilal: aṣ-ṣalātu jāmiʿah (with occasional answers)

5. Third raka’at: Al Fatihah plus additional (variable) Koranic chapter

6. Fourth raka’at: Al Fatihah plus sūratu l-ikhlāṣ

7. A little longer pause: subhāna llāh, wa l-ḥamdu lillāh, wa lā ilāha illā llāh, wa llāhu akbar (thrice), plus

supplication

28 In other traditionalist mosques or musholla this formula may take a different form. In Masjid Baiturrahman,

for example, one often hears ashhadu an lā ilāha illa llāh, astaghfiru llāh, allāhumma inni as’aluka l-jannah, wa

a‘ūdhubika mina n-nār (I bear witness that there is no god but God, I ask for forgiveness, O God, I ask for Paradise

and protection from the fire.).

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

14

After five such sequels (20 raka’at) the muezzin announces the conclusion of this evening

session with three witir.29 Unlike modernist mosques and prayer houses, these are not performed

consecutively but are divided into two parts of two and one witir. During the last raka‘at the three

last chapters of the Koran are recited (Koran 112, 113, and 114) in addition to Al Fatihah. This done,

the imam recites yet another extended supplication in Arabic before he invites the congregation to

recite some or all of the following phrases repeated either 3, 9, 20 or ‘infinite’ times:

astaghfiru llāh, li l-mu’minīn wa l-mu’mināt

(God, forgive the believing men and the believing women)

subḥāna llāhhu wa biḥamdih

(Glory be to God, and to Him praise)

lā ilāha illā llāh

(There is no god but God)

wa ilāhukum ilāhun wāḥidun, lā ilāha illā huwa r-raḥmānu r-raḥīm

(And your God is the One God, and there is no god but He, the Most Gracious, the Dispenser of Grace)

lā ilāha illā llāhu waḥdahu lā sharīkalah, lahu l-mulku wa lahu l-ḥamdu yuḥyī wa yumītu wa huwa‘alā kulli shayin

qadīr

(There is no god but God, the One, without any partners, to Him is the kingship and to Him is all praise, He

brings life and He brings death, and He has the power over everything)

allāhumma ṣalli ʿalā sayyidinā muḥammadin ʿabdika wa rasūlika n-nabiyyi l-ummiyyi wa ʿalā ālihi wa aṣḥābihi wa

sallim

(O God, bless our leader, Muhammad, Your servant and prophet, the illiterate apostle, and grant his family

and companions peace)

This zikir (I., A. dhikr, remembrance) vary in form and length each evening as the iman chooses

the subject for recitation and the congregation listens and follows. The choice may be short but

complete Koranic chapters or only certain verses. (The quoted lines above are just a few selected

examples.) These zikir sessions are sometimes referred to in Java as wirid (A. wird), and the two

terms are often used interchangeably. Elsewhere wird are usually strongly connected to specific

29 In some traditionalist mosques, this is the time for pronouncing the intent for the next day’s fast which would

then be announced before the witir prayers. Note also that some traditionalists leave the mosque before the

performance of the witir prayers in order to be able to perform more additional (but non-traweh) sholat at home

before concluding the day with the witir. Similarly, some modernists prefer to leave the mosque after eight

raka’at. In larger traditionalist mosques modernists may leave the congregation after eight raka’at have been

performed which lends support to Mujani’s idea that mosques in Indonesia are inclusive since two Muslim

groups disagreeing on rituals still attend the same mosque (2003: 134). My impression, however, is that

modernists will go to a modernist mosque and traditionalists to a traditionalist one if there is such a mosque

near them.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

15

Sufi masters, and may not be recited without the explicit permission of the relevant shaykh (Denny

2002) but such usage is (among ‘ordinary Muslims’ at least) unknown in Indonesia.

Some mosques in Java have standardised responses for repeating after the traweh prayers.

Their congregation would be aware of them since the local Ramadan committee would have

circulated a short pamphlet containing supplications, zikir, and intents to be learned prior to

Ramadan. One such pamphlet circulating a neighbouring area in Blora during Ramadan in 2002

suggested the following traweh supplication (I. do’a sholat traweh):

Subḥāna l-māliki l-qudūs

(Glory be to the Sovereign, the Most Holy)

Subḥāna l-māliki l-qudūs

(Glory be to the Sovereign, the Most Holy)

Subḥāna l-māliki l-qudūs

(Glory be to the Sovereign, the Most Holy)

subbūhun qudusun rabbunā wa rabbu l-malā’ikati wa r-rūh

(Most Glorious and Most Holy, Lord of the angels and the Spirit)

allāhumma innaka ‘afuwwun karīm, tuḥibu l-ʿafwa fāʿfu ʿannī

(O God, truly You are the Most Forgiving and Most Noble, You love forgiveness, so forgive me)

allāhumma innā nas’aluka riḍāka wa l-jannata wa naʿūdhu bika min sakhatika wa nār

(O God, we ask for Your favours and Paradise, and we seek Your protection from Your discontent and from

the fire).30

When the imam feels that the zikir, wirid, or doa has reached its conclusion, he goes on to invite

the congregation to state the intent for the next day’s fast, first in Arabic and then in Javanese:

Niat ingsun pasa tutuko sedino sesuk anekani ferdhune wulan romadlon ing sak jerone tahun iki ferdhu kerono

miturut dhawuhe Allah (J.).31

The imam or muezzin then starts to sing another salawat accompanied by the congregation

whose members shake hands with each other before going home. This prayer session including the

isya prayers lasts about an hour. As in the modernist mosques, some Muslims remain in the mosque

for the Koran-reading session. School children flock around the imam and the muezzin for their

signatures on the Ramadan school books. These will later be scrutinised by their religious teacher;

the more signatures, the higher the grade.32

30 I have also heard this supplication in modernist mosques in Java.

31 The meaning is identical to that listed above in connection to the modernist traweh prayers.

32 These small books cover a wide range of Ramadan activities that need to be signed and accounted for: fasting,

obligatory sholat, Friday prayers, sholat traweh, tadarus Al Qur’an (reciting the Koran), internalisation of Koranic

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

16

Unity, diversity, and cultural smoothness

Having shown how traweh prayers during Ramadan in Java differ between traditionalists and modernists

one might be tempted to consider the discord as a serious dispute. However, in the words of

a Javanese friend: ‘You should not exaggerate the differences between us, as despite our minor

disagreements, we have much in common.’ He exemplified his argument by stating that all Javanese

Muslims believe in the One God and in the prophethood (I. kerasulan) of Muhammad, and that

all agree on the major ritual duties as well as on the basic theology. We should give this perspective

serious thought.

Almost all Javanese Muslims agree that the traweh prayers are of immense importance to

practicing Muslims and that they can only be performed during the fasting month. They further

agree that these prayers should be performed after the evening prayers but before dawn, and that

they can be performed either individually or congregationally. Their primary disagreement is on

the number of prayer cycles constituting the traweh. Traditionalists argue for 20 raka’at whereas the

modernists settle for eight.

There is also a large number of differences in other forms of ritual behaviour, for example, the

in-between supplications, the salawat, the way men and women are segregated in the mosques, and

the pronouncement of the intention for the prayers. These differences have led observers to depict

the relationship between modernists and traditionalists as one steeped in bitterness, criticism, and

constant feuds. It is possible that such observations were valid for the period of their research.

However, my own observations in the late 1990s and early 2000s do not confirm these views. Instead,

I have observed how smoothly Javanese Muslims handle their differences, and how easily

such differences are overcome. Differences of opinion are common, but the way they are handled

pre-empts large-scale conflicts in society.

This is because the Javanese (Muslims and non-Muslims) lay great stress on rukun (J., harmony)

and slamet (J., tranquility). Public crying and open conflicts are thus rare incidents in Java and

should there be a dispute it is likely that the disagreement is not referred to directly. Woodward

has aptly written that ‘[i]n Java, what is not said, or what is said only by implication, is often at least

as important as what is said directly’ (1993: 567).

The temptation of conflicts and the role of the writer

I could have chosen to portray Islam in Java as riddled with ‘fierce antagonism’ between modernists

and traditionalists (Möller 2005). I could use the example of a conflict between a modernist student

chapters, internalisation of supplications, dawn lectures, dusk lectures, the payment of zakatulfitri, sholat id, and

silaturrahmi. See for example Hariyoto & Budiyono n.d. Children are thus quite busy during Ramadan.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

17

and a traditionalist religious teacher in Blora on the traweh prayers. I could discuss the acrimonious

dispute and accusations of blasphemy between these two Javanese Muslims leading to the teacher

publicly responding to his critic at a special Friday sermon. But I consider this episode as the

exception to the rule.

Such a choice leads to discussions on the role of the writer (read: scholar). It seems that we

(writers, readers, scholars and non-scholars) prefer discord to concord. A book on Palestinian–

Israeli conflicts is likely to attract more readers than one on Palestinian–Israeli agreements. This is

of course partly due to the scholar’s desire to understand problems. But the scholar has a moral

obligation to give a rounded picture and set information in context. When applied to the traweh

issue in Java, we could say that it is our duty to draw attention to certain conflicts that have occurred

(and still occur) in relation to these prayers. It would be dangerous, however, if we allow

these quarrels to characterise the entire Islamic landscape in Java, that is, if we ‘forget’ to write

about all those instances when modernists and traditionalists actually have no problem at all with

ritual diversity. It is my impression that contemporary Javanese Muslims generally accept that

their community is coloured but not plagued by minor ritual differences between various Muslim

groups, and this is especially true for younger and/or well-educated Muslims in Java. Among them,

there is a tendency to regard such diversity as rahmat, as a blessing.

Ph.D. André Möller is the author of

Ramadan in Java: The Joy and Jihad of

Ritual Fasting (2005). He is an independent

anthropologist of religions.

E-mail: andre@dalang.se

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

18

References

Asad, Muhammad. 1980. The message of the Qur’ān: Translated and explained by Muhammad Asad.

Gibraltar: Dar al-Andalus.

Barton, Greg. 1997. Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as intellectual ‘ulamā’:

The meeting of Islamic traditionalism and modernism in neo-modernist thought. Pp. 29-81 in

Studia Islamika 4 (1).

Bell, Catherine. 1997. Ritual: Perspectives and dimensions. Oxford: Oxford University Press.

Bowen, John R. 1989. Salāt in Indonesia: The social meaning of an Islamic ritual. Pp. 600-617 in Man

24 (4).

Bowen, John R. 2000. Imputations of faith and allegiance: Islamic prayer and Indonesian politics

outside the mosque. Pp. 23–38 in David Parkin and Stephen Headley (eds.), Islamic prayer across

the Indian ocean: Inside and outside the mosque. Richmond: Curzon Press,.

Buitelaar, Marjo. 1993. Fasting and feasting in Morocco: Women’s participation in Ramadan. Oxford

and Providence: Berg Publishers.

Burhanuddin. 2002. Runtuhnya Tesis Santri-Abangan. Republika, 26 October.

Cederroth, Sven. 1995. Survival and profit in rural Java: The case of an East Javanese village. Richmond:

Curzon Press.

Denny, Frederick M. 2002. Wird. Pp. 209-10 in Encyclopaedia of Islam, vol. 11. 2nd edition. Leiden: E.J.

Brill.

Drewes, G.W.J. 1968. New light on the coming of Islam to Indonesia? Pp. 433–59 in Bijdragen tot de

Taal-, Land- en Volkenkunde 124 (4).

Federspiel, Howard M. 2001. Islam and ideology in the emerging Indonesian state: The Persatuan Islam

(PERSIS), 1923 to 1957. Leiden: Brill.

Fuad, Muhammad. 2002. Civil society in Indonesia: The potentials and limits of Muhammadiyah. Pp.

133–63 in Sojourn 17 (2).

Geertz, Clifford. 1960. The religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

Hariyoto and Untung Budiyoto. n.d. Buku kegiatan Ramadhan. Yogyakarta: PT Muria Baru.

Hefner, Robert W. 1987. Islamizing Java? Religion and politics in rural East Java. Pp. 533–54 in Journal

of Asian Studies 46 (3).

Hefner, Robert W. 1997. Islam in an era of nation-states: politics and religious renewal in Muslim

Southeast Asia. Pp. 3–40 in Robert W. Hefner and Patricia Horvatich (eds.), Islam in an ra of nation-

states: Politics and religious renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i

Press

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

19

Hilmy, Masdar. 1998. Cultural acculturation of Javanese Islam: A critical study of the slametan ritual.

Pp. 14-32 in Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies XII (62).

al-Jaziri, Abdulrahman. 1995. Puasa menurut empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syaf‘i, Hanbali. Translated

into Indonesian by Husni Syawie. Originally published as Al-fiqh ‘al a‘l-madhāhib al-arba’ah:kitāb

as-siyām. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

Johns, Anthony H. 1961. Sufism as a category in Indonesian literature and history. Pp. 10–23 in

Journal of Southeast Asian History 2 (2)

King, Victor T. and William D. Wilder. 2003. The modern anthropology of South-East Asia: An introduction.

London and New York: Routledge Curzon.

Leur, J.C. van 1955. Indonesian trade and society. The Hague: W. van Hoeve.

Madjid, Nurcholish. 1994. Islamic roots of modern pluralism, the Indonesian example. Pp. 55–77 in

Studia Islamika 1(1)

Möller, André. 2004. Inte alla djävlar fängslas under ramadan: Den tillfälliga islamiseringen av

TV-utbudet i Indonesien under fastan.’ I RIT – Religionsvetenskaplig Internettidsskrift, nr. 8,

September. khttp://www.teol.lu.se/rit/pdf/8/moller.pdfl

Möller, André. 2005. Ramadan in Java: The joy and jihad of ritual fasting. Lund Studies in History of

Religions, vol. 20. Stockholm: Almqvist & Wiksell International (Ph.D. thesis).

Muhaimin, A.G. 1996. God and spiritual beings in the Cirebon-Javanese belief system: a reluctant

contribution against the syncretic argument. Pp. 23–57 in Studia Islamika 3 (2)

Mujani, Saiful. 2003. Religious democrats: Democratic culture and Muslim political participation in post-

Suharto Indonesia. PhD thesis. Ohio State University.

Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Menguji tesis abangan-santri. Republika, 19 October.

Nelson, Kristina. 2001. The art of reciting the Qur’an. Cairo: American University in Cairo.

Olsson, Tord. 2000. De rituella fälten i Gwanyebugu. Pp. 9-63 in Svensk Religionshistorisk Årsskrift (9).

Republika. 2002. PPIM Runtuhkan tesis Geertz soal dikotomi santri-abangan. 10 October.

Riddell, Peter. 2002. The diverse voices of political Islam in post-Suharto Indonesia. Pp. 65–84 in

Islam and Christian–Muslim Relations 13 (1).

Rifa’i, Moh. 1976. Risalah tuntunan shalat lengkap. Semarang: Toha Putra.

Roff, William R. 1985. Islam obscured? Some reflections on studies of Islam and society in Southeast

Asia. Pp. 7–34 in Archipel 29.

Saleh, Fauzan. 2001. Modern trends in Islamic theological discourse in 20th Century Indonesia. Leiden:

Brill.

al-Sawwaf, Muhammad Mahmud. 1999. Pendidikan shalat. Jakarta: Bima Citra. Translated into

Indonesian from Arabic by Tarmizi Jamal.

Smith, Wilfred Cantwell. 1979. Islam in modern history. Princeton: Princeton University Press.

© The author, Indonesia and the Malay World, and anpere

ISSN 1653-6355.

Published 2006-05-04

20

Woodward, Mark. 1989. Islam in Java: Normative piety and mysticism in the sultanate of Yogykarta.Tucson:

University of Arizona Press.

Woodward, Mark. 1993. Textual exegesis as social commentary: Religious, social, and political

meanings of Indonesian translations of Arabic hadīth texts. Pp. 565–83 in Journal of Asian Studies

52 (3).

Woodward, Mark. 1996. Talking across paradigms: Indonesia, Islam, and Orientalism. Pp. 1–45 in

Mark R. Woodward (ed.), Toward a new paradigm: Recent developments in Indonesian Islamic

thought. Tempe: Arizona State University.

Woodward, Mark. 2001. Indonesia, Islam, and the prospect for democracy. Pp. 29–37 in SAIS Review

XXI (2).

al-Zuhayly, Wahbah. 1995. Puasa dan iktikaf: Kajian berbagai mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Translated into Indonesian by Agus Effendi and Bahruddin Fannany. Originally published as Alfiqh

al islām wa ‘adillatuh. Damaskus: Dara al-Fikr.

Zuhri, Minan. 1956. Tuntunan shalat lengkap dan wiridan dan shalat-shalat sunat. Kudus: Menara

Kudus.

Shalat witir

Shalat witir adalah shalat yang dikerjakan pada malam hari yang rakaatnya ganjil. Hal ini sesuai dengan yang terkandung dalam kata "witir", yaitu "ganjil. Jumlah rakaatnya boleh 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, atau 11 rakaat. Jadi paling sedikit 1 rakaat dan paling banyak 11 rakaat.



Hukum shalat witir adalah sunat mu'akkad. Shalat witir ini -sangat dianjurkan untuk dikerjakan setiap malam sebejum tidur (setelah shalat isya) atau setelah shalat tahajud, walaupun hanya 1 rakaat. Jadi shalat witir ini tidak hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan (setelah shalat tarawih). Shalat witir dikerjakan sendiri-sendiri (tidak berjamaah), kecuali pada malam bulan Ramadhan.



Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya sampai terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh). Sedangkan pada bulan Ramadhan-waktunya setelah shalat tarawih. Jadi shalat witir-boleh dikerjakan di awal malam (setelah shalat isya), tecapi yang paling utama di akhir malam. Karena shalat di akhir malam disaksikan oleh malaikat Seseorang yang telah mengerjakan shalat witir sebelum tidur, ketika telah bangun dari tidur boleh mengerjakan shalat tahajud, atau shalat sunat lainnya.



Khusus pada shalat witir yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan (mulai dari pertengahan sampai akhir Ramadhan), disunatkan membaca doa kunut, yang tempatnya pada rakaat terakhir sebelum sujud.



Cara mengerjakan shalat witir sama dengan cara mengerjakan shalat fardhu. Perbedaannya hanya pada niat. Shalat witir, jika lebih dari 1 rakaat (3, 5, 7, 9, dan 11), sebaiknya dikerjakan 2 rakaat 2 rakaat (setiap 2 rakaat satu kali salam). Sedangkan yang terakhir boleh 3 rakaat satu kali salam, boleh pula 1 rakaat.

Adapun niat shalat witir adalah:

Jika 1 rakaat:

USHALLIISUNNATAL WITRI RAK'ATAN LILLAAHI TA'AALAA.

Artinya: (di dalam hati pada saat takbiratul ihram!)

"Aku (niat) shalat sunat witir 1 rakaat, karena Allah Ta'alar



Jika 2 rakaat:



USHALLII SUNNATAL WITRI RAK'ATAINI LILLAAHITA' AALAA.

Artinya: . "Aku (niat) shalat sunat witir 2 rakaat, karma Allah Ta'alar



Jika 3 rakaat:



USHALLn SUNNATAL WITRI TSALAATSA RAKA'AATIN LILLAAHI TA'AALAA,

Artinya:

"Aku (niat), shalat sunat witir 3 rakaat, karena Allah Ta'ala."



Bila berjamaah (khusus pada malam bulan Ramadhan sebelum kata "LILLAAHI TA'AALAA" ditambah dengan kata "MA'MUUMAN" (mengikut imam).

Jika menjadi makmum, atau kata "IMAAMAN" (menjadi imam), jika bertindak sebagai imam.



Adapun surat yang dibaca sesudah Al-Fatihah, boleh surat apa saja yang dikuasai. Akan tetapi sebaiknya dibaca: pada rakaat, pertama surat Al-A'laa, rakaat kedua AI-Kaafiruun, dan rakaat ketiga Al-Ikhlash, AI-Falaq dan An-Naas (dibaca berturut-turut). Setelah selesai mengerjakan shalat witir, dilanjutkan dengan membaca doa, yaitu:



ALLAAHUMMA INNAA NAS'ALUKA IMAANAN DAA-IMAN, WA NAS'ALUKA QALBAN KHAASYAN, WA NAS'ALUKA "ILMAN NAAFI'AN, WA NAS'ALUKA YAQIINAN SHAADIQAN, WA NAS'ALUKA 'AMALAN SHAALIHAN, WA NAS'ALUKA DIINAN QAYYIMAN, WA NAS'ALUKA KHAIRAN KATSHRAN, WA NAS'ALUKAL 'AFWA WAL 'AAFIYAH, WA NAS'ALUKA TAMAAMAL AAFIYAH, WANAS'ALUKASYS YUKRA ALAL AAFIYAH, WA NAS'ALUKAL GrilNAA 'ANINNAAS. ALLAAHUMMA RABBANAA TAQABBAL MINNAA SHALAATANAA WA-SHIYAAMANAA WA QIYAAMANAA WATAKHASY-SYU'ANAA WA TADHARRU'ANAA WA TA'ABBUDANAA WA TAMMIM TAQSHIIRANAA, YAA ALLAAHU YAA ALLAAHU YA ALLAAHU YAA ARHAMAR RAAHIMI WASHALLALLAAHU 'ALAA KHAIRI KHALQIHI MUHAMMADIN WA 'ALAA AALIHI WA SHAHBIHI AJMA'IINA WAL HAMDU LILLAAHIRABBIL 'AALAMIIN.

Artinya:

"Wahai Allah! Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu iman yang tetap, kami memohon kepada-Mu hati yang khusyu', kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, kami memohon kepada-Mu keyakinan yang benar, kami memohon kepada-Mu amal yang shaleh, kami memohon kepada-Mu agama yang lurus, kami memohon kepada-Mu kebaikan yang banyak, kami memohon kepada-Mu ampunan dan afiat, kami memohon kepada-Mu kesehatan yang sempurna, kami memohon kepada-Mu syukur atas kesehatan, dan kami memohon kepada-Mu terkaya dari semua manusia. Wahai Allah, Tuhan kami! Terimalah dari kami shalat kami, puasa kami, shalat malam kami, kekhusyu'an kami, kerendahan hati kami, ibadah kami, Sempurnakanlah kelalaian (kekurangan) kami, wahai Allah, wahai Allah, wahai Allah, wahai Zat Yang Paling Penyayang di antara para penyayang, Semoga rahmat Allah tercurahkan kepada sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad, keluarga dan sahabatnya semua, dan segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam"

Posted by BangSArif at 11:25 AM





Shalat tahajud

Shalat tahajud adalah shalat yang dikerjakan pada malam hari setelah tidur, walaupun tidurnya hanya sebentar. Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata "tahajjud", yaitu "bangun dari tidur". Jadi syarat untuk melaksanakanshalat tahajud adalah "telah tidur sebelumnya", walau sebentar.

Hukum shalat tahajud adalah sunat mu'akkad, yaitu sangat dianjurkan, sebab menurut hadits nabi, shalat yang paling utama dikerjakan setelah shalat fardhu adalah shalat tahajud.

Jumlah rakaat shalat tahajud minimal 2 rakaat, dan maksimal tidak terbatas.



Jadi shalat tahajud boleh dikerjakan berapa saja, sekuatnya. Rasulullah saw pernah mengerjakan shalat tahajud sebanyak 10 rakaat ditambah 1 rakaat sunat witir, 8 rakaat ditambah 1 rakaat sunat witir, dan 8 rakaat ditambah 3 rakaat sunat witir. Jadi dalam melaksanakan shalat tahajud sebaiknya ditambah dengan shalat sunat witir.

Shalat tahajud ini hendaknya dikerjakan 2 rakaat 2 rakaat (2 rakaat salam). Sedangkan shalat sunat witirnya, jika dikerjakan lebih dari satu rakaat, misalnya 3 rakaat,boleh dikerjakan sekaligus dengan satu salam, boleh pula dikerjakan 2 rakaat dahulu, kemudian 1 rakaat sisanya.



Adapun waktu pelaksanaan shalat tahajud adalah setelah bangun dari tidur dan setelah shalat isya, baik di awal malam (sepertiga malam pertama antara waktu Isya dan pukul 22.00 WIB), tengah malam (sepertiga malam kedua, antara pukul 22.00 dan pukul 01.0.0 WIB), maupun akhir malam (sepertiga malam yang terakhir, antara pukul 01.00 dan menjelang subuh). Sepertiga malam yang terakhir inilah waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat tahajud. Karena menurut hadits nabi, pada waktu itu rahmat Allah turun, sehingga barang siapa berdoa akan dikabulkan, barang siapa meminta akan diberikah, dan barang siapa memohon ampun akan diampuni oleh Allah.



Cara pelaksanaan shalat tahajud sama dengan cara pelaksanaan shalat fardhu, baik gerakan maupun bacaannya. Perbedaannya hanyalah pada niat.

Niat shalat tahajud adalah:



USHALLIISUNNATATTAHAJJUDI RAK'ATAINI LILLAAHI TA'AALAA.

Artinya: (di dalam hati pada saat takbjratul ihram).

"Aku (niat). shalat sunat tahajud 2 rakaat, karena Allah Ta'ala"



Setelah selesai melaksanakan shalat tahajud, dilanjutkan dengan shalat sunat witir.



Setelah itu dilanjutkan dengan membaca doa berikut, yaitu:



ALLAAHUMMA LAKAL HAMDU ANTA QAYYIMUS SAMAA WAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA MALIKUS SAMAA WAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA NUURUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTAL HAQQU, WA WA'DUKAL HAQQU, WA LIQAA'UKA HAQQUN, WA QAULUKA HAQQUN, WAL JANNATU HAQQUN, WANNAARU HAQQUN, WANNABIYYUUNA HAQQUN, WA MUHAMMADUN SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAMA HAQQUN WASSAA'ATU HAQQUN. ALLAAHUMMA LAKA ASLAMTU, WA BIKA AAMANTU, WA 'ALAIKA TAWAKKALTU, WA ILAIKA ANABTU, WA BIKA KHAASHAMTU, WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGHFIRLII MAA QADDAMTU, WA MAA AKH-KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA A'LANTU, WA MAA ANTA A'LAMU BIHIMINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA ANTAL MU'AKHKHIRU, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAR

Artinya:

"Wahai Allah! Milik-Mu lah segala puji. Engkaulah penegak dan pengurus langit dan bumi serta makhluk yang ada di dalamnya. Milik-Mu lah segala puji. Engkaulah penguasa (raja) langit dan bumi serta makhluk yang ada di dalamnya. Milik-Mu lah segala puji. Engkaulah cahaya langit dan bumi serta makhluk yang ada di dalamnya. Milik-Mu lah segala puji. Engkaulah Yang Hak (benar),janji-Mu lah yang benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, perkataan-Mu benar, surga itu benar (ada), neraka itu benar (ada), para nabi itu benar, Nabi Muhammad saw itu benar, dan hari kiamat itubenar(ada). Wahai Allah! Hanya kepada-Mu lah aku berserah diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakkal hanya kepada-Mu lah aku kembali, hanya dehgan-Mu lah kuhadapi musuhku, dan hanya kepada-Mu lah aku berhukum. Oleh karena itu ampunilah segala dosaku, yang telah kulakukan dan yang (mungkin) akan kulakukan, yang kurahasiakan dan yang kulakukan secara terang-terangan, dan dosa-dosa lainnya yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkaulah Yang Maha Terdahulu dan Engkaulah Yang Maha Terakhir. tak ada Tuhan selain Engkau, dan tak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah."



(Dalam membaca doa di atas, dan doa-doa lainnya, sebaiknya diawali dengan membaca "hamdalah" dan "shalawat kepada Nabi Muhammad", serta diakhiri dengan "hamdalah" pula, seperii doa setelah shalat Fardhu).



Setelah selesai membaca doa, hendaklah dilanjutkan dengan membaca istighfar sebanyak-banyaknya. Istighfar yang dibaca adalah:



ASTAGHFIRULLAAHALA AZHIIM. ALLADZII LAA ILAAHA ILLAA HUWAL HAYYUL QAYYUUMU WA ATUUBUILAIH.

Artinya:

"Akumemohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung,yang tak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya"

Atau boleh pula dibaca istighfar berikut:



ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHATLAA ANTA, KHALAQTANII WA ANA 'ABDUKA, WA ANA 'ALAA AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU. A'UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANATU, ABUU'U LAKA BINI'MA-TIKA 'ALAYYA WA ABUU'U BIDZANBII, FAGHHRLII, FA INNAHUU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUB AILLAA ANTA.

Artinya:

"Wahai Allah! Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku pun berada dalam janji-Mu, menurut kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa saja yang telah kulakukan. Kuakui kepada-Mu nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kuakui dosaku. Karena itu ampunilah aku, karena tak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau"

__________________________________________________________________________________

Khamis, 27 Disember 2007

069 - Antara Solat Hajat Dan Doa Qunut Nazilah

Antara Solat Hajat Dan Doa Qunut Nazilah

Mengimbas isu-isu semasa yang timbul...,



Semenjak akhir-akhir ini, kita seluruh umat Islam sama ada di negara sendiri mahu pun di luar dari negara kita, telah didatangkan dengan pelbagai ujian dan mungkin juga musibah yang pelbagai sekali. Antara musibah yang saya maksudkan adalah berkaitan isu Lina Joy yang memohon menukar nama kerana telah murtad, yang mana sekaligus membawa kepada pihak-pihak tertentu yang lain (yang memusuhi Islam) melakukan tuntutan untuk meminda undang-undang syariah yang berfungsi melindungi Islam di Malaysia. Dan kemudiannya, timbul pula krisis di Palestine yang secara tiba-tiba semakin memuncak, ditambah pula isu serangan Hizbullah terhadap Israel daripada Lubnan sekaligus mengundang konflik serangan balik Israel ke atas masyarakat Islam di Lubnan. Disamping, isu-isu berbangkit yang lain, seperti krisis Iraq, Afghanistan, palestine dan lain-lain yang seumpamanya.



Maka, kita sebagai insan yang beriman dan bertaqwa (insyaALLAH), dengan berhempas pulas bergantung kepada ruang yang ada, sedaya upaya berusaha untuk membela umat Islam seluruhnya dalam isu-isu yang sepertinya ini. Namun…



Tapi, entah mengapa, secara tiba-tiba budaya solat hajat menjadi begitu berleluasa di seluruh negara. la berpunca daripada sikap kebanyakan orang yang bertaqlid buta dan beramal tanpa ilmu serta anjuran oleh sesetengah tokoh masyarakat yang mengadakannya kononnya untuk mendidik masyarakat tentang kewujudan solat al-haajah (solat hajat).



Sepatutnya jika sesesorang itu benar-benar mempunyai sesuatu keperluan maka adalah tanggungjawab individu tersebut bangun di penghujung malam (sebagai alternatif) lalu berdoa kepada Allah secara individu. Jika dia inginkan seseorang yang alim atau sahabat-sahabatnya turut mendoakannya bolehlah dia meminta mereka mendoakan untuknya. Perbuatan-perbuatan ini adalah berasal dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam (saw) dan para sahabatnya. Dan dari satu sudut yang lain pula, nabi bersama-sama para sahabat melakukan doa melalui Qunut Nazilah di dalam setiap solat fardhunya, apabila datangnya kesusahan seperti peperangan atau penindasan kaum kafir ke atas umat Islam.



Berikut, kita rujuk terlebih dahulu dalil-dalil berkaitan solat hajat,



Adapun solat al-haajah, bagi mereka yang menganggapnya sunnah maka biasanya mereka akan berdalilkan hadith-hadith berikut:



a. Dari 'Abdillah ibn Abi Aufa meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada seseorang makhluq-Nya, maka hendaklah dia berwudhu' dengan mengelokkan wudhu'nya dan bersolat dua raka'at, dan kemudiannya memuji Allah dan berselawat ke atas Rasulullah SAW lalu hendaklah dia membaca do'a ini. La Ilaha iIIAIIah al-Halim al-Karim, SubhanAllah rabb al-'Arsh al-'Adzim (du'a ini tidak disalin semua)" (at-Tirmidzi, Kitab as-Solah, Ma jaa'a fi solaah al-haajah - Dho'if sunan at-Tirmidzi, no. 73)



Hadith ini dimasukkan oleh Imam Ibn al-Jawzi di dalam kitabnya al-Maudhu'at (iaitu kumpulan hadith-hadith palsu) akan tetapi ia dihukum oleh Shaykh al-Albani dalam Dha'if Sunan at-Tirmizi sebagai sangat dha'if. Ini adalah kerana di dalam silsilah perawi hadith ini ada seorang yang bernama Faid bin Abd al-Rahman. Dia sangat dho'if, dikatakan Mungkar al-Hadith oleh Imam al-Bukhari, Matruk (Ditinggalkan hadithnya tanpa ber'amal dengannya) oleh Imam Ahmad, Dho'if oleh Yahya ibn Ma'iin,



Hadith Kazhib (Hadithnya Bohong) oleh Abu Hatim al-Razi. Maka hadith ini tidak boleh dijadikan hujjah pensyari'atan solat hajat.



b. Dari 'Abdillah bin Abi Awfa al-Aslamiy bahawa satu hari telah keluar kepada kami Rasulullah SAW maka baginda bersabda,



"Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada seseorang makhluq-Nya, maka hendaklah dia berwudhu' dengan mengelokkan wudhu'nya dan bersolat dua raka'at, dan (perhatikan perbezaan matan hadith ini dengan yang sebelumnya, di mana di dalam hadith ini tiada terdapat suruhan agar memuji Allah dan berselawat di atas junjungan Rasulullah SAW) kemudiannya hendaklah dia membaca doa ini. La Ilaha iIIAIIah al-Halim al-Kariim, SubhanAllah rabb al-'Arsh al-'Aziim (doa ini tidak disalin semua) kemudian dia meminta dari Allah akan perkara-perkara dunia dan akhirat, apa sahaja yang dia kehendaki, Sesungguhnya Dialah yang menentukan (ini juga merupakan penambahan di dalam riwayat yang sebelum ini)" (Diriwayatkan oleh Ibn Majah, Kitab Iqamah as-Solah wa as-Sunnah fiiha, Ma jaa'a fi solah al-haajah - Dho'if Sunan Ibn Maajah, no. 293)



Hadith ini juga terdapat penyakit iaitu Faid bin Abd al-Rahman sebagaimana yang sebelumnya. Maka hadith ini juga tidak sah dijadikan hujjah.



c. Dari Abi Ad-Darda' Radyiyallahu 'anhu (RA) bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Sesiapa yang berwudhu' lalu diperelokkan wudhu'nya, kemudian dia menunaikan solat 2 raka'at dengan sempurna, nescaya Allah memberikan apa yang dimintanya, sama ada cepat atau lambat (hadith ini tidak diterjemah sepenuhnya)" (Diriwayatkan oleh Ahmad, Musnad al-Qoba'il)



Hadith ini pada silsilah periwayatnya ada seorang yang bernama Maimun atau Abu Muhammad al-Mara'ii at-Tamimi, seorang yang majhul yang tidak diketahui siapakah gerangannya oleh 'ulama' hadith. Malah di dalamnya juga ada Yahya ibn Abi Kathir. Beliau adalah tsiqah tetapi terkadang dia meriwayatkan hadith secara mudallas dan terkadang dia meriwayatkan hadith dengan terputus sanad (Mursal). Jadi terdapat satu perawi yang majhul dan satu lagi yang ada mempunyai kes-kes yang tidak enak di dalam meriwayatkan hadith. Jadi, ia juga dho'if lalu tidak boleh dijadikan hujjah.



d. Dari 'Uthman bin Hunaif RA, bahawa telah datang kepada Rasulullah SAW seorang yang buta matanya seraya berkata, “Ya Rasulallah! Doakan kepada Allah untuk saya supaya Dia menyembuhkan saya.” Rasulullah SAW bersabda, “Jika engkau mahu, (doakan segera) maka akan aku doakan untukmu dan jika kamu mahu, kamu boleh bersabar dan ianya (bersabar) lebih baik bagi kamu.” Lelaki itu menjawab, “Doakanlah!” Maka Rasulullah SAW menyuruhnya supaya berwudhu' dengan elok lalu bersolat dua raka'at dan berdoa dengan doa ini, “Allahumma Inni asaluKa wa atawajjahu ilaika binabiyyika Muhammad Nabiy ar-rahmah. Inni tawajjahtu bika ila rabbi fi hajati hazihi lituqdha liyy. Allahumma fashaffi'hu fiya” (Hadith Hassan Sahih Gharib - at-Tirmizi: Kitab ad-Da'awat 'an Rasulillah, fi Du'aa' ad-Dho'iif. Ibn Majah: Kitab Iqamah as-Solah wa as-Sunnah fiha)



Hadith inilah merupakan hadith yang paling sohih berbanding hadis-hadis yang lain dalam menjadikan hujjah sebagai pensyari'atan solat hajat. Akan tetapi doanya tentulah tidak sesuai diamalkan kerana ia bersangkutan dengan tawassul kepada Nabi pada masa hidupnya.



Adapun sekarang, Rasulullah SAW telah pun wafat. Maka tidak boleh lagi bertawassul melalui baginda.



Jika dilihat dari hadith-hadith di atas, sama ada yang dho'if atau pun yang sahih, ia dilakukan sendiri oleh tuan empunya hajat. Rasulullah SAW, walaupun pada ketika itu masih hidup dan ada bersama lelaki yang buta itu, akan tetapi baginda tetap tidak mendirikan solat itu bersama-sama dengannya malah baginda menyuruh si buta itu sendiri melaksanakan solat untuk memohon hajatnya kepada Allah secara langsung. Cuma do'anya sahaja bertawassulkan kepada Rasulullah SAW (ketika hidup) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sendiri.



Solat ini di dalam mazhab asy-Syafi'ie diletakkan di bawah solat naafil (sunnat) yang didirikan secara individu. Solat nafil yang didirikan secara berjama'ah adalah seperti Solat 'Eid al-fitr dan Solat 'Eid al-Adha (solat raya), solat Istisqo' (solat minta hujan) serta solat gerhana. Solat al-haajah ini tidak diletakkan di bawah solat nafil yang dilakukan secara berjama'ah dan seelok-eloknya ia dilakukan secara individu.



Demikianlah yang diketahui dan diajar oleh para 'ulama' zaman-berzaman. Manusia yang paling hebat diuji oleh Allah adalah para Nabi-nabi 'alayhimussolatu wassalam bertepatan dengan sabdaan Nabi SAW dalam sebuah hadith yang sohih: "Sesungguhnya di antara sedahsyat-dahsyat manusia yang diberi balaa' (ujian) adalah para anbiyaa', kemudiannya adalah orang yang selepasnya (dari segi keimanan) dan kemudian adalah yang selepasnya." (Riwayat Ahmad, al-Musnad) (al-Haithami, Majma' az-Zawwa'id) ( Silsilah al-Ahaadith as-Sahiihah, no. 145, 3267, 1165) (diriwayatkan hadis ini juga oleh beberapa perawi lain dengan lafaz yang sedikit berbeza)



Nabi Muhammad saw dan para sahabat sendiri telah melalui pelbagai keadaan di zaman mereka seperti:



a) Peristiwa penyiksaan ke atas Bilal, Khabbab dan para sahabat yang lain.

b) Pemboikotan ekonomi ke atas kaum Muslimin

c) Kejadian ba'iah ridhwan selepas 'Uthmaan tidak pulang ke pangkuan kaum Muslimin.

d) Berpuluh-puluh misi ketenteraan

e) Peristiwa hadith al-ifk yang menimpa 'Aisyah

f) Peristiwa pengepungan ke atas kota Madeenah oleh tentera Ahzaab

g) Peristiwa pembunuhan 'Uthman

h) Peristiwa perang saudara di antara Mu'awiyyah dan 'Ali



Walaupun terdapat begitu banyak dugaan dan cabaran yang menimpa kaum Muslimin di zaman Nabi SAW dan para sahabat namun tidak pernah sekali pun kita mendengar Nabi saw atau para sahabat-sahabatnya menganjurkan solat haajah (malahan secara berjama'ah) sebagaimana yang dibudayakan oleh kebanyakan orang Melayu pada hari ini. Di sesetengah masjid di Negara kita, hampir tiap-tiap malam diadakan majlis solat haajah berjama'ah ini untuk pelbagai sebab yang mendatang. Ini tidak lain adalah rekaan dalam 'ibadah yang semua kaum Muslimin perlu menghindarinya. Sesungguhnya yang terbaik itu adalah dalam mengikuti Sunnah dan menjauhi bid'ah.



Berikut pula adalah kupasan berkaitan dalil Doa Qunut (Nazilah),



Hadis daripada Ibnu Abbas RA:

Ertinya: Rasulullah berqunut sebulan terus menerus dalam solat zuhur, asar, magrib, isyak dan subuh di akhir tiap-tiap kali solat apabila ia berkata "sami'allahu liman hamidah" dari rakaat akhir, beliau mendoakan kehancuran ke atas penduduk kabilah bani salim, kabilah ra'lun, zakwan dan 'Ushyayyah dan orang-orang yg dibelakang mengaminkannya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud & Imam Ahmad)



Rasulullah berbuat demikian kerana kabilah-kabilah tersebut mengaku memeluk islam dan meminta kpd Rasul SAW supaya menghantar kepada mereka guru-guru yang akan mengajar mereka. Rasulullah SAW lalu menghantar 70 orang guru tetapi mereka membunuhnya maka oleh kerana itulah Rasulullah SAW berqunut nazilah. Abu hurairah RA meriwayatkan bahawa Rasulullah apabila hendak berdoa untuk kehancuran seseorang atau untuk kebaikan seseorang, beliau akan berqunut selepas rukuk.



Daripada hadis di atas juga bacaan doa Qunut sebenarnya tidak dihadkan kepada ketika solat subuh sahaja, sebagaimana hadis yang berikut:



Ertinya: “Bahawasanya Nabi SAW tidak berqunut di dalam solat subuh melainkan apabila ia mendoakan kebaikan kpd satu kaum ataupun kehancuran satu kaum. (Diriwayatkan oleh Ibnu hibban, dan Ibnu Khuzaimah)

Imam asy-Syaukani pula mengatakan supaya jangan dikhususkan qunut itu di dalam satu solat sahaja tanpa dilakukan di dalam solat-solat (fardhu) yang lain.



“Adalah Rasulullah SAW tidak berqunut melainkan apabila beliau berdoa untukk kebaikan seseorangg atau mendoakan kehancuran seseorang. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban daripada Abu Hurairah)



Kesimpulan,



Maka daripada situasi yang kita hadapi sekarang dan berpandukan kepada dalil yang telah kita lihat. Qunut nazilah adalah lebih utama (jelas akan kesahihan dalilnya dan tanpa perselisihan ulama) berbanding melakukan solat hajat. Jadi, adalah lebih utama jika kita semua seluruh masyarakat Islam di mana jua, agar bersama-sama mengamalkan Qunut Nazilah bagi mendoakan kesejahteraan saudara seagama kita dan mendoakan kehancuran musuh-musuh kita.



Wallahua'lam.



An-Nawawi (Artikel Ini disusun Ketika Kira-kira Dua Tahun Yang Lalu)

dimensi83@hotmail.com

Jumat, 07 Mei 2010 20:01 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam





Segala puji bagi Allah, Rabb yang mengatur malam dan siang. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Pada kesempatan kali ini kami akan menyajikan panduan singkat shalat witir. Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)

Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.

Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.

Hukum Shalat Witir

Menurut mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan).

Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa shalat witir itu wajib bagi orang yang punya kebiasaan melaksanakan shalat tahajud.[1] Dalil pegangan beliau barangkali adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)

Waktu Pelaksanaan Shalat Witir

Para ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar. Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh (terbit fajar), maka itu tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)

Ibnu ‘Umar mengatakan,

مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir shalat malamnya adalah witir karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Dan jika fajar tiba, seluruh shalat malam dan shalat witir berakhir, karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalat witirlah kalian sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?

Jawabannya, waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ.

“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim no. 745)

Disunnahkan –berdasarkan kesepakatan para ulama- shalat witir itu dijadikan akhir dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)

Yang disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat) bangun di akhir malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)

Dari Abu Qotadah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, " Kapankah kamu melaksanakan witir?" Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, "Kapankah kamu melaksanakan witir?" Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, "Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati." Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat." (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jumlah Raka’at dan Cara Pelaksanaan

Witir boleh dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.

Pertama: witir dengan satu raka’at.

Cara seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

“Witir adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka'at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka'at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka'at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud no. 1422. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kedua: witir dengan tiga raka’at.

Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.

Dalil cara pertama:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalil cara kedua:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)

Ketiga: witir dengan lima raka’at.

Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus dan tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, ia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Muslim no. 737)

Keempat: witir dengan tujuh raka’at.

Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan salam. Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.

Kelima: witir dengan sembilan raka’at.

Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.

Dalil tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah mengatakan,

كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ

“Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)

Qunut Witir

Tanya: Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?

Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[2]]

Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.

Al Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Allahummahdiini fiiman hadait, wa'aafini fiiman 'afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a'thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho 'alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata'aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Bagaimana Jika Luput dari Shalat Witir?

Tanya: Apakah shalat witir itu wajib? Apakah kami nanti berdosa jika suatu hari kami mengerjakan shalat tersebut dan di hari yang lainnya kami tinggalkan?

Jawab: Hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Oleh karenanya sudah sepatutnya setiap muslim menjaga shalat witir ini. Sedangkan orang yang kadang-kadang saja mengerjakannya (suatu hari mengerjakannya dan di hari lain meninggalkannya), ia tidak berdosa. Akan tetapi, orang seperti ini perlu dinasehati agar ia selalu menjaga shalat witir. Jika suatu saat ia luput mengerjakannya, maka hendaklah ia menggantinya di siang hari dengan jumlah raka’at yang genap. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput dari shalat witir, beliau selalu melakukan seperti itu. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Jika beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat melakukannya di malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat” (HR. Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya melaksanakan shalat malam sebanyak sebelas raka’at. Beliau salam setiap kali dua raka’at, lalu beliau berwitir dengan satu raka’at. Jika luput dari shalat malam karena tidur atau sakit, maka beliau mengganti shalat malam tersebut di siang harinya dengan mengerjakan dua belas raka’at. Inilah maksud dari ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tadi. Oleh karena itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan shalat di malam hari sebanyak lima raka’at, lalu ia ketiduran atau luput dari mengerjakannya, hendaklah ia ganti shalat tersebut di siang harinya dengan mengerjakan shalat enam raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at. Demikian pula jika seseorang biasa shalat malam tiga raka’at, maka ia ganti dengan mengerjakan di siang harinya empat raka’at, ia kerjakan dengan dua kali salam. Begitu pula jika ia punya kebiasaan shalat malam tujuh raka’at, maka ia ganti di siang harinya dengan delapan raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, ditandangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku Ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku Wakil Ketua, Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghodyan selaku Anggota, pertanyaan kedua no. 6755, 7/172-173]

Sudah Witir Sebelum Tidur dan Ingin Shalat Malam Di Akhir Malam

Tanya: Apakah sah shalat sunnah yang dikerjakan di seperti malam terakhir, namun sebelum tidur telah shalat witir?

Jawab: Shalat malam itu lebih utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir karena sepertiga malam terakhir adalah waktu nuzul ilahi (Allah turun ke langit dunia). Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman (yang artinya): 'Adakah seorang yang meminta? Pasti Aku akan memberinya. Adakah seorang yang berdoa? Pasti Aku akan mengabulkannya. Dan adakah seorang yang memohon ampunan? Pasti Aku akan mengampuninya’. Hal ini berlangsung hingga tiba waktu fajar.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Hadits ini menunjukkan bahwa shalat di sepertiga malam terakir adalah sebaik-baiknya amalan. Oleh karena itu, lebih utama jika shalat malam itu dikerjakan di sepertiga malam terakhir. Begitu pula untuk shalat witir lebih utama untuk dijadikan sebagai akhir amalan di malam hari. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah shalat witir ” (HR. Bukhari, dari Abdullah bin ‘Umar). Jadi, jika seseorang telah mengerjakan witir di awal malam, lalu ia bangun di akhir malam, maka tidak mengapa jika ia mengerjakan shalat sunnah di sepertiga malam terakhir. Ketika itu ia cukup dengan amalan shalat witir yang dikerjakan di awal malam karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengerjakan dua witir dalam satu malam. [Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan no. 41, 65/19]

Semoga panduan shalat witir ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Baca pula dua artikel lainnya di sini:

1. Panduan Shalat Tahajud

2. Setelah shalat witir, bolehkah shalat sunnah lagi?



Diselesaikan berkat karunia Allah Ta’ala pada hari Jum’at, 23 Jumadil Awwal 1431 H (07/05/2010) di Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com



Cara Ringkas Solat @ Sembahyang Sunat Dhuha :

Rakaat : 2,4,6 hingga 12

Waktu : 10 pagi, atau antara 7am - 1pm petang sebelum waktu zohor, “Solat Dhuha ini afdalnya ketika matahari telah meninggi dan kian panas sinarnya.” Imam Nawawi menghuraikan masa tersebut sebagai masa berlalunya seperempat tempoh siang hari iaitu pukul 10 pagi hingga 1 petang (Kitab al-Majmu’ karangan Imam Nawawi).



1. Rakaat Pertama "Allahuakbar" & Niat dalam hati :

++ "Sahaja aku sembahyang sunat Dhuha 2 rakaat kerana Allah Ta'ala"

++ Baca Alfatihah hingga akhir

++ Baca Surah, pendek pun takpa. (paling elok surah As-Syams )



2. Rakaat Kedua

++ Baca Alfatihah

++ Baca Surah, pendek pun takpa. (paling afdhal surah Addhuha)

++ Tahiyyat akhir & Beri Salam..



3. Doa

++ Mohon Allah murahkan rezeki kita..berkati kerja kita.

++ Doa apa sahaja..mengadulah pada Allah.

++ Bahasa melayu, jawa, nogori, iban apa saja semua boleh, Doalah.

++ Paling mantap guna Doa ini khas untuk waktu Dhuha : KLIK SINI

++ Nak mudah hafal doa? guna cara berlagu UNIC Doa Dhuha



Semua ini Lanun compile dari sumber berikut :

Permai 1.tripod.com, Nursyirah.wordpress.com, Mohamadazhan.com







Maksudnya:



Ya Allah, sesungguhnya waktu Dhuha itu waktu DhuhaMu, kecantikannya adalah kecantikanMu,

keindahan itu keindahanMu, kekuatan itu kekuatanMu,

kekuasaanitu kekuasaanMu dan perlindungan itu perlindunganMu.

Ya Allah, jika rezekiku masih di langit, turunkanlah, dan jika di dalam bumi, keluarkanlah,

jika sukar, permudahkanlah, jika haram, sucikanlah dan jika jauh, dekatkanlah.

Berkat waktu dhuha, kecantikan. keindahan, kekuatan, kekuasaanMu,

limpahkan kepadaku segala yang Engkau telah limpahkan kepada hamba-hambaMu yang soleh.





Pembahasan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

Tanya:

Assalaamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Saya baru belajar mendalami agama Allah yg sebenarnya, yg mengikut al-Qur’an dan hadist dan sunnah para sahabat dan imam. Ada yg ingin saya tanyakan? Masalah shalat sunnah dalam menjalankan shalat lima waktu. Ada yg boleh dikerjakan dan tidak. Maksudnya shalat sunnah yang boleh dikerjakan waktu mengerjakan shalat wajib lima waktu: Yg mana boleh di kerjakan dan mana yang tidak?

Tolong diberi penjelasannya …

Fauzan

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Mungkin yang anda maksud adalah shalat sunnah rawatib (yang berada sebelum dan setelah shalat wajib). Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:

1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)

Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”

Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”



3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)

Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:

a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.

c. 2 rakaat setelah zuhur

d. 4 rakaat sebelum ashar

e. 2 rakaat setelah jumat.

f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?

Jawab:

Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:

Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)

Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:

شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)

Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. Insya Allah mengenai tidak disyariatkannya shalat sunnah sebelum jumat akan datang pembahasannya tersendiri, wallahu Ta’ala a’lam.

Incoming search terms:

Pembahasan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

Tanya:

Assalaamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Saya baru belajar mendalami agama Allah yg sebenarnya, yg mengikut al-Qur’an dan hadist dan sunnah para sahabat dan imam. Ada yg ingin saya tanyakan? Masalah shalat sunnah dalam menjalankan shalat lima waktu. Ada yg boleh dikerjakan dan tidak. Maksudnya shalat sunnah yang boleh dikerjakan waktu mengerjakan shalat wajib lima waktu: Yg mana boleh di kerjakan dan mana yang tidak?

Tolong diberi penjelasannya …

Fauzan

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Mungkin yang anda maksud adalah shalat sunnah rawatib (yang berada sebelum dan setelah shalat wajib). Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:

1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)

Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”

Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”



3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)

Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:

a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.

c. 2 rakaat setelah zuhur

d. 4 rakaat sebelum ashar

e. 2 rakaat setelah jumat.

f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?

Jawab:

Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:

Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)

Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:

شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)

Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. Insya Allah mengenai tidak disyariatkannya shalat sunnah sebelum jumat akan datang pembahasannya tersendiri, wallahu Ta’ala a’lam.

Incoming search terms:





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis materi biologi secara Up To Date via email