-->

Problematika Mahasiswa

Tidak dapat dipungkiri jika dalam sebuah langkah hidup seseorang itu memiliki problematika tersendiri. Baik itu dari diri sendiri, lingkungan maupun budaya yang tengah ada dalam kehidupan mereka.
Dalam kasus ini saya akan menyoroti kehidupan mahasiswa dengan macam-macam problematikanya yang menjadikan prestasi akademik mereka menjadi menurun dan semakin terpuruk. Setidaknya saya hanya memberikan beberapa permasalahan yang akan anda jumpai (bagi calon mahasiswa) agar sobat semua dapat meng-antisipasi dan mencegah diri dari prilaku-prilaku yang saya kemukakan nanti. Dan bagi anda para Mahasiswa, jika ada di antara anda yang merasa diri, bahwa anda termasuk dalam problematika yang saya sebutkan, sebaiknya anda dapat meng-instropeksi diri agar terhindar dari turunnya prestasi akademik sobat. Sebab, bukan-kah tujuan anda adalah menuntut ilmu? Dan bentuk sukses dari menuntut ilmu anda adalah dengan hasil evaluasi dari promes (program semester) perkuliahan anda! check it dot:::>>>

Mahasiswa itu memiliki problematika khas yang unik dan tidak dijumpai oleh kelompok sosial yang lain. Problem yang terasa adalah karena mahasiswa merupakan sosok yang sedang mencari jati diri. Ia sedang dalam taraf kematangan berpikir dan bertindak dalam merencanakan masa depannya. Ibarat buah, ia belum begitu matang tetapi juga tidak mentah.
Problem yang dihadapinya pun tidak sama dengan problem masyarakat secara umum. Penanganan setiap problem pun membutuhkan keseriusan dan kiat khusus. Karena proses kematangan inilah ada mahasiswa yang berhasil di akhirnya nanti, namun tidak sedikit pula yang gagal. Semua itu juga tergantung melihat dimana mereka kuliah. Ada yang karena tidak punya kemampuan dan kemantapan hati, lalu hanyut pada prilaku amoral, asusila dan prilaku jahat yang lain. Tetapi ada juga yang berhasil, bahkan bisa meraih prestasi, sukses dalam mengarungi dan bersaing dalam mencari kerja atau bahkan ada yang mendapat penghargaan atau bea siswa.

Ingat, kampus hanya sekedar jembatan (jangan hura-hura)
Mahasiswa merupakan salah satu sarana saja untuk menjadi manusia yang lebih sempurna setelah lulus nanti. Kampus bagi Mahasiswa adalah ibarat “Kawah Condrodimuko” tempat menempa dan menimba ilmu. Oleh karena itu ada kampus yang memang bisa menciptakan kondisi yang bisa menghasilkan mahasiswa yang matang, ada juga yang tidak. Ada dosen yang diperintah oleh lembaganya untuk memanjakan mahasiswa dan ada juga yang membiarkan mahasiswa agar bisa mandiri.
Yang perlu dipahami kampus itu adalah ibarat jembatan. Dengan melewati jembatan itulah, anda nanti akan sampai keseberang atau tidak. Dengan kata lain, tujuan menjadi mahasiswa adalah agar seseorang bisa siap pakai di dunia kerja, mengangkat derajat keluarga atau menjadi pemimpin bagi masyarakat.
Saat menjadi Mahasiswa (saya pura-pura jadi dosen dulu ah, kali ja taqdir membawa saya kesaan... AMIIIIN), waktu anda hanya dihabiskan untuk hura-hura, maka akan sangatlah sulit mencapai tujuan ideal tersebut. Sebaliknya ketika menjadi mahasiswa Anda rajin menimba ilmu, aktif di organisasi, rajin kuliah, bukan mustahil ia akan menjadi manusia yang sesuai sesuai dengan yang diidealkan ketika awal seseorang memiliki niat untuk kuliah. Apakah ia bisa menjadi harapan para orang tua ataukah tidak, juga sangat ditentukan ketika ia menjadi Mahasiswa tersebut. Tak jarang, harapan orang tua agar anaknya bisa menjadi pandai dan mengangkat derajat orang tuanya justru malah semakin merepotkan atau memerosokkan derajat dan citra keluarganya. Maka camkanlah pepatah ini, “Siapa Menanam Pasti Menikmati”.
Wujudkan citamu untuk membahagiakan orang tuamu
Jadilah anak yang mampu mengangkat derajat orang tuamu
Hentikanlah segala sesuatu yang hanya akan merugikanmu
Ingat, kau sudah dewasa, kau sudah tahu akan mana salah dan benar
Prblem Transisi
Mahasiswa selalu mengalami problem transisi. Sebab, pada dasarnya ia baru beranjak dari dunia remaja menuju ke kehidupan dewasa. Semua problem transisi ini akan sangat berpengaruh pada proses menjadi manusia dewasa. Problem transisi ini jika tidak dipecahkan sejak awal akan membawa mahasiswa pada tujuan yang tidak sesuai dengan harapan awal dirinya dan orang tuanya. Behubungan dengan dosen adalah bentuk problem transisi yang ikut menentukan (matang tidaknya) mahasiswa tersebut. Bahkan bisa dikatakan, ketidak mampuan memecahkan problem transisi akan mempengaruhi pola hubungan dengan dosen. Padahal berhubungan dengan dosen itu sudah menjadi problem tersendiri. Bahkan bisa dikatakan, berbagai permasalahan kuliah akan muncul sangat tidak mustahil berhubungan dengan dosen.
Kembalikanlah niatmu itu
Kau akan tahu, mengapa aku berkata demikian
Esok ketika engkau terlepas dari dunia kampus
Saat itulah kau akan megerti, betapa penyesalan akan kau dapati
Jika kau abaikan kata ku ini

Pergaulan
Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan watak/ kepribadian mahasiswa adalah lingkungan pergaulan. Ketika menjadi mahasiswa mereka akan dihadapkan pada banyak tipe pergaulan. Tak jarang mahasiswa adalah sosok yang di awal perkembangannya sangat rentan terhadap proses peniruan (imitasi). Ibarat anak kecil, ia meniru apa yang dianggapnya menjadi “model” ideal dirinya. Jika yang menjadi model adalah model rambut pirang, mereka akan menirunya. Pasalnya adalah, karena mereka sedang mencari identitas diri.
Kasus ini tak berarti tak ada mahasiswa yang tak punya pendirian. Namun umumnya (karena ini merupakan problem transisi) tak sedikit dari mereka yang hanya ikut-ikutan. Proses ikut-ikutan (imitasi) ini sebenarnya tidak bermasalah jika lingkungan atau yang dia tiru itu baik-baik sajan. Bagaimana jika mereka ikut-ikutan mengkonsumsi obat-obatan terlarang?
Sesuatu yang jelas buruknya menurut kata hatimu
Lebih baik untuk kau hindari
Sebab itu musuh yang benar nyatanya bagimu

Perkuliahan
Mahasiswa itu jelas membutuhkan dan harus kuliah. Dalam kuliah ini materi yang disajikan dosen, proses penyampaian, cara belajar berbeda dengan di Sekolah Menengah Umum (SMU) atau yang sederajat. Ini juga termasuk problem transisi. Tetapi umumnya, mahasiswa mahasiswa khususnya S-1 masih senang dengan model kuliah secara tatap muka dan dialog hanya satu arah. Jadi ketika mereka disuruh mencari literatunya sendiri untuk belajar agar sesuai yang digariskan dalam Garis-Garis Besar Program Perkuliahan (GBPP) misalnya, umumnya mereka ogah-ogahan.
Pada umumnya pula kuliah bagi mahasiswa juga membosankan, karena tak jarang dosen tidak punya variasi pengajaran. Orientasi mereka adalah bagaimana cepat lulus dan mencapai nilai yang baik. Tak jarang karena orientasi inilah mereka bisa berbuat apa saja; menyontek, menyuap, tak pernah masuk kuliah dan inginnya mendapat nilai baik. Padahal nilai yang baik juga ditentukan banyak faktor.
Jelas bukan, jika penilaian itu ditentukan banyak faktor. Nah, jika anda mahasiswa, mungkin anda lebih banyak mengerti dibandingkan dengan saya. Karena saya juga masih kuliah seperti halnya anda, saat ini saya masih duduk di semester 5. Oleh sebab itu, marilah kita serius dalam acara perkuliahan kita. Jangan pernah abaikan perkuliahan.
Keseriusanmu itu sangatlah penting
Pikirkanlah Konsekuensi akan hal-hal yang sedang engkau perjuangkan
Itu semata hanya untuk hari esokmu

Pacaran
Sebenarnya masalah pacaran ini sudah pernah saya tulis dalam sebuah file di internet. File itu masih ada, jika anda ingin melihat atau sekedar membaca-baca bisa anda jumpai pada tulisin ini PACAR VS ISLAM. Hanya saja, fokus saya pada saat itu bukanlah menyoroti mahasiswa, akan tetapi apa yang saya tulis di sana sesuai dengan judul yang saya buat tersebut.
Nah, katanya sih mahasiswa itu tanpa pacaran ibarat “makan pecel tanpa sambel” kalau istilah saya di desa dulu ketika masih jaman saya SMA “layaknya kena pukulan tanpa balasan”. Anda boleh setuju ataupun tidak dengan pendapat itu. Tetapi dunia mahasiswa biasanya tidak akan terlepas dari proses mencintai dan dicintai. Kalau anda tergolong dengan orang yang tidak suka dengan pacaran, minimal rasa tertarik pada lawan jenis itu pasti ada. Ini normal sesuai dengan tingkat pertumbuhan manusia. Masalahnya ada orang yang bisa mengekangnya, ada pula yang tidak bisa. Artinya, ada yang bisa mengendalikan diri untuk tidak pacaran (atau sekedar pendekata/ PDKT), ada pula yang terjerumus pada prilaku asusila dengan pacarnya tersebut.
Mengapa demikian, karena dunia mahasiswa adalah dunia yang “bebas” dari pengaruh dan pengawasan orang tua. Mereka umumnya bebas melakukan atau ingin menjadi apa saja. Setiap hari waktu dihabiskan untuk pacaran tanpa kuliah juga bisa. Jatah bulanan dari orang tua dihabiskan dalam 1 minggu sangat mungkin terjadi.
Tetapi pada umumnya, mereka yang sudah terjun dalam dunia pacaran, biasanya kuliah ogah-ogahan. Kalaupun kuliah biasanya tak serius. Bahkan ada yang mengajak pacarnya ketika kuliah berlangsung. Bagi yang laki-laki sudah senang menjadi “budak”antar jemput pacarnya. Sedangkan pacarnya itu juga menikmati. Entah karena ngirit biaya atau hanya faktor memuaskan nafsu kencannya.
Ini problem transisi yang sulit dipecahkan, meskipun ada juga yang bisa menjadikan aspek ini untuk pendorong kuliah. Yang jelas, pacaran akan ikut menyita waktu, pikiran dan uang. Karena asyik pacaran tidak sedikit dari mereka yang lupa mengerjakan tugas kuliah, kuliah tidak teratur, apa lagi membaca buku. Boro-boro.
Saya pernah mendapat nasihat dari ibu saya
Semasa kuliah, nomor satukanlah yang menjadi tanggung jawabmu
 jangan kamu berpacaran.
Percayalah sama ibu, jikapun nanti kamu serius dengan kuliahmu.
Dan kamu telah menjadi orang yang sukses
Kamu akan mendapatkan apa yang kamu cari.
Dan ingat pesan ibu yang satu lagi, jangan pernah kamu meninggalkan
Perintah Tuanmu (Allah)
Karena itulah yang paling utama.

Aktivis Vs Kuliah Utun
Dunia aktifis dengan dunia kuliah saja selalu bertolak belakang. Biasanya, keduanya juga tidak bisa rukun. Mereka saling mengklaim bahwa mereka lah yang paling benar. Bagaimana bisa rukun kalau alat ukurnya juga sudah berbeda? Bagi kelompok kuliah saja, mereka mengatakan bahwa diperguruan tinggi itu harus kuliah yang tekun, lulus terus mencari pekerjaan. Tak terkecuali, mereka dalam kelompok ini yang orang tuanya mengharapkan agar anaknya cepat lulus. Jadi tidak usah ikut organisasi macam-macam.
Sementara dari kelompok aktivis, mereka mengatakan bahwa disamping kuliah, mereka harus mencari tambahan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dari luar. Salah satunya dengan ikut organisasi. Buat apa kuliah saja? Toh nanti di dunia kerja yang dibutuhkan juga pengalaman berorganisasi, bernegosiasi dengan orang lain dan semacamnya. Hal demikian hanya didapatkan dari aktivis keorganisasian.
Kelompok ini biasanya jarang kuliah, meskipun ada aktivis juga yang rajin kuliah karena baginya kuliah juga penting di samping kegiatannya di luar. Mereka umumnya memprotes bahwa kuliah tidak ada gunanya, karena ilmu yang disampaikan dosen hanya itu-itu saja. Mereka ingin mencari pengalaman dari luar. Misalnya bagaimana ia aktif, tetapi tetap bisa mempersiapkan masa depannya. Karena jarang kuliah, nilainya pas-pasan. Mereka tidak bisa dijadikan suri tauladan adik kelasnya. Kuliah saja tidak becus. Tetapi ada juga di antara mereka yang pikirannya cerdaas, kuliah tetap dan aktivis harus. Hanya kelompok inilah yang biasanya menuai sukses.
Dua kelompok tersebut saling mencari pengaruh. Mahasiswa ketika kuliah akan dihadapkan pada dua kelompok ini. Salah memilih, akan fatal akibatnya. Yang baik adalah tentu saja memilih keduanya. Meskipun ini jarang orang yang bisa melakukannya.
Teori tanpa praktek
Laksana orang gila
Begitu juga kehidupan dalam perkuliahan.
Ibarat kuliah adalah sebuah teori
Dan prakteknya adalah berorganisasi.
Imbangilah mereka.
Jangan pernah memberatkan salah satu di antara ke-duanya


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis materi biologi secara Up To Date via email