Satusatu*tiga*kembali satu
Hari beranjak menyapu minggu. Bulan menepi, jejakkan tahun yang berbeda. Dan ikatan ini bukanlah lagi pertalian remaja.
Pernah kuambil titik kata yang memaksa kita mengais rindu. Terkoyak-koyak kala malam bertabur bintang. Lalu kita terjebak dalam satu perseteruan batin. Yang haus. Yang dahaga. Yang sangat teramat sulit untuk diuraikan dengan kata.
Meskipun sarat akan terbentangnya daratan dan lautan. Sebabkan waktu bertengger di puncak kedigjayaannya. Tak sekalipun resah dalam gelisah. Yang ku tahu, cintamu hanya aku. Yang kau tahu, aku milikmu. Adalah hati, elemen utama. Mengharmonikan jalan setapak dua manusia yang tersamar dalam balutan jarak dan waktu.
Namun manusia mana yang akan berbetah. Sementara kekasih berada di ujung sana. Maka rindu ibarat sembilu. Menyayat-sayat di setiap relung jiwa. Mengiris-iris Setiap detakan nadi. Sampai acapkali harus menghirup nafas. Tertahanlah ia di dalam dada. Sesak.
Degub jantungku kembali bergemuruh. Bayang-bayangmu jatuh menyumpali isi kepala. Wangi aroma rambutmu selalu membujuk “sudahlah kiranya cukup, hidup berjauh-jauh”.
Maka layar-pun berkembang. Tunggulah aku di simpang dermaga.
*
Kupeluk dirimu. Kukecup keningmu. Dan kau menangis. haru. rindu. Dalam dekapan hangat yang disaksikan ombak-ombak. Karang-karang. Pasir-pasir. Simpang dermaga.
“Ayo kita pulang, mas”
“sebentar, aku ingin duduk di sini sedikit lebih lama”
“untuk apa?”
“bersamamu. Sebelum kau kembali kepada orangtuamu”
“tapi kan masih ada hari es...”
“SsstT” ^,^ “aku ingin bersamamu” hanya bersamamu
*
Kampung ini serasa tidak asing. Tapi di mata?
Saat masih di negeri Jiran. Kau begitu rajin mengirimiku surat-surat. Kau ceritakan semuanya seakan kau tengah mendongengkan aku untuk segera melepas lelah di malam buta. Tapi kini aku sadar. Ini bukan sebuah dongeng. Betapa aku sangat mengenal setiap inci dari sudut kampung. Hanya lewat surat-surat. Peneman tidur.
Arak berarak. Iringi langkah sempitsempit. Temali raya mampir di sini. Mengikat batin yang setengah. Menjadikan satu. Membentuk sampan. Tak lagi surat-surat. Sebab kamu telah di sini. Begitu aku, sudah di sini. Peneman tidur.
*
Tak perlu janji. Sebab waktu tak pernah ingkar.
Senyummu jahil. Seusil kucing. Senakal kancil. Tapi lucu. Tapi gemas. Sebentarsebentar kudengar gerilya mungil si tangan kecil. Yang belum terbentuk. Masih segumpal daging. Dalam buncit perutmu, cantik.
Kau minta mangga muda, mangga muda kuberikan. Kau minta jeruk, jeruk kuberikan. Sampai ketika tiba di sebuah pertokoan.
“Istriku, jangan sampai kau meminta kepadaku simalakama”
Kembali jahil. Kamu yang usil. Kamu yang nakal.
*
Kuning senja perlahan lenyap diterjang kelam. Seulas pandang kutengadahkan kepada dua yang hilang. Kau pertaruhkan jiwa ragamu dalam medan juang. Bertempur dengan para jendral kandungan. Sampai saatnya tiba di senggalsenggal nafas yang akhir. Kau terhempas dalam simpul berdarah. Takdir Tuhan.
Dan...Kembali satu.
***
Satusatu tetes hujan menghentakkan kepala
Dari retak, genting yang cela
Dan aku hanya mampu termangu
Bersimpuh diantara celaga getir pilu
Di kamar pengantin kita
Di sisa-sisa bercak nafas cinta
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis materi biologi secara Up To Date via email