-->

Antara Elite Dan Non



Iba, diripun tersayat.
Kala isak tangis terdengar dari si runcing bambu yang gagah Dengan jiwanya yang bijak, dulu.
Yang kini mati terpasung oleh palu sang zaman.
Sengaja kayu tersusun rapih dan kuat dalam pasung.
Agar pembawah tetap hidup di dalam jalurnya, "nelangsa".

Antara Elite dan non.
Coba ingat! sebentar saja, hanya cukup sebentar.
Bila satu menit terasa berat dan lama, cukup ingatlah sepersekian detik saja.
Dulu, dulu sekali!
Saat pribumi belum mengenal aksara.
Saat Sebatang bambu adalah jiwa dari semangatnya.
Mereka tak pernah hilang kendali.
Pembatas antar sesama, tiada.
Jangankan itu, pribumi itu selalu riang.
Meski hidup dengan balutan darah yang bersahabat dekat dengan kematian.
Dan mereka bersama, suka, duka.
Dalam senyum yang tak pernah ada rekayasa.
Dalam amarah yang tak memiliki nafsu "pembunuh" saudaranya.
Kau masih ingat bukan siapa pribumi itu.
Dialah moyang, buyut, kakek dan bisa jadi adalah orang tua kita.
Dari satu moyang kita lahir.
Moyang yang mengatasnamakan diri mereka "Bhinneka Tunggal Ika"

Antara Elite dan non.
Kita ada dalam satu rahim.
Rahim yang dikandung oleh ibu pertiwi.
Yang kini kian merenta dan mungkin sudah mati.
Bukan rahimnya!
Tapi semangat persatuan yang diwarisi oleh para moyang.
Persatuan yang tak mengenal beda.
Persatuan yang tak memandang siapa dan dari mana.
Dan persatuan yang menyatukan segala bentuk dalam tema "KeADILan"

Antara elite dan non.
Mereka memperjual belikan hukum.
Membuat sebuah rekayasa hebat yang tak terlogiskan.
Janji hanyalah janji.
Kala jabat telah mematen.
Hasil dari semua, hanyalah omongan kosong tanpa arti.
Bualan demi bulan, Elit memang pandai bersilat lidah.
Di atas kursi yang sangat nyaman.
Ludah memang tak tampak.
Cacipun tiada.
Namun non, merasakan ada beda.
Pencuri ayam dihukum 5 th.
Sedang pemerkosa hak rakyat adalah orang dengan legalitasnya sebagai dalang dalam hukum.

Dan sekarang lihatlah.
Dimana warisan para moyang?
Haruskah kita melupakannya dalam ingatan yang masih basah?
Lucu!
Andai saja satu moyang masih hidup di zaman ini.
Pasti kalianlah yang akan pertama kali melihat.
Siapa yang akan membunuh dirinya karena malu melihat tingkah anaknya.
Moral, akhlak, etika, cinta!
Hilang.
Yang tersisa hanyalah semangat "pembunuh" yang diwarisi para musuh moyang.
Yang menikam saudaranya, hanya untuk sepotong roti.

Tlomas, 10/11/2012
By: Irvan Hadzuka


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis materi biologi secara Up To Date via email